Covid-19

Tak Ada Laporan Positif Virus Corona Baru di Hubei, Ini Alasannya!

Krisna Octavianus Dwiputra, 23 Mar 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Secercah harapan baru muncul. Mulai hari Selasa (17/3), tidak ada laporan kasus positif virus corona di Provinsi Hubei, Tiongkok. Bagaimana ini bisa terjadi?

Tak Ada Laporan Positif Virus Corona Baru di Hubei, Ini Alasannya!

Di Provinsi Hubei, Tiongkok, tidak ada laporan kasus positif virus corona baru sejak hari Selasa (17/3) lalu. Ini tentunya adalah kabar gembira, mengingat Hubei, terutama kota Wuhan, sempat menjadi episentrum penyebaran penyakit COVID-19.

Infeksi strain baru virus corona atau coronavirus penyebab penyakit COVID-19, yaitu SARS-CoV-2, pertama kali ditemukan pada tanggal 10 Desember silam. Saat itu, warga yang bernama Wei Guixian merasa tidak enak badan.

Ia kemudian dirujuk ke Wuhan Central Hospital. Akhirnya, pada 27 Desember, diumumkan bahwa ia terkena virus corona baru tersebut.

Dari situ, penyebaran virus terus berkembang menjadi epidemi, sampai-sampai pemerintah Tiongkok mengambil kebijakan untuk menerapkan lockdown di Wuhan (yang ada di Provinsi Hubei) dan beberapa kota lainnya.

Dengan penyebaran virus ke populasi dunia, akhirnya mau tak mau membuat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menaikkan status penyakit menjadi pandemi global.

Menurut data dari Worldometers, Tiongkok menjadi negara dengan kasus virus corona terbanyak di dunia, yakni 80.967 kasus sampai Jumat (20/3). Dengan lebih dari 67.800 kasus berasal dari Provinsi Hubei.

Artikel Lainnya: Hati-hati Virus Corona, Ini Pertolongan Pertama untuk Mengatasinya

1 dari 4

Provinsi Hubei Bebas Kasus Coronavirus

Setelah menjadi daerah dengan kasus COVID-19 terbanyak, untuk pertama kalinya, tak ada laporan kasus virus corona baru di Provinsi Hubei.

Fakta tersebut tentunya menjadi sebuah pencapaian, mengingat sudah kurang lebih empat bulan lamanya provinsi tersebut berjibaku dengan penyakit virus corona.

Virus yang masih ‘bersaudara’ dengan virus penyebab SARS dan MERS ini memang sempat membuat Hubei dan provinsi di Tiongkok lainnya lumpuh.

Berbulan-bulan warga Hubei dipaksa untuk mengisolasi diri kediamannya. Semua aktivitas di luar rumah dihentikan demi menekan angka penyebaran kasus virus.

Artikel Lainnya: Waspada, Penderita Virus Corona Bisa Tidak Menunjukkan Gejala!

2 dari 4

Bagaimana Cara Provinsi Hubei Mengatasi Wabah Virus Corona?

Meski ‘brutal’, tapi cara yang diterapkan pemerintah setempat untuk mengatasi epidemi adalah dengan penerapan kebijakan lockdown pada pertengahan Januari, yaitu penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak.

Pemerintah menghentikan pergerakan masuk dan keluar dari Wuhan, pusat epidemi, dan 15 kota lain di provinsi Hubei—rumah bagi lebih dari 60 juta penduduk.

Warga pun harus patuh aturan untuk tetap tinggal di rumah, dan hanya diperbolehkan keluar rumah untuk membeli makanan atau mendapatkan bantuan medis. Sekitar 760 juta orang, kira-kira setengah dari populasi Negeri Tirai Bambu, ‘dikurung’ di sana.

Kebijakan ekstrem ini menuai pujian dari WHO. Mereka menyebut bahwa kebijakan itu tergolong unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, yang bisa menekan angka penularan virus corona.

Lalu, jangan lupa bahwa juga ada kebijakan travel ban atau larangan melakukan perjalanan sebagai bagian dari lockdown yang wajib dipatuhi masyarakat.

Artikel lainnya: Tanda-tanda Seseorang Sudah Sembuh dari Virus Corona

3 dari 4

Tiongkok Pakai Obat dari Jepang untuk Atasi Virus Corona

Selain menerapkan lockdown, pemerintah Tiongkok diketahui memakai obat dari Jepang untuk mengatasi wabah COVID-19.

Otoritas medis di Tiongkok mengatakan, obat yang digunakan di Jepang untuk mengobati jenis influenza baru tampaknya efektif pada pasien coronavirus.

Zhang Xinmin, seorang pejabat di Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tiongkok mengatakan, ada obat yang cukup ampuh setelah diuji klinis. Nama obat tersebut adalah favipiravir, yang dikembangkan oleh anak perusahaan Fujifilm.

Uji klinis diketahui telah menghasilkan hasil yang menggembirakan di Wuhan dan Shenzhen yang melibatkan 340 pasien.

"Ini memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan jelas efektif dalam perawatan," kata Zhang seperti dikutip di The Guardian.

Pasien yang diberi obat di kota Shenzhen dinyatakan negatif virus corona rata-rata empat hari setelah dinyatakan positif, dibandingkan dengan rata-rata 11 hari pada pasien yang tidak diberikan obat tersebut.

Selain itu, pemeriksaan dengan sinar X mengonfirmasi adanya peningkatan kondisi paru-paru pada sekitar 91 persen pasien yang diobati dengan favipiravir, dibandingkan dengan 62 persen pasien yang tidak menggunakan obat tersebut.

Saat ini, dokter di Jepang menggunakan obat yang sama dalam studi klinis pada pasien coronavirus dengan gejala ringan hingga sedang. Harapannya, obat tersebut dapat mencegah virus berkembang biak pada pasien.

Meski terdengar menjanjikan, tetapi sumber dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Sosial Jepang mengatakan, obat itu tidak efektif pada pasien dengan gejala yang lebih parah.

"Kami telah memberi favipiravir kepada 70-80 orang, tapi tampaknya tidak berfungsi dengan baik ketika virus sudah berlipat ganda," kata seorang sumber itu kepada surat kabar Mainichi Shimbun.

Keterbatasan yang sama telah diidentifikasi dalam penelitian yang melibatkan pasien coronavirus menggunakan kombinasi antiretroviral HIV, lopinavir, dan ritonavir.

Pada 2016, pemerintah Jepang memasok favipiravir sebagai bantuan darurat untuk menghadapi wabah virus Ebola di Guinea, Afrika.

Favipiravir akan memerlukan persetujuan pemerintah untuk penggunaan skala penuh pada pasien COVID-19, karena pada awalnya dimaksudkan untuk mengobati flu.

Artikel lainnya: Penggunaan Avigan dan Klorokuin untuk Obati COVID-19, Efektifkah?

4 dari 4

Sekilas tentang Kondisi Virus Corona di Indonesia

Kalau di Provinsi Hubei tercatat 0 kasus baru virus corona, lain halnya di Indonesia yang angkanya diduga akan terus melonjak.

Hingga artikel ini ditulis, tercatat kasus positif sudah 514 orang, 29 pulih, dan 48 pasien meninggal dunia. Persebaran wilayahnya adalah Banten, Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

Meski belum menerapkan lockdown, tetapi Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan pelaksanaan rapid test untuk mendeteksi COVID-19 secara massal di Indonesia.

Warga pun juga terus-menerus diimbau untuk mempraktikkan langkah-langkah pencegahan penularan virus corona, yaitu:

  • Cuci tangan sesering mungkin.
  • Terapkan social distancing atau menjaga jarak antara satu dengan yang lain, salah satunya dengan imbuan untuk kerja dari rumah (work from home).
  • Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut, khususnya bila belum cuci tangan.
  • Lakukan aturan bersin dan batuk yang benar.
  • Jika mengalami demam, batuk, dan kesulitan bernapas, segera periksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan.

Perlu diketahui, menurut dr. Atika dari KlikDokter, ketika menginfeksi manusia, virus SARS-CoV-2 bisa menyebabkan gejala yang bervariasi, mulai dari tanpa gejala hingga kondisi yang sangat berat.

“Beberapa gejala yang timbul adalah demam, batuk, dan sesak napas,” kata dr. Atika.

Berdasarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), gejala virus Corona baru dapat timbul secepat 2 hari hingga 14 hari pasca terpapar virus. Hal ini diperkirakan dari karakteristik infeksi yang disebabkan oleh virus MERS.

Nol kasus positif virus corona di Provinsi Hubei sejak Selasa (17/3) lalu memang kabar menggembirakan. Namun, warga Indonesia mesti tetap waspada tanpa harus panik. Jika khawatir dengan infeksi COVID-19, segera cek langsung kondisi Anda di sini. Tim dokter KlikDokter siap membantu Anda 24 jam sehari! Klikdokter telah bekerjasama dengan Kemenkes untuk ikus serta dalam menekan angka pesebaran virus corona di masyarakat Indonesia.

 

(RN/ RH)

virus corona