HomePsikologiKesehatan MentalToxic Positivity yang Tak Disadari Banyak Orang
Kesehatan Mental

Toxic Positivity yang Tak Disadari Banyak Orang

dr. Sara Elise Wijono MRes, 04 Jan 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Selalu berpikir positif sangat baik bagi kesehatan mental. Tapi tahu tidak ternyata ada yang namanya toxic positivity?

Toxic Positivity yang Tak Disadari Banyak Orang

Siapa di antara Anda yang punya resolusi untuk selalu berpikiran positif di tahun 2020 ini? Jika ada, semoga selalu konsisten ya. Tetapi perlu tahu pula kalau selalu berpikir positif juga punya dampak baik dan buruk. Kenapa berdampak buruk? Agar lebih memahaminya, Anda perlu mengetahui toxic positivity yang bisa merugikan kesehatan mental di sini.

Pengertian Toxic Positivity

Selama ini, kita terbiasa menganggap bahwa berpikir positif merupakan hal yang terbaik. Siapa sangka ternyata terlalu positif malah merugikan bagi kesehatan mental? Toxic positivity adalah penggunaan rasa bahagia dan optimis secara berlebihan dan disamaratakan untuk segala situasi.

Sebagai akibatnya, dapat timbul penyangkalan, rasa mengecilkan, dan menghapuskan emosi-emosi manusiawi lainnya. Dalam kehidupan, tidak mungkin seseorang merasa bahagia dan positif terus-menerus.

Pasti ada peristiwa atau pengalaman yang menimbulkan emosi negatif pada seseorang. Misalnya sedih, kecewa, berduka, cemas, dsb. Berbagai emosi negatif tersebut juga penting untuk dirasakan dan diekspresikan.

Umumnya, toxic positivity muncul melalui perkataan. “Masih untung…banyak yang lebih menderita”, “banyak-banyak bersyukur saja”, atau “lihat positifnya saja…” dapat menjadi contoh dari ucapan positif yang tidak baik bergantung pada situasi dan kondisi.

Misalnya saja, ketika seorang istri mengetahui suaminya sudah mendapat diagnosis bahwa ia mengidap kanker. Tetapi sang istri merasa “Ah, dia akan baik-baik saja” tanpa memperhatikan betapa besar perjuangan sang suami melawan rasa sakit yang dirasa.

Hal ini dikarenakan sang istri tak sadar ia telah menyangkal terhadap keadaan di depan mata. Bahkan perkataan seperti itu tak hanya dilontarkan untuk orang lain, melainkan juga pada diri sendiri.

Misalnya, “Sabar saja, orang sabar disayang Tuhan,” ketika Anda berupaya menenangkan diri karena belum dapat kerja, sementara Anda tidak berusaha. Berdoa itu wajib, tapi bagaimana jika tanpa dibarengi dengan usaha yang nyata?

Dampak Toxic Positivity

Selain sering menyangkal dan berkecil hati, ada pula dampak negatif lainnya. Berikut ini dampak toxic positivity yang perlu Anda ketahui.

  1. Kurangnya Rasa Empati

Saat seseorang (selanjutnya disebut sebagai komunikator) curhat, ia tidak selalu butuh nasihat. Seringkali, mereka hanya butuh didengarkan dan dimengerti. Dengan kata lain, komunikator butuh pembenaran akan emosi yang mereka rasakan.

Sementara, jika lawan bicaranya (selanjutnya disebut sebagai komunikan) terjangkit toxic positivity, justru tidak membenarkan adanya emosi negatif dari komunikator. Sehingga mungkin menimbulkan rasa malu jika merasakan emosi tersebut.

Dampaknya, alih-alih menemukan jalan keluar dan mengurangi rasa gelisah yang dirasakan komunikator, si komunikan yang terjangkit toxic positivity justru merusak suasana karena komentarnya.

Niat awalnya menenangkan, tapi karena kalimat komunikan yang berusaha memaksa komunikator untuk tenang menghadapi masalahnya, justru membuat yang punya masalah semakin kesal dan merasa tidak didengarkan.

Artikel Lainnya: Tips Membangun Mental Sehat dengan Berpikir Lebih Positif

Jadi, jika ada teman yang curhat dan menangis, jangan ungkapkan kalimat “Nangis tak akan menyelesaikan masalah.” Padahal dengan menangis, membuat sebagian orang merasa lega.

Jadi jangan sampai niat baik untuk menghibur, tapi malah semakin mengecewakan orang lain. Kalimat sederhana seperti “Apa ada yang bisa aku bantu?” dapat membuat lawan bicara merasa dimengerti dan membuatnya lega.

  1. Mengucilkan Diri

Selanjutnya, selain kurang sensitif, orang yang terpapar toxic positivity mungkin akan merasa tidak nyaman untuk mengekspresikan diri apa adanya. Akibatnya, mereka memilih untuk menutup diri, menyembunyikan perasaan, dan mengucilkan diri sendiri.

Dengan demikian, bisa saja mereka memilih untuk berdiam diri mengenai masalahnya, padahal mungkin mereka membutuhkan bantuan lebih lanjut. Misalnya saja, kondisi seperti depresi merupakan masalah mental yang tidak bisa disembuhkan semata-mata dengan bersikap dan berpikir positif.

Bahkan seringkali penderitanya membutuhkan bantuan tenaga ahli. Namun, karena lebih sering berpikir positif karena ia merasa tak ada masalah berarti bagi kesehatan mentalnya, tanpa disadari kondisinya justru makin parah.

  1. Menambah Emosi Negatif

Beberapa studi menemukan bahwa menyembunyikan atau menyangkal perasaan tidak memperbaiki keadaan, malah dapat menimbulkan efek buruk. Misalnya saja, menambah stres atau sulit untuk menyembunyikan perasaan.

Di sisi lain, bebas mengekspresikan diri memang membantu manusia untuk mengatur respon stresnya. Namun, bagi yang terpapar toxic positivity, jika mereka mengekspresikan diri, bukannya menghibur, ia malah membuat orang semakin stres.

Jadi, Anda tetap boleh berpikir positif, namun jangan terlalu berlebihan karena bisa berisiko terjangkit toxic positivity. Begitu pula terhadap diri sendiri, tidak perlu memaksakan diri untuk selalu positif. Jika merasakan emosi negatif, jangan takut untuk mengekspresikannya.

Carilah pendengar yang baik dan bisa memahami Anda. Ingat, walaupun tidak menyenangkan dirasakan, namun hal ini adalah emosi yang sangat manusiawi. Jangan sampai terjerumus dalam toxic positivity.

[RPA/AYU]

kesehatan mental

Konsultasi Dokter Terkait