HomeIbu Dan anakKehamilanBolehkah Operasi Usus Buntu Saat Hamil?
Kehamilan

Bolehkah Operasi Usus Buntu Saat Hamil?

dr. Fiona Amelia MPH, 05 Okt 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Operasi kerap diperlukan untuk mengatasi infeksi usus buntu. Bila ini terjadi pada ibu hamil, bolehkah tetap dilakukan?

Bolehkah Operasi Usus Buntu Saat Hamil?

Infeksi usus buntu, atau sebutan medisnya adalah apendisitis akut, merupakan salah satu kondisi yang memerlukan tindakan operasi segera, tak terkecuali pada ibu hamil. Faktanya, sekitar 1 dari 1.500 ibu hamil dengan apendisitis akut harus menjalani operasi pengangkatan usus buntu.

Data statistik menunjukkan bahwa angka kejadian apendisitis akut sedikit lebih tinggi pada trimester kedua ketimbang trimester pertama dan ketiga kehamilan. Salah satu alasannya, pada periode ini keluhan yang dialami lebih mudah terdiagosis dibandingkan saat hamil tua.

Konfirmasi diagnosis apendisitis ini penting sekali. Sebab, semakin lama ditunda, maka semakin tinggi risiko terjadinya komplikasi. Komplikasi yang paling ditakuti adalah perforasi atau pecahnya usus buntu. Jika ini sampai terjadi, angka kematian janin dan persalinan prematur meningkat hingga 36 persen.

Gejala usus buntu pada ibu hamil

Usus buntu yang terinfeksi biasanya menimbulkan nyeri perut bawah yang khas. Pada awalnya, nyeri ini terasa di sekitar pusar kemudian berpindah ke kanan bawah. Ini disebut sebagai titik McBurney.

Meski demikian, lokasi usus buntu juga memengaruhi ciri nyeri perut yang timbul. Bila posisi usus buntu mengarah ke belakang (retrocecal), keluhan dirasakan sebagai nyeri tumpul di area perut kanan bawah, yang tidak bisa ditunjuk dengan pasti lokasinya.

Selanjutnya, dapat muncul keluhan seperti hilangnya nafsu makan serta mual dan muntah. Demam juga bisa muncul, tapi umumnya tak lebih dari 38.3 derajat Celcius. Pada kenyataannya, 70 persen ibu hamil dengan apendisitis akut tidak mengalami demam. Walau begitu, sebagian besar penderitanya mengalami keluhan yang tidak khas seperti rasa terbakar di dada, buang air besar tidak lancar atau sebaliknya diare, sering buang angin, hingga badan lemas.

Lantas, bolehkah ibu hamil menjalani operasi usus buntu?

Kecurigaan terhadap adanya infeksi usus buntu biasanya dikonfirmasi melalui pemeriksaan USG perut. Pada kehamilan trimester pertama dan kedua, pemeriksaan ini cukup akurat, yakni dengan tingkat akurasi sekitar 86 persen. Namun, pada trimester ketiga, akurasi USG jauh menurun sehingga membutuhkan CT scan perut untuk mengonfirmasi adanya apendisitis akut.

Bila ternyata ibu hamil dinyatakan mengalami apendisitis akut, satu-satunya pilihan terapi yakni melalui operasi. Operasi pengangkatan usus buntu atau disebut apendektomi perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pecahnya usus buntu, yang dapat berakibat fatal bagi ibu dan janin.

Apendisitis yang ditemukan pada trimester pertama atau kedua dapat diatasi melalui bedah laparoskopik. Prosedur ini merupakan terapi bedah minimal invasif yang hanya membutuhkan sayatan kecil di perut, umumnya tak lebih dari 1,5 cm. Namun, pada trimester ketiga, bedah laparoskopik lebih sulit dilakukan karena ukuran rahim yang membesar. Ini dapat mengganggu lapang pandang operasi sehingga diperlukan operasi terbuka dengan sayatan yang lebih besar.

Pertanyaan berikutnya, amankah operasi ini bagi ibu dan janin? Tak perlu khawatir sebab selama operasi, janin akan terus dimonitor. Sekitar 80 persen ibu hamil akan mengalami kontraksi pascaoperasi. Hanya sedikit (5-14 persen) yang mengalami persalinan prematur.

Di samping itu, angka kecacatan ibu setelah apendektomi sangat rendah, bisa dikatakan mendekati nol. Ini karena semakin majunya teknik operasi dan pilihan antibiotik yang tepat.

Bagaimana dengan pemulihannya?

Ibu hamil yang menjalani operasi usus buntu umumnya perlu menginap sehari semalam di rumah sakit. Namun, lama perawatan ini berbeda-beda tergantung kondisi masing-masing ibu dan janin.

Jika sudah boleh pulang, sesampainya di rumah batasilah aktivitas yang cukup memberatkan selama sekitar seminggu. Apalagi bila terdapat komplikasi atau tanda-tanda persalinan prematur.

Adanya anjuran membatasi aktivitas ini bukan berarti ibu hamil tak boleh bergerak sama sekali. Justru orang-orang yang baru saja menjalani operasi harus sedini mungkin bergerak, misalnya sekadar bangun atau berdiri dari posisi berbaring bisa dianggap sebagai bergerak. Bila sudah mampu, bisa dilanjutkan dengan mulai berjalan. Ini penting agar aliran darah lancar, sehingga pemulihan luka dan organ dalam pascaoperasi berlangsung baik. Komplikasi pasca operasi pun dapat diminimalkan.

Ingat pula untuk mengonsumsi makanan yang bergizi, terutama makanan tinggi protein. Lakukan kontrol rutin dengan dokter yang melakukan operasi. Biasanya, kunjungan kontrol ke dokter bedah dilakukan dalam waktu 1-2 minggu pascaoperasi. Selain itu, ibu hamil pun perlu kontrol ke dokter kebidanan untuk memastikan kondisi janin.

Pada dasarnya, infeksi usus buntu pada kehamilan cukup sering ditemukan. Meski sedang hamil, tidak menjadi penghalang dilakukannya tindakan operasi usus buntu, karena ini merupakan satu-satunya cara untuk menyembuhkan usus buntu yang terinfeksi. Operasi usus buntu tidak boleh ditunda agar tidak berakibat buruk pada ibu dan janinnya. Yakinlah bahwa di tangan para tenaga medis ahli, operasi usus buntu tidak akan memengaruhi kehamilan dan persalinan ibu hamil.

[RN/ RVS]

KehamilanOperasi Usus BuntuApendektomiApendisitis AkutLaparoskopikUsus BuntuHamil

Konsultasi Dokter Terkait