Kesehatan Mental

Kupas Tuntas tentang Fenomena Social Climber

dr. Astrid Wulan Kusumoastuti, 19 Sep 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Punya teman social climber? Yuk, kenali fakta di balik fenomena ini!

Kupas Tuntas tentang Fenomena Social Climber

Anda tentu telah mengetahui apa itu social climber. Besar kemungkinan, Anda bahkan mengenal satu-dua orang social climber dalam lingkup sosial Anda – atau malah Andalah sang social climber tersebut tanpa disadari. Namun, apakah social climber merupakan sebuah gangguan jiwa? Atau hanya sebatas anomali dalam pergaulan?

Social climber adalah seseorang yang mencari kepuasan melalui peningkatan status sosial. Peningkatan status sosial ini bisa dinilai dari banyaknya teman, mengenal orang-orang yang dianggap penting, atau memiliki kehidupan yang terlihat lebih dari orang lain (baik melalui pengalaman maupun harta).

Sebenarnya, sering kali tidak ada pihak yang dirugikan oleh seorang social climber. Namun dalam sebuah pergaulan, tentu tidak ada orang yang ingin dimanfaatkan untuk tujuan tertentu seperti bagaimana social climber memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dan kepuasan pribadinya.

Ada berbagai jenis

Dalam spektrum social climber, ternyata ada berbagai tipe yang dapat diidentifikasi secara sosial. Maksudnya, meski sama-sama disebut sebagai social climber, setiap orang bisa melakukannya dengan cara yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan tingkat sosial yang diinginkan.

Ada orang yang berusaha mencapai status sosial yang diinginkannya dengan menginjak orang lain, ada yang dengan berbohong mengenai latar belakang diri, atau yang 'menjilat' sana-sini untuk membuka jalan sosialnya. Ragam ini tidak harus berdiri sendiri, seorang social climber bisa saja melakukan lebih dari satu cara untuk mencapai status sosial yang diinginkannya atau untuk memperoleh rasa kagum dari komunitasnya.

Social climber disokong media sosial

Dengan semakin beragamnya media sosial saat ini, dorongan untuk menjadi social climber semakin besar dan terkadang sulit untuk dilawan. Bagi mereka yang tidak memiliki pondasi kuat pergaulan di dunia nyata, media sosial sering kali menjadi ajang untuk meningkatkan status diri karena mudahnya bersembunyi di balik layar komputer atau ponsel.

Kendati fenomena social climbing juga terjadi di dunia nyata, menjamurnya wadah 'pamer' instan di media sosial tak dapat dimungkiri menjadi salah satu faktor yang membuat semakin banyak orang tanpa sadar menjadi seorang social climber.

Dipengaruhi oleh hormon

Memiliki tendensi untuk melakukan social climbing sebenarnya dimiliki oleh setiap orang, tentunya dengan intensitas yang berbeda-beda. Social climber sendiri adalah seseorang yang mendapatkan kepuasan dan kesenangan dengan meningkatnya derajat diri di lingkungan sekitar, baik pergaulan, keluarga, pekerjaan, dan lain-lain.

Perasaan puas dan senang ini dipengaruhi oleh dopamin dan serotonin. Dopamin akan teraktivasi saat seseorang tertarik terhadap suatu hal. Pada social climber misalnya, tantangan untuk menjadi lebih baik di antara rekan yang lain atau adanya pengakuan serta rasa kagum yang datang dari sekitar.

Lebih lanjut, akan terjadi peningkatan serotonin dan oksitosin yang akan mengatur suasana hati. Serotonin diyakini sebagai zat yang diproduksi saat timbul rasa superior pada seseorang. Hal ini kemungkinan terjadi pada seorang social climber. Mekanisme ini juga diketahui berperan pada kondisi gangguan jiwa seperti ADHD, skizofrenia, dan gangguan cemas.

Belum “sah” sebagai gangguan jiwa

Jika Anda bertanya-tanya apakah perilaku social climbing termasuk gangguan jiwa, jawabannya tidak. Meski memiliki latar belakang teori dalam psikologi dan kesehatan, hingga saat ini social climbing belum dinyatakan sebagai gangguan kejiwaan. Walau demikian, bukan berarti perilaku tersebut tidak dapat menyebabkan gangguan pada hidup Anda.

Pada dasarnya, obsesi berlebih terhadap sesuatu dapat memicu berbagai gangguan lanjutan. Seorang social climber yang berambisi untuk memiliki derajat lebih tinggi dalam komunitas, atau selalu memiliki kebutuhan untuk menjadi lebih dalam sebuah kasta sosial, dapat menjadi stres jika kondisi ideal tersebut tak dapat terpenuhi. Stres ini tentu dapat memengaruhi berbagai aspek kualitas hidup dan jika semakin parah, justru dapat berlanjut menjadi gangguan kejiwaan.

Meski bukan sebuah gangguan jiwa dan sering kali tidak merugikan orang lain, kecenderungan menjadi seorang social climber justru bisa merugikan diri sendiri. Rasa stres yang dapat ditimbulkan saat obsesi akan sebuah status sosial tidak  terpenuhi bisa menyebabkan berbagai gejala fisik maupun psikis, hingga berlanjut menjadi gangguan kejiwaan yang lain. Karena itu, pilihlah lingkungan sosial yang sehat dan pelihara juga kesehatan psikis Anda.

[RS/ RVS]

Gaya Hiduppsikologi.social climber

Konsultasi Dokter Terkait