Sebagai salah satu tokoh kesehatan yang disegani, beliau mengungkapkan keprihatinannya kepada gejala dekadensi kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sulit dipungkiri, masyarakat tengah dimaraki oleh gejala fenomena kasus malpraktik yang terjadi dimana-mana. Dimana latar belakang gejala tersebut tak luput ayal diakibatkan oleh terjadinya proses dekadensi kualitas komunikasi dokter pada pasien yang semakin kurang efektif diperparah pula oleh korelasi kolegatif antara farmasi & dokter yang sedikit banyak merugikan pasien.
Menurut beliau, hubungan perorangan dalam masyarakat kedokteran saat ini, khususnya dalam hal hubungan antara dokter dan pasien, serta antar dokter, tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan.
Diam-diam beliau menelaah, mencari dimana letak kesalahan, agar dapat memerbaiki citra dokter Indonesia. Timbuk pada benak beliau, sebuah pertanyaan retorika yang menggelitik; ‘Benarkah lafal sumpah dokter yang diucapkan pada waktu pelantikan dokter sudah terimplementasikan sempurna? Hal inikah yang memengaruhi citra masyarakat kedokteran Indonesia?
Dalam wacana beliau pada saat mengisi acara Temu Wicara Kebersamaan, Kesejawatan, & Kesantunan Di Antara Alumni FKUI Dari Sudut Pandang Multidimensi pada Rabu (15/7) lalu, beliau mengemukakan pendapatnya mengenai belum pernah adanya kajian sampai sejauh mana pendidikan peraturan dan etika dalam kesejawatan, hubungan dalam masyarakat, kesantunan diberikan dalam kurikulum pendidikan akademi kedokteran.
Beliau menyayangkan, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia dewasa ini masih menyibukkan diri dalam wilayah ilmu kedokteran. Belum banyak sentuhan pematangan ilmu sosial (kemasyaraktan), hukum, ekonomi, bahkan barangkali filsafat.
Tak ayal, banyak pendapat yang berargumen menyoal kendala tersebut, diantara kendala yang ada mengemuka adalah soal waktu pendidikan. Apakah memungkinkan materi ilmu sosial (kemasyaraktan), hukum, ekonomi, filsafat dan lainnya untuk diberikan “Extra kurikuler seperti pada sistem pendidikan “bebas” (sistem lama, sampai tahun 50an).
Karena semakin dirasa, lafal sumpah yang baik diikuti peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengenai kompetensi dokter, undang-undang yang melindungi penderita ditambah anjuran pemerintah tentang keselamatan penderita; agaknya kurang mujarab untuk menanggulangi pengaruh lingkungan saat ini yang lebih mementingkan kepentingan menyejahterakan diri dengan mengabaikan kejujuran.
Begitulah, profesi mulia kian terkontaminasi akan motif kepuasan kebendaan. Tentunya fenomena populer ini merupakan ujian terberat pembenahan citra dokter. Meninjau sifatnya yang individuiil, tentunya citra pelayanan kesehatan Indonesia akan semakin terkonstruksi positif jika terdapat kesadaran penuh penghayatan lafal sumpah dokter dan kematangan pola pikir serta kedewasaan nurani seorang profesi dokter.[](DA)
Prof. dr. Padmosantjojo, SpBS
Prof. dr. Padmosantjojo, SpBS
Tanggal Lahir:
Kediri, 26 Februari 1938
Istri :
Thea Tarek
Putri :
Mutiara Padmosantjojo
RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL
Lulus Pendidikan Dokter:
1963
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Lulus Pendidikan Keahlian Bedah Saraf:
1969
Universiteit Groningen, Belanda
RIWAYAT PENDIDIKAN
NON-FORMAL
Stereotaxie Operatie
di Afd. Neurologie Acedemisch Ziekenhui Groningen,
Pimpinan Dr. J. Van Mannen
1966 - 1967
Workshop on Educational Measurement
CMS, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
1970
Teacher Orientation Course
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
1975
Penataran P 4
Tipe A
1981
Akta V
Program Tatap Muka
1983 - 1984
RIWAYAT ORGANISASI
Ketua Majelis Dokter Spesialis IDI
1992 - 1998
Sekretaris Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Neurologi, Psikiatri, Neurochirurgi (PNPNCh)
1970-1974
Ketua Majelis Dokter Spesialis
Ikatan Dokter Indonesia (MDSP)
Ketua Divisi Neurochirurgi
PNPNCh
Wakil Ketua Ikatan Ahli Bedah Saraf Indonesia
1984
Ketua PERSPEBSI Pusat
1997 - 2000
Anggota MKKI
(Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia)
1997 - 2000