Berita Kesehatan

Masalah Terbesar Pandemi adalah Gap Informasi

Ayu Maharani, 25 Sep 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Mengisi gap informasi di masa pandemi, Pandemic Talks menuai pujian dan cercaan. Muhammad Kamil membongkar dapur di balik akun Instagram Pandemic Talks.

Masalah Terbesar Pandemi adalah Gap Informasi

Pada masa keterbukaan informasi seperti saat ini, ternyata data justru sesuatu yang mahal. Informasi dan data soal pandemi virus corona berserakan, kadang tak satu pintu, membuat bingung masyarakat awam di Indonesia. Di saat itulah muncul Pandemic Talks.

Pandemic Talks adalah akun Instagram yang mengompilasi dan menyajikan data-data resmi soal pandemi virus corona secara sederhana, terang, dan blak-blakan. Saat ini, Pandemic Talks telah memiliki 92 ribu followers dengan lebih dari 180 postingan.

Pandemic Talks diampu oleh tiga orang, salah satunya adalah dr. Muhammad Kamil, peneliti kanker otak di Kagoshima University, Jepang. Berbicara kepada Klikdokter, Kamil mengatakan akun Instagram yang dibentuknya itu bertujuan mengisi gap informasi seputar pandemi.

Tak hanya pujian, caci maki berdatangan kepada mereka, bahkan dari rekan sejawat sesama dokter, karena dianggap menebar ketakutan. Namun tak bisa dimungkiri, Pandemic Talks telah membuka mata masyarakat, bahwa pandemi itu serius, masih ada, dan belum mereda.

Berikut adalah perbincangan lengkap dr. Muhammad Kamil dengan Klikdokter:

Sebenarnya, Apa Itu Pandemic Talks dan Apa Tujuannya? 

Pandemic Talks kita sendiri rada bingung menyebutnya apa. Tapi akhir-akhir ini disebut sama teman-teman dan beberapa media yang mensitasi konten kita, sebagai platform pemantau COVID-19 Indonesia.

Kenapa terbentuk platform ini? Sebenarnya, ini keisengan belaka. Saya, Firdza Radiany, Mutiara Anissa, membentuk ini karena keresahan akan kondisi pandemi virus corona di masyarakat. Karena kita melihat, salah satu problem besarnya adalah gap informasi.

Maksudnya, pandemi ini kan penyakit komunal. Penyakit yang harus dihadapi bareng. Bukan cuma pemerintah, bukan cuma sistem kesehatan, tapi juga sosial kapital atau modal sosial di masyarakat.

Kita menilai selalu terjadi konflik karena adanya missed informasi yang diakibatkan oleh gap informasi. Makanya kita bertiga menganggap, ada yang perlu diisi, nih. Bukan pengin mengubah kebijakan atau membetulkan sistem yang sudah ada. Namun, cuma mengisi, itu saja.

Artikel Lainnya: Faskes Merana Diamuk Corona

Bagaimana Awal Mula Pembentukan Pandemic Talks?

Kenapa kita bertiga dan nggak ngajak yang lain? Ceritanya sedikit instan. Karena saya sendiri sebenarnya cukup ribut di media sosial sendiri, di Instagram terutama. Di Twitter juga, tapi lebih aktif di Instagram.

Sejak Februari selama pandemi ini ada, Indonesia masih tenang-tenang saja. Kayaknya respons dari pemerintah, sistem kesehatan, dan masyarakat ini relatif kurang. Namun, saya sendiri yang ribut dan vibe-nya sama kayak Firdza dan Mutiara di social media masing-masing.

Kita sendiri nggak pernah ketemu bertiga. Kebetulan Firdza itu adalah teman SD dan satu kota di Semarang, Jawa Tengah. Rumah juga dekat, jadi dia itu dulu teman main PS saya. Ketemu lagi di online, terus bikin WhatsApp grup bertiga. Kalau Mutiara itu, sepupunya Firdza.

Kita bertiga sebenarnya bukan ahli COVID-19. Kita selalu men-disclaimer itu dulu. Saya dokter, Firdza data analyst dan entrepreneur, terus Mutiara itu dosen biologi molekuler.

Kepakarannya sih nggak ada. Namun, kami merasa bisa melihat lebih dalam informasi-informasi yang beredar. Kita jahit, dan kita rangkai di Pandemic Talks. Berupa apa? Berupa grafis dan podcast.

Sudah 6 bulan jalan, minggu ini sudah ada 24 episode, tiap minggu ada satu. Kalau grafis kita mulai dari bulan Juni kalau nggak salah. Sebelumnya, cuma podcast aja terus kita mulai merangkai grafis, alhamdulillah konsisten.

Kita repackaging informasi-informasi yang sudah ada di media. Kita juga bukan profesional investigator atau jurnalis gitu. Jadi, funding juga nggak ada, kita juga punya full-time kerjaan masing-masing. Jadi Pandemic Talks itu platform yang dibentuk oleh awam untuk awam.

Artikel Lainnya: Sekat di Kendaraan Umum, Efektifkah Cegah Penularan Virus Corona?

Bagaimana Proses Pembuatan Konten Pandemic Talks?

Sebenarnya, kita bertiga levelnya sama, sih. Nggak ada yang lebih gimana. Bagi-bagi tugasnya, tuh, sedikit random karena kita punya kemampuan yang sama. Kepakarannya yang bikin beda. Saya dokter, saya juga menguasai bidang biologi molekuler, basic saya cancer soalnya, meneliti cancer sampe sekarang.

Terus Mutiara juga biologi molekuler, dia juga cancer. Jadi secara molekuler mengertilah soal virus. Epidemiologi juga saya tahu basic-basic-nya.

Kita beruntung banget punya Firdza. Karena dia itu, selalu menjadi benchmark dari kacamata awam. Jadi, kita ngobrol-ngobrol aja di grup. Kalau data sudah ada dan berserakan. Cerita apa di balik statistik itu kita obrolin dan kita buat pakai Canva.

Bisa di-update bareng-bareng meskipun beda laptop. Misalnya, kita bikin konten analisis data Jawa Tengah, saya ngedit dari Jepang, Firdza ngedit dari Jakarta. Itu membutuhkan waktu yang nggak sebentar, tapi nggak ribet karena bertiga saja.

Pemeriksaannya itu nggak pakai hierarki. Itu yang mungkin bikin Pandemic Talks jadi unik. Jadi update-nya pun, nggak lewat editorial segala macam kayak media. Itu yang bikin Pandemic Talks bisa selalu update dan kontennya cukup banyak bisa 1-2 kali sehari.

Podcast-nya pun nggak ada editing. Kita merekam podcast terus kita langsung aja upload enggak ada proses macam-macam.

Pandemic Talks Cukup Frontal dalam Menyajikan Data, Pernahkah Dapat Cap Buruk dari Warganet?

Sering banget, sudah jadi rutinitas dapat cap itu. Menyampaikan informasi tanpa sugar coating, pasti ada resistensi.

Karena kultur di Indonesia itu demanding kadang-kadang. Demanding untuk kondisi yang baik-baik saja. Jadi kalau ada informasi yang tidak baik, misalnya dicap lebay, 'jangan nyebarin info ini, dong', karena menurut beberapa pihak kalau kita panik, sistem imun turun, ya, nggak juga, lucu, sih.

Artikel Lainnya: Lawan Corona, Ini Rekomendasi Disinfektan yang Efektif dari WHO

Jadi Orang yang Menyebar Fakta Justru Dianggap Lebay dan Menyebarkan Ketakutan?

Iya, dari awal begitu. Saya, Firdza, sama Mutiara secara personal sering banget digituin sama keluarga dan circle-circle. Kalau boleh curhat, saya dibilang sangat menyebar keparnoan, dan itu disebut oleh grup dokter saya.

Ya, begitulah, saya sadar gap-nya di sini. Masih sulit untuk memilih mana informasi yang harus dikasih tau mana informasi yang harus ditutupi. Kita semua sekarang lagi belajar, kok.

Betul atau Tidak Dicap Seperti Itu di Grup Dokter?

Iya, saya ingat banget di Maret awal. Kita ini nggak mungkin banget nggak ada kasus.

Saya analogikan kita ini kayak lagi pesta di kapal Titanic. Yang di bawah sudah pada tenggelam, kitanya saja yang nggak sadar. Nanti kalau sudah ikutan, baru pada panik.

Pandemi ini kan hal yang baru buat semua orang, enggak ada yang ahli pandemi. Jadi menurut saya, untuk idealnya, ya belum ada yang ideal. Jadi belajar bareng. Momentum ini harus dipakai bareng. Pandemic Talks mengajak begitu, kok. Bukan menggurui.

Ada yang ngetag ke pemerintah, presiden, menteri, kita sendiri nggak pernah bold ke mereka. 'Ini bilangin, dong, ke Menkes, ini bilangin, dong, ke pak presiden'.

Kita bergeming, sih, karena kita benar-benar bertahan sama visi-misi kita, kita mau isi gap secara horizontal. Jadi kita mau share biar tahu bareng dan kita secara kolektif menghadapinya bareng.

Artikel Lainnya: Resah Gelisah Para Penyintas, Corona Itu Nyata

Bagaimana Pendapat Pandemic Talks Tentang Mobilitas Masyarakat yang Sudah Mulai Tinggi Meskipun Pandemi Belum Selesai?

Kalau soal itu, kita pernah pakai datanya FKM UI di bulan lalu (Agustus). Kita ngobrol sama Mas Pandu Riono (Dr. Pandu Riono, MPH., Ph.D). Dia adalah ahli statistik dan dia sebut dirinya sebagai juru wabah. Sering banget diundang media untuk bicara. Kita kebetulan berhubungan baik banget dengan beliau, dua kali jadi tamu podcast kita.

Dia kasih data soal mobilitas penduduk di Indonesia selama kurun waktu tertentu dan disandingkan dengan jumlah kasus jadi kurvanya. Lucunya ini, puncaknya orang di rumah aja atau nggak mobile, itu adalah di April.

Jadi, saat PSBB diberlakukan di beberapa kota, itu kasusnya baru beberapa ribu di Indonesia dan transmisinya saya kira belum terlalu besar, belum ke mana-mana banget kayak sekarang. Dia pakai cubic mobility insight, berada di rumah.

Namun, di bulan Juli dan Agustus, kasusnya tinggi banget di Indonesia. Pertambahan kasus dan beban di rumah sakit itu tinggi banget, justru orang lebih banyak bergerak. Orang yang di rumah aja turun jadi sekitar 30 persen. Datanya mengungkap seperti itu.

Artinya, orang Indonesia itu justru keluar rumah di saat kurvanya nanjak. Kalau di konsep wabah, itu tidak sesuai dengan penanganan wabah dan itu memperberat wabah.

Artikel Lainnya: Efek Samping Vaksin COVID-19 yang Sedang Diuji Coba

Bagaimana Pendapat Pandemic Talks Soal Fasilitas Kesehatan di Indonesia dalam Menghadapi Wabah?

Saya sendiri relate dengan hal ini karena saya dokter. Meskipun sekarang lagi meneliti, saya juga pernah di klinik selama 10 tahun. Jadi saya bisa membayangkan kondisinya di Indonesia itu bagaimana.

Secara umum, Indonesia ini kekurangan dokter. Kekurangannya bukan di situ saja, di tahun 2019 itu 0,4 per seribu penduduk. Artinya, cuma ada 4 dokter per 10 ribu orang. Perbandingannya dengan negara ASEAN misalnya, kita peringkat 10 dari 11 negara, cuma di atas Myanmar. Sama dengan Timor Leste bahkan di bawah Laos.

Kalau tertingginya itu di Singapura, 2,0. Jadi ada 2 dokter setiap 1.000 penduduk. Memang populasi kota besar dan luas wilayah kita gede banget, tap itu jauh banget dari angka ideal dari suatu negara. Padahal dari WHO merekomendasikan ada 1 dokter per 1.000 penduduk.

Memang, satu dekade ini pertumbuhan dokter meningkat banget, tapi untuk tahun kemarin itu rendah cuma 0,4. Selain itu, ada juga disparitas atau pemerataan dari sumber daya dokternya. Ini juga timpang.

Kalau berdasarkan dari KKI, Konsil Kedokteran Indonesia, mereka membagi wilayah Indonesia sesuai zona waktu, barat, tengah, timur. Itu tiga perempat dokter ada di wilayah Indonesia Barat. Dokter umum, dokter gigi, dan dokter spesialis. Sama seperti perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lain. Jadi permasalahannya bukan cuma di sumber daya, tapi juga pembagiannya.

Kenapa bisa begitu? Karena apa? Menurut saya, ini butuh analisis scientific, tapi menurut saya dan teman-teman ini ada ketimpangan juga dari infrastruktur kesehatan Indonesia. Dalam konteks wabah, kita bisa lihat rumah sakit rujukan itu ngumpulnya di Jawa.

Memang, episentrum wabah itu di Jawa, tapi apakah ini benar begitu? Dan apakah ini bisa diubah drastis secara instan? Ya, tentu saja tidak.

Karena sistem kesehatan itu membangunnya butuh waktu. Minimal beberapa tahun, 20, 30 tahun. Nambah dokter kan juga satu dokter dibentuknya 6 tahun sekolah, spesialis 5 tahun, apalagi profesor. Jadi bisa disimpulkan bahwa Indonesia ini punya permasalahan bahkan sebelum terjadinya wabah. Kalau dikasih wabah, ya, memang dari awal ekspektasinya buruk untuk sistem kesehatan.

Jadi Bisa Dikatakan Fasilitas dan Tenaga Kesehatan Indonesia Belum Siap?

Iya betul. Kalau kita lihat lebih holistik ya, kita zoom out lagi, memang penanganan wabah ini pernah diomongin sama menteri luar negerinya Singapura.

Ada tiga kaki dari keberhasilan negara dalam menghadapi wabah: good government, sistem kesehatan, dan sosial kapital. Nah, kita memang sedari awal sudah cacat di sistem kesehatannya.

Jadi, memang sudah timpang untuk menghadapi wabah. Dan gimana caranya biar optimal, tiga-tiganya harus diperhatikan banget.

Artikel Lainnya: Para Pekerja Wajib Tahu, Ini Cara Virus Corona Menyebar di Perkantoran!

Menurut Pandemic Talks, di Mana Daerah yang Kurang Sekali Fasilitas Kesehatannya?

Kemarin sempat mengulik luar Jawa. Kita ekstrem aja di Papua Barat, dokter spesialis parunya di sana cuma satu, itu sampai bulan Maret kemarin.

Memang di situ penduduknya jarang-jarang, cuma ada 1 juta penduduk di luas wilayah yang kira-kira sama kayak Bali mungkin atau kayak Jawa Tengah tapi penduduknya memang sepertiga puluhan dari Jawa Tengah.

Di situ cuma ada 1 dokter paru dan beberapa RSUD. Bukan di setiap kabupaten punya rumah sakit ya. Kalau di sistem kesehatan, ada rumah sakit tipe A, B, C, D ya. Itu berdasarkan jumlah bed dan fasilitas dari spesialisnya. Itu rumah sakit tipe A saja kurang dari 5 kalo tidak salah.

Sampai bulan Mei kemarin, belum ada laboratorium yang bisa memeriksa PCR, baru nambah setelah bulan itu. Itu mesin PCR-nya datang dan diadakan. Testing beberapa bulan awal di Papua Barat itu sampai bulan Juni itu dikirim ke Makassar.

Di sana pun antre. Beban dari Makassar itu sudah tinggi padahal COVID-19 sudah ada di sana sejak awal. Bahkan dari April udah ada kasus di Maluku, Papua Barat.

Dan sampai kemarin, di report mingguannya WHO, Papua Barat jadi salah satu daerah yang dapat rapor merah karena positivity rate-nya tinggi banget, 30 atau 40 persen. Itu menandakan, salah satu tools penanganan wabah yaitu test sangat rendah di sana.

Saya dengar sekarang sudah ada tambahan lab di sana di RSUD Manokwari, saya lupa namanya. Ada dua atau tiga tapi sehari kapasitasnya tentu nggak banyak karena sumber daya manusia di sana kurang dan pasti bukan lab besar.

Artikel Lainnya: Panduan Naik Transportasi Umum saat New Normal

Jadi Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah untuk Mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan Akibat Pandemi?

Menurut kami, satu, kita harus sadar bersama bukan hanya pemerintah saja. Sadar bersama bahwa sebenarnya kondisi kita ini enggak siap untuk menghadapi wabah, tidak seperti negara-negara lain.

Kadang masyarakat nggak paham hal ini dan informasinya nggak sampai. Misalnya, di Eropa liga sepak bola sudah jalan, bahkan di Vietnam dan Thailand sudah jalan.

Tapi di Indonesia masih kayak gini? Langsung kepikirannya macam-macam, wah ini berarti ada yang menzolimi Indonesia nih.

Jadi gap informasi itu yang mesti kita perjuangkan, biar apa? Biar semua tuh sadar bahwa sistem kesehatan kita nggak siap sejak awal, jadi responsnya apa? What’s next?

Kita harus mengoptimalkan cara-cara tradisional untuk menghadapi wabah ini. Misalnya dengan mengedepankan isolasi. Kalau enggak bisa testing, tracing-nya harus kuat. Kalau ada satu positive confirmed, harus dibilangin secara continue: oh, yang sudah kontak sama ini harus isolasi mandiri.

Kalau nggak ada pemahaman yang sama, masyarakat enggak bakal paham juga. Selama ini kan komunikasi pemerintah saya rasa buruk. karena tidak bisa menyampaikan hal itu.

Memang susah, tapi seharusnya pemerintah bisa meningkatkan kesadaran awareness level kita, khususnya soal sistem kesehatan.

Dan sekarang sedikit telat sih. Di saat pandemi ini sudah berjalan enam bulan lebih, ekspektasi dan estimasi dari para scientist ini menunjukkan kebenaran tentang kolapsnya sistem kesehatan. Indikatornya adalah penuhnya bed, kedua adalah kematian dokter yang tinggi, itu sebenarnya bisa dihindari.

Tapi kalau sudah berjalan seperti ini, masyarakat harus tambah paham bahwa ini hal yang bukan main-main.

Ini hal serius. Jadi saya enggak menyalahkan masyarakat atau pemerintah. Tapi kalau buat pemerintah, pemerintah harus mengoptimalkan apa yang sudah ada dan meningkatkan, memperbaiki sistem komunikasinya biar kita bisa berjuang bareng, satu visi, satu misi.

(AYU/ARM)

virus coronaWawancara KhususNew Normal

Konsultasi Dokter Terkait