Kesehatan Mental

Mengenal Tren Quiet Quitting dan Penyebabnya

Dimas Laksono, 16 Sep 2022

Ditinjau Oleh Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog

Media sosial ramai dengan tagar quiet quitting. Kenali arti quiet quitting dan penyebabnya di sini.

Mengenal Tren Quiet Quitting dan Penyebabnya

Media sosial, terutama TikTok akhir-akhir ini dibanjiri unggahan dengan tagar quiet quitting. Tagar quiet quitting mengemuka sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang berlebihan.

Melalui tren ini, orang-orang ingin menyuarakan pentingnya memberikan batasan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Biar lebih paham, simak arti, penyebab, dan dampak quiet quitting pada kesehatan mental di bawah ini, ya!

Apa Itu Quiet Quitting? 

Istilah quiet quitting pertama kali muncul di media sosial pada awal tahun 2022. Tren quiet quitting menggambarkan fenomena karyawan yang menolak bekerja melebihi  tanggung jawab mereka. 

Awalnya tren ini banyak dipromosikan oleh karyawan yang memiliki beban kerja berintensitas tinggi. Pekerjaan yang sangat menyita waktu membuat mereka sulit mengembangkan diri di luar pekerjaan dan memperoleh kehidupan yang seimbang.

Di media sosial, tren quiet quitting pun menyebar luas dan diterima dengan cepat oleh beragam pekerja lintas profesi. Banyak orang yang merasa senasib ikut tergerak menyuarakan semangat quiet quitting.     

Orang-orang yang melakukan quiet quitting tidak melakukan resign alias keluar dari pekerjaan mereka. Disampaikan Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog, orang yang melakukan quiet quitting hanya membatasi diri untuk tidak bekerja secara berlebih dan melakukan apa yang menjadi tugasnya saja.

Menurut Paula Allen dari Research and Total Wellbeing at LifeWorks, orang yang melakukan quiet quitting enggan melakukan kerja lembur. Mereka juga tidak membalas email di luar waktu kerja.

“Ciri orang yang melakoni quiet quitting berikutnya, yaitu bekerja dan pulang tepat waktu. Lalu, mereka cenderung tidak berminat dengan promosi jabatan sehingga tidak melakukan usaha berlebih untuk mendapatkannya,” kata Paula.

Penyebab Quiet Quitting 

Penyebab Quiet Quitting

Terdapat beragam penyebab seseorang melakukan quiet quitting, di antaranya:

1. Pekerjaan yang Berlebihan 

Kenyataannya, ada banyak karyawan yang bekerja di luar kontrak yang telah disepakati. Hal ini dilakukan perusahaan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan bisnis.

Orang yang melakukan quiet quitting akan memilih untuk tidak melakukan tugas-tugas di luar tanggung jawab mereka. Mereka umumnya tidak bersedia bekerja hingga larut malam, datang lebih awal ke kantor, ataupun menghadiri pertemuan di luar pekerjaan.

2. Upah yang Tidak Seimbang 

Lewat tren quiet quitting, makin banyak pekerja yang sadar bahwa upah mereka tidak sebanding dengan beban kerja yang harus dipenuhi.

Perusahaan terus mengupayakan tambahan pekerjaan, tetapi tidak memberikan imbalan ataupun bonus yang sepadan. Hal ini mendorong banyak orang menggalakkan quiet quitting.

Artikel Lainnya: Mengenal Afirmasi Positif, Manfaat, dan Cara Melakukannya

3. Konflik Antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi  

Popularitas tren quiet quitting menunjukkan ada banyak orang lelah menjalani rutinitas pekerjaan yang padat, tetapi di saat bersamaan tidak leluasa menjalani kehidupan pribadi. 

Ada banyak orang yang membutuhkan jeda dan waktu istirahat dari pekerjaannya untuk dapat menata hidup. Jeda juga diperlukan agar bisa lebih siap bekerja di keesokan harinya.

4. Merasa Kurang Dihargai  

Elena Touroni, PhD., konsultan psikologi sekaligus pendiri the Chelsea Psychology Clinic, mengatakan perubahan sikap yang terjadi pada pekerja bisa disebabkan mereka merasa pekerjaannya kurang dihargai.

Menurutnya, ada banyak pekerja yang merasa telah berusaha memenuhi ekspektasi atasan dan perusahaan, tetapi kurang mendapatkan penghargaan, baik dalam bentuk bonus, tambahan gaji, maupun pengakuan. Perlahan, kondisi ini bisa merusak mental dan mengikis motivasi dalam bekerja sehingga mereka melakukan quiet quitting.

5. Efek Pandemi Berkepanjangan 

Efek pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dinilai bisa mendorong seseorang melakukan quiet quitting. Rasa bosan, kecemasan, dan stres selama menjalani work from home bisa menyebabkan seseorang merasa perlu melakukan quiet quitting.

Artikel lainnya: Benarkah Bekerja dari Rumah Lebih Baik Dibanding di Kantor?

Dampak Quiet Quitting Terhadap Kesehatan Mental

Menurut Psikolog Ikhsan, efek quiet quitting sebenarnya cukup baik. Kesadaran ini bisa membuat seseorang membuat batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

“Hal ini bisa bantu menurunkan stres bahkan burnout pada individu. Karena dia dapat melakukan kegiatan self care lain sehingga bisa lebih fokus kepada diri sendiri ketimbang pada pekerjaannya,” jelas Ikhsan. 

Meski begitu, bak pedang bermata dua, quiet quitting nyatanya juga bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Ketika menjalani quiet quitting, kamu bisa memiliki kecenderungan tidak memberikan hasil yang maksimal saat bekerja. Hal ini bisa berdampak pada tingkat kepuasan kerja.

Kalau sudah begini, kamu bisa merasa sia-sia dalam bekerja. Perasaan bosan dengan pekerjaan pun bisa menggelayuti kamu. 

Psikoterapis asal Amerika Serikat, Katherine Cullen mengatakan bahwa kondisi tersebut lambat laun bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Salah satu dampak yang bisa muncul adalah depresi.

“Karena menolak melakukan pekerjaan di luar tanggung jawab pribadi, bisa juga timbul perasaan tidak enak dengan rekan kerja. Hal ini bisa bikin kamu merasa tidak nyaman dan khawatir dengan lingkungan pekerjaan,” katanya. 

Quiet quitting diduga bisa memberikan efek positif. Namun, tren ini juga bisa berdampak buruk apabila kamu tidak mengimbanginya dengan pikiran positif, tetap fokus, dan memiliki semangat untuk selalu memberikan hasil yang maksimal dalam bekerja.

Karenanya, supaya keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi tetap berjalan, Psikolog Ikhsan menganjurkan untuk #JagaSehatmu dengan menentukan apa yang menjadi prioritas serta mengatur waktu dengan baik. 

“Tujuannya adalah agar kita tidak kewalahan dengan tugas yang ada. Selain itu, buat manajemen waktu yang baik. Supaya kita bisa atur ritme dan jam kerja, serta beristirahat untuk merawat fisik dan mental kita,” ujar Ikhsan. 

Apabila kamu mengalami gangguan psikologis akibat pekerjaan, segera konsultasi lewat layanan konsultasi psikolog onlinedi aplikasi KlikDokter!

(ADT/JKT)

Artikel ini juga tayang di Okezone.

psikologis

Konsultasi Dokter Terkait