Masalah Pernapasan

Altitude Sickness

dr. Devia Irine Putri, 21 Des 2022

Ditinjau Oleh dr. Devia Irine Putri

Altitude sickness atau disebut penyakit ketinggian merupakan sekumpulan gejala akibat mendaki terlalu cepat di ketinggian. Kenali kondisi in

Altitude Sickness

Altitude Sickness

Dokter spesialis

Spesialis paru, saraf

Gejala

Sakit kepala, sesak napas, mual, muntah, berdebar, nyeri dada, sulit tidur, batuk, penurunan kesadaran

Faktor risiko

Usia altitude sickness sebelumnya, punya penyakit jantung dan paru

Cara diagnosis

Amnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (rontgen dada, CT Scan, MRI)

Pengobatan

Segera bawa ke tempat yang lebih rendah, oksigenasi, obat-obatan

Obat

Antinyeri (parasetamol, ibuprofen), acetazolamide, nifedipine, dexamethasone, penghambat fosfodiesterase-5

Komplikasi

Edema cerebri, edema paru, koma, kematian

Kapan harus ke dokter?

Apabila gejala tidak berkurang meski sudah berpindah ke daerah yang lebih rendah; muncul gejala berat seperti sesak napas berat, penurunan kesadaran, kesulitan bergerak

Pengertian

Altitude sickness atau yang sering disebut sebagai penyakit ketinggian adalah sekumpulan gejala yang muncul akibat seseorang mendaki terlalu cepat di ketinggian. 

Kondisi ini umum dirasakan para pendaki, terutama jika selama ini tinggal di dataran rendah dan memiliki penyakit paru-paru.  

Altitude sickness terbagi menjadi menjadi tiga derajat keparahan, yaitu:

1. Acute Mountain Sickness

Acute Mountain Sickness atau penyakit gunung akut merupakan salah satu bentuk altitude sickness

Kondisi ini merupakan derajat paling ringan, tapi dapat berubah menjadi kondisi yang mengancam nyawa apabila tidak ditangani dengan segera.

2. High Altitude Pulmonary Edema (HAPE)

High Altitude Pulmonary Edema merupakan penyebab tersering seseorang mengalami kematian.

Pada kondisi ini, terdapat cairan yang menumpuk di paru-paru, sehingga penderita kesulitan bernapas.

3. High Altitude Cerebral Edema (HACE)

High Altitude Cerebral Edema adalah derajat terberat dari altitude sickness. Kondisi ini sangat mengancam nyawa dan harus segera ditangani.

Pada HACE, terdapat akumulasi cairan di otak yang menyebabkan pembengkakan otak. 

Penyebab

Altitude sickness terjadi akibat adanya perubahan yang cepat antara tekanan udara dan kadar oksigen dalam ketinggian tertentu. 

Kondisi ini umum terjadi apabila seseorang berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. 

Saat kamu berada pada ketinggian, kadar oksigen di udara ikut menurun. 

Pada kondisi tersebut, tubuh berusaha untuk menyesuaikan dengan cara meningkatkan detak jantung dan pernapasan yang lebih cepat agar oksigen dapat tersebar merata di dalam tubuh. 

Apabila kamu mendaki di ketinggian dalam waktu cepat, kamu tidak memberikan kesempatan tubuh untuk beradaptasi. Akibatnya, muncul gejala altitude sickness

Artikel lainnya: Mengenal Perbedaan Hipotermia, Frostbite, dan Altitude Sickness 

Faktor Risiko

Semua orang dapat mengalami altitude sickness, meskipun memiliki tubuh yang sehat dan bugar. 

Sering melakukan aktivitas fisik di ketinggian menjadi salah satu faktor risiko terjadinya altitude sickness

Selain itu, beberapa faktor risiko lain yang meningkatkan terjadinya altitude sickness antara lain:

  • Usia muda (kurang dari 50 tahun)
  • Mendaki ke tempat yang tinggi dengan cepat
  • Memiliki riwayat altitude sickness di pendakian sebelumnya
  • Tinggal di dataran rendah seperti perkotaan atau dataran rata, seperti dekat pantai
  • Memiliki penyakit tertentu seperti PPOK, anemia sel sabit, gagal jantung

Gejala

Gejala altitude sickness dapat muncul secara bertahap dari tingkat keparahan ringan ke berat atau muncul secara tiba-tiba. 

Umumnya, gejala akan muncul 12 - 24 jam setelah tiba di ketinggian dan dapat menghilang dalam 1-2 hari setelah tubuh mulai menyesuaikan diri. 

Berikut gejala dari altitude sickness yang sering muncul:

  • Sakit kepala
  • Mual
  • Muntah
  • Kelelahan
  • Sulit tidur
  • Sesak napas
  • Jantung berdebar
  • Penurunan nafsu makan

Pada kondisi yang lebih berat, altitude sickness dapat menyebabkan penumpukan cairan di paru-paru dan otak yang mengancam jiwa.

Beberapa gejala yang muncul apabila kondisi mengarah pada hal yang lebih serius antara lain:

  • Linglung
  • Halusinasi dan mudah marah
  • Kesulitan berjalan
  • Sianosis (kulit membiru)
  • Dada terasa tertekan
  • Sesak napas yang makin memberat
  • Batuk terus-menerus, dapat disertai dengan darah
  • Penurunan kesadaran

Diagnosis

Diagnosis altitude sickness ditegakkan oleh dokter spesialis paru, utamanya melalui wawancara medis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pertanyaan dalam wawancara medis meliputi pengalaman atau riwayat mengunjungi atau mendaki dalam ketinggian yang tinggi maupun gejala apa saja yang dialami. 

Pada pemeriksaan fisik, dokter akan menilai suara paru-paru apakah ada suara napas tambahan seperti gesekan kertas dengan menggunakan stetoskop.

Penilaian suara paru membantu menyingkirkan adanya kemungkinan penumpukan cairan di dalam paru-paru, terutama jika kamu mengalami sesak maupun nyeri dada.

Pemeriksaan penunjang berupa CT scan atau MRI dapat dilakukan apabila gejala altitude sickness yang muncul berat dan dicurigai adanya penumpukan cairan di otak. 

Pemeriksaan rontgen dada juga ikut dilakukan apabila dicurigai adanya penumpukan cairan di paru-paru. 

Pengobatan

Hal utama yang perlu dilakukan untuk mengatasi altitude sickness adalah segera turun atau membawa penderita ke daerah dengan ketinggian lebih rendah. 

Sembari membawa turun, longgarkan pakaian dan berikan cairan yang cukup. 

Apabila sudah muncul gejala ringan altitude sickness, usahakan untuk segera turun ke daerah yang lebih rendah.

Jangan sekali-kali memaksakan diri untuk mendaki lebih tinggi lagi. Pasalnya, gejala yang ada sangat mungkin bertambah berat. 

Artikel lainnya: Waspada, Inilah Penyebab Sesak Napas saat Naik Pesawat

Beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi altitude sickness antara lain:

1. Obat Antinyeri

Obat antinyeri yang dijual bebas, seperti paracetamol dan ibuprofen, dapat digunakan untuk membantu mengurangi keluhan sakit kepala yang menyerang. 

2. Acetazolamide

Obat acetazolamide digunakan sebagai pencegahan dan mengatasi altitude sickness.

Acetazolamide bekerja dengan cara mengasamkan darah dan menurunkan alkalosis respiratorik. Hal ini dapat meningkatkan pernapasan dan oksigenasi darah serta mempercepat adaptasi. 

Meski demikian, ada beberapa efek samping yang dapat terjadi ketika mengonsumsi obat ini.

Misalnya, meningkatnya frekuensi berkemih; serta parestesia (sensasi tak biasa pada kulit, seperti kesemutan, mati rasa, gatal, tanpa penyebab jelas) pada wajah, jari-jari tangan dan kaki, serta pandangan buram. 

3. Dexamethasone

Dexamethasone adalah golongan steroid yang membantu mengurangi peradangan atau pembengkakan.

Obat dexamethasone ini memiliki efek samping berupa nyeri perut, mual, dan sakit kepala.

4. Nifedipine

Nifedipine termasuk dalam golongan penghambat kanal kalsium yang biasanya diresepkan untuk mengatasi tekanan darah tinggi. 

Obat ini membantu mengurangi penyempitan di pembuluh darah arteri pulmonalis sehingga melegakan pernapasan.

5. Penghambat Fosfodiesterase-5

Obat golongan ini juga dapat digunakan dalam terapi altitude sickness. Obat Penghambat Fosfodiesterase-5 dapat menurunkan tekanan arteri pulmonalis. 

Tak hanya dengan obat-obatan, terapi altitude sickness juga dapat berupa pemberian oksigen. 

Jika tidak bisa turun secara cepat ke lokasi yang lebih rendah, kamu bisa menggunakan portable hyperbaric chamber atau kantong portable yang bertekanan tinggi. 

Artikel lainnya: Beberapa Penyebab Utama Jantung Berdebar

Pencegahan

Untuk menghindari altitude sickness, hal utama yang bisa dilakukan adalah mencari informasi terkait ketinggian di lokasi atau jalur pendakian yang akan dikunjungi.

Selain itu, ketahui juga informasi seputar altitude sickness, misalnya gejala yang muncul dan pertolongan pertama apa yang bisa dilakukan. 

Pencegahan terbaik agar terhindar dari altitude sickness adalah aklimatisasi. Aklimatisasi adalah memberikan waktu untuk tubuh menyesuaikan diri dari adanya perubahan kadar oksigen di dalam udara. 

Kamu dapat melakukan aklimatisasi dengan cara:

  • Mendaki secara perlahan dan bertahap
  • Berikan jeda atau istirahat 1-2 hari apabila mendaki lebih dari 2.400 mdpl
  • Melakukan latihan fisik sebelum mendaki mempersiapkan diri untuk turun dari pendakian secara cepat
  • Pastikan kamu minum air putih cukup agar tubuh tetap terhidrasi dengan baik serta mengonsumsi makanan yang bernutrisi khususnya tinggi karbohidrat
  • Hindari minum alkohol, merokok, ataupun mengonsumsi obat tidur saat melakukan pendakian

Selain hal-hal diatas, penggunaan obat-obatan tertentu seperti acetazolamide dan dexamethasone bisa digunakan untuk mencegah terjadinya altitude sickness.

Namun, penggunaan obat ini tidak rutin diberikan dan memberikan banyak efek samping yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, sebelum mendaki gunung, pastikan kamu berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan kondisimu layak atau tidak untuk mendaki. 

Kamu juga bisa mengetahui informasi terkait obat apa saja yang perlu disiapkan sebelum mendaki.

Komplikasi

Altitude sickness tidak segera ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi serius berupa:

  • Pembengkakan di otak (edema cerebri)
  • Penumpukan cairan di paru-paru (edema paru)
  • Koma
  • Kematian

Kapan Harus Ke Dokter?

Secara umum gejala akan berkurang apabila kamu berpindah ke daerah yang lebih rendah. 

Namun, jika gejala tidak kunjung berkurang, sesak napas yang makin memberat meski dalam keadaan istirahat, penurunan kesadaran, kesulitan bergerak, segera kunjungi fasilitas kesehatan terdekat. 

[HNS/NM]