Kesehatan Mental

Fenomena Body Count Ketika Ranah Pribadi Jadi Sensasi dan Dianggap Prestasi

Christovel Ramot, 27 Nov 2023

Ditinjau Oleh Iswan Saputro

Saat ini banyak yang menggunakan istilah body count sebagai “prestasi” dalam hal hubungan. Sebenarnya, apa itu body count?

Fenomena Body Count Ketika Ranah Pribadi Jadi Sensasi dan Dianggap Prestasi

Istilah "body count" pertama kali muncul dalam konteks militer, digunakan untuk menghitung jumlah musuh yang tewas dalam pertempuran. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah ini telah berubah maknanya dan kini merujuk pada jumlah pasangan seksual yang pernah dimiliki seseorang.

Bersama Psikolog Iswan Saputro dan tim konten dari KlikDokter, kita akan akan mengulas singkat tentang fenomena "body count" dalam konteks kesehatan mental, membahas perubahan makna istilah ini, dampaknya pada individu, serta pentingnya kesadaran akan konsekuensi kesehatan mental dan fisik yang mungkin timbul dari perilaku gonta-ganti pasangan.

Transformasi Istilah "Body Count"

Menurut kamus Merriam-Webster istilah "body count" digunakan dalam konteks militer untuk mengukur jumlah mayat (musuh) yang tewas dalam pertempuran. Penggunaan istilah ini berkaitan dengan aspek fisik dan konfrontasi.

Namun, seiring berjalannya waktu, makna istilah "body count" telah berubah secara drastis dalam konteks pergaulan orang dewasa. Kini, istilah ini merujuk pada jumlah pasangan seksual yang pernah dimiliki seseorang dalam hidup mereka.

Transformasi ini mencerminkan perubahan budaya dan sosial yang memandang perilaku seksual individu sebagai sesuatu yang dapat dihitung dan diukur. Di Indonesia sendiri, istilah tersebut sempat viral di media sosial TikTok di akhir 2022 hingga awal 2023 saat seorang public figure bercerita tentang perilaku gonta-ganti pasangan seksualnya.

Pembahasan tentang body count bahkan dianggap obrolan biasa dalam pergaulan. Namun, yang perlu disadari dan dikendalikan adalah jangan sampai menjadikan body count sebagai pencapaian untuk menaikan harga diri (self-esteem) atau validasi dalam pergaulan.

Artikel Lainnya: 4 Daftar Infeksi Menular Seksual yang Sangat Berbahaya

Body Count Bukan Pencapaian

Perilaku seksual, termasuk body count, bijaknya adalah informasi pribadi yang perlu dijaga. Namun, kebebasan berpendapat dan terbukanya informasi di media sosial membuat hal ini bisa menjadi konsumsi publik.

Jika perilaku seksual dianggap dan dijadikan tolak ukur seberapa dewasa seseorang dalam hidup adalah hal yang keliru. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa aktivitas seksual merupakan kebutuhan psikologis dasar manusia dan bukan merupakan aktualisasi diri atas potensi yang dimiliki.

Jika perilaku seksual dijadikan sebuah pencapaian dalam standar sosial, maka tatanan nilai moral yang ada di masyarakat akan terganggu. Nilai moral menjaga keseimbangan dalam hidup dan melatih kontrol diri dalam berperilaku

Ketika pembahasan tentang body count dianggap hal yang biasa, secara kolektif akan menciptakan persepsi perilaku seksual adalah pencapaian dan tidak memiliki konsekuensi jika melakukannya. Salah satu risiko dari perilaku seksual dengan banyak orang adalah penyakit menular seksual (PMS).

Masih banyak cara untuk mendapatkan pencapaian dalam standar sosial selain perilaku seksual melalui body count. Aktualisasi diri dengan aktivitas yang lebih positif juga dapat meningkatkan harga diri (self-esteem) tanpa mengganggu tatanan norma atau budaya di Indonesia.

Artikel Lainnya: Bahaya di Balik Tren Sleepover Date

Penyakit Menular Seksual akibat Gonta-ganti Pasangan

Pembahasan body count juga merujuk pada perilaku gonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Berikut penyakit menular seksual yang dapat muncul dari perilaku ini:

  1. HIV/AIDS: Virus ini menyebar melalui kontak seksual dengan orang yang terinfeksi, dan semakin banyak pasangan seksual, semakin tinggi risiko penularannya.
  2. Sifilis: Penyakit ini juga dapat dengan mudah menular melalui hubungan seksual tanpa perlindungan.
  3. Gonore: Infeksi bakteri ini dapat menyebar dengan cepat jika tidak diobati, dan gonta-ganti pasangan meningkatkan risiko penularannya.
  4. Herpes genital: Herpes adalah virus yang bersifat kronis dan dapat menyebar dengan mudah melalui kontak seksual.
  5. Kondiloma akuminata: Juga dikenal sebagai kutil kelamin, penyakit ini disebabkan oleh virus papiloma manusia (HPV) dan dapat menular melalui hubungan seksual.

Penyakit Mental akibat Gonta-ganti Pasangan

Selain risiko penyakit menular seksual, gonta-ganti pasangan seksual juga dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang. Beberapa penyakit mental yang mungkin timbul akibat perilaku ini:

  1. Depresi: Rasa kesepian, kekecewaan, dan stres yang muncul dari hubungan yang tidak stabil dan sering berubah dapat menyebabkan gejala-gejala depresi muncul.
  2. Kecemasan: Ketidakpastian dalam hubungan seksual dan ketakutan akan risiko yang muncul dapat membuat seseorang merasa cemas.
  3. Kontrol diri lemah: Perilaku impulsif dalam hubungan seksual dapat menurunkan kemampuan kontrol diri dan meningkatkan perilaku agresif dalam hal lain.
  4. Rendahnya harga diri: Menjadikan perilaku seksual sebagai penentu harga diri secara tidak sadar membuat seseorang merasa rendah diri (insecure) karena harus mendapatkan validasi dari perilaku berisiko.

Artikel Lainnya: Hai Gen Z, INi Cara Menolak Ajakan Seks dari Pacar

Pentingnya Kesetiaan dan Komitmen dalam Hubungan Seksual

Perilaku seksual adalah kebutuhan dasar psikologis manusia namun hal ini tidak dijadikan pembenaran untuk melakukannya tanpa kontrol diri. Menahan diri untuk tidak terpengaruh dalam fenomena body count juga meningkatkan harga diri (self-esteem) dan sebuah pencapaian atas diri sendiri.

Memiliki komitmen, kesetiaan, dan menghargai pasangan dapat menurunkan risiko penularan penyakit menular seksual dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Kemampuan kontrol diri dan menempatkan diri dalam menjaga pergaulan juga menunjukkan kematangan psikologis seseorang.

Jika kamu mengalami kesulitan dalam mengendalikan dorongan seksual, kontrol emosi, atau krisis kepercayaan diri yang berujung pada gonta-ganti pasangan maka segeralah cari bantuan profesional.

Konsultasi dengan dokter dan psikolog adalah langkah yang bijaksana jika kamu merasa memerlukan bantuan dalam mengubah perilaku seksual atau mengatasi dampak kesehatan mental yang mungkin timbul.

Kamu bisa konsultasikan dengan psikolog melalui aplikasi KlikDokter.

#Jaga Sehatmu Selalu

  • Ueda, P., Mercer, C. H., Ghaznavi, C., & Herbenick, D. Trends in frequency of sexual activity and number of sexual partners among adults aged 18 to 44 years in the us, 2000-2018. JAMA Network Open, 2020:3(6), e203833. 
  • Twenge, J. M. Possible reasons us adults are not having sex as much as they used to. JAMA Network Open, 2020:3(6), e203889–e203889. 
  • Lefkowitz, E. S., Shearer, C. L., Gillen, M. M., & Espinosa-Hernandez, G. How gendered attitudes relate to women’s and men’s sexual behaviors and beliefs. Sexuality & Culture, 2014: 18(4), 833–846.
  • Endendijk, J. J., van Baar, A. L., & Deković, M. He is a stud, she is a slut! A meta-analysis on the continued existence of sexual double standards. Personality and Social Psychology Review, 2020:24(2), 163–190. 
  • Šaffa, G., Duda, P., & Zrzavý, J. (2022). Paternity Uncertainty and Parent–Offspring Conflict Explain Restrictions on Female Premarital Sex across Societies. Human Nature, 33(2), 215-235.
  • Stewart-Williams, S., Butler, C. A., & Thomas, A. G. (2017). Sexual history and present attractiveness: People want a mate with a bit of a past, but not too much. The Journal of Sex Research, 54(9), 1097-1105.