HomePsikologiKesehatan MentalPolitisi Rawan Mengalami Gangguan Mental Ini
Kesehatan Mental

Politisi Rawan Mengalami Gangguan Mental Ini

Ruri Nurulia, 13 Agu 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Para politisi makin gencar lobi sana-sini jelang pemilihan umum tahun depan. Benarkah politisi rawan mengalami gangguan mental?

Politisi Rawan Mengalami Gangguan Mental Ini

Tak cukup bermodalkan kesehatan fisik, kesehatan mental juga sama pentingnya untuk performa seseorang saat bekerja, termasuk para politisi atau figur politik lainnya yang turut andil dalam suatu pemerintahan. Jenis kerja yang terkait dengan pengambilan keputusan, apalagi yang dampaknya bisa dirasakan secara luas, adalah pekerjaan yang menuntut dan penuh tekanan. Lantas, apakah kondisi ini menjadikan politisi rawan terkena gangguan mental?

Menurut Dr. Ashley Weinberg, dosen senior psikologi dari Universitas Salford, Inggris, ada beragam hal yang bisa membuat stres para politisi. Beberapa di antaranya, terlalu banyak bekerja, jam kerja panjang, membawa pekerjaan ke rumah,  dan kurangnya dukungan emosional. Sebetulnya berbagai penyebab tersebut tak hanya dialami oleh politisi, tapi juga pekerja pada umumnya. Namun, stres ini bisa dirasakan menjadi-jadi di kalangan politisi.

Misalnya pada politisi yang sedang nyaman menduduki jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada musim politik kali ini bisa jadi tekanan yang dirasakan bertambah, karena obsesi mengamankan kursi untuk kembali terpilih tahun depan. Bisa juga seseorang yang memutuskan siapa yang berangkat ke medan perang atau mereka yang menentukan keuangan masa depan negara.

Dalam era digital saat ini, akses informasi dan interaksi di duna maya mengalir deras dan lebih bebas. Membaca berbagai kritik, celaan, lelucon, bahkan hal-hal berbau fitnah yang dilontarkan masyarakat bisa membuat politisi stres, jika tak kuat mental.

Seperti yang Anda ketahui, stres yang tidak ditangani dengan baik dapat memicu terjadinya depresi dan gangguan kejiwaan lainnya yang mungkin lebih serius.

Sudah banyak politisi yang menjadi “korban”

Sudah ada beberapa contoh politisi ternama yang memiliki gangguan kejiwaan akibat dari berbagai faktor, yang memengaruhi proses pengambilan keputusan yang sifatnya bisa krusial. Misalnya, mantan presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy diketahui mengobati penyakit Addison yang dideritanya dengan menggunakan amfetamin,  yang berakhir pada keputusan untuk menyerang Kuba (Freeman, 1991). Abraham Lincoln diketahui menderita depresi klinis sepanjang hidupnya.

Lalu ada juga mantan perdana menteri Inggris Anthony Eden yang diketahui melakukan penyalahgunaan obat-obatan seperti morfin dan amfetamin, dan disebut-sebut memengaruhinya dalam pengambilan keputusan saat krisis Suez terjadi tahun 1956. Bertahun-tahun kemudian, para ilmuwan medis menemukan bahwa amfetamin bisa menghilangkan kemampuan penilaian seseorang terhadap suatu hal, dan inilah yang terjadi pada Anthony.

Di AS sendiri, sebuah studi dari University Medical Center meninjau sejarah dari 37 presidennya. Didapatkan temuan bahwa setengah dari para presiden tersebut menderita gangguan mental. Studi ini menyimpulkan bahwa 24 persen memenuhi kriteria diagnostik depresi. Selain itu, gangguan kecemasan dan gangguan bipolar juga ditemukan, sementara 8 persen presiden menunjukkan penyalagunaan alkohol atau ketergantungan.

Di luar negeri seperti di AS, Kanada, dan Inggris, sudah banyak politisi yang secara terbuka mengakui bahwa mereka berjuang dengan gangguan jiwa tertentu. Bahkan, ada juga yang mengundurkan diri dari jabatannya dan akhirnya mendedikasikan dirinya pada isu kesehatan mental seperti yang terjadi pada Patrick Kennedy, mantan anggota Dewan Perwakilan AS selama 16 tahun.

Kesehatan mental, paling tidak di negara-negara maju, kini dianggap sebagai hal penting dalam dunia politik. Dari Skandinavia, mantan perdana menteri Kjell Magne Bondevik mengungkapkan bahwa dirinya mengalami depresi dan ini memengaruhi kemampuannya dalam mengambil keputusan saat masa kerjanya. Keterbukaannya ini membuat meningkatnya kesadaran warga Norwegia tentang pentingnya kesehatan mental.

Gangguan mental para politisi di Indonesia

Meski tak sama dengan contoh kasus yang disebutkan di atas, di dalam negerti juga tercatat beberapa politisi yang mengalami guncangan jiwa. Dihimpun dari berbagai sumber, contohnya Yuli Nursanti, salah satu calon Bupati Ponorogo, Jawa Timur, yang kalah pada tahun 2005 dan selanjutnya tersangkut kasus penipuan senilan Rp3 miliar. Rentetan tersebut berujung pada percobaan gantung diri. Setelah dilarikan ke rumah sakit, Yuli kabur lewat pintu belakang rumah sakit dan tak lama ia ditemukan sedang berendam di sungai belakang rumah sakit.

Ada juga Nano Hermanto, mantan anggota DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang nekat memanjat menara seluler setinggi 62 meter di pinggiran kota Subang. Nano pun mengancam akan bunuh diri sebagai ungkapan kekecewaannya atas pengusutan kasus dugaan korupsi Bupati Subang yang mandek.

Lukman Suroso yang pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Psikolog Seluruh Indonesia Wilayah DKI Jakarta pada tahun 2008 pernah mengemukakan bahwa para politisi rentan terserang penyakit jiwa. Menurutnya ini karena banyak politisi yang maju ke bursa politik didorong oleh partai politiknya.

“Mereka malu karena diojok-ojok partainya. Calon itu sendiri belum tentu siap, terutama mentalnya,” kata Lukman seperti dikutip okezone. “Itu kan banyak terjadi di Pilkada. Mereka menyuruh massa pendukungnya untuk berdemo, menyerang lawan, akhirnya ribut. Ini contoh nyata kalau politisi di negeri ini masih banyak yang tidak matang mental,” lanjutnya.

Faktor lain yang juga bisa membuat politisi mengalami gangguan mental adalah beban utang, akibat banyaknya uang yang dikeluarkan dalam masa kampanye, atau  praktik mahar politik. Kondisi ini tentu saja bisa bikin stres.

Ada studi yang dipublikasikan di jurnal “Intelligence” yang meneliti hubungan antara orang pintar dan sakit jiwa. Meski kecerdasan tak secara merata dimiliki semua politisi, tapi para politisi diketahui menempuh berbagai pendidikan yang menempa sisi intelektualitasnya, bahkan banyak juga yang diketahui memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Nah, peneliti menyebutkan bahwa otak orang cerdas bisa menjadi bumerang baginya yang memungkinkan orang tersebut berisiko 2 hingga 4 kali mengalami gangguan jiwa.

Salah satu peneliti, Dr. Nicole Tetreault, mengatakan bahwa orang cerdas cenderung memiliki gangguan mood kecemasan, serta kondisi lainnya seperti ADHD, autisme, dan masalah fisiologis. Bahkan, urusan sederhana saja dapat memicu stres kronis yang kemudian dapat mengaktifkan respons tertentu. Ketika sistem saraf simpatik menjadi aktif secara tak wajar, hal ini dapat memicu serangkaian perubahan kekebalan baik pada tubuh maupun perilaku. Dikatakan juga bahwa orang cerdas memiliki sisi yang tak bisa ditebak.

Waspada post-election stress disorder

Bisa dibilang beberapa tahun belakangan kondisi politik di Indonesia memanas, dengan munculnya berbagai isu yang membuat bangsa Indonesia mudah terprovokasi. Dengan kembalinya musim politik, berbagai pemberitaan media mengenai kompetisi politik, ekspektasi dan kenyataan yang tak sesuai dari calon yang dijagokan, kekecewaan atas putusan tertentu, dalam masih banyak lagi hal yang bisa membuat kepanikan dan kecemasan secara massal. Kondisi ini sendiri bisa membuat seseorang mengalami stres.

Dengan pemilihan presiden dan legislatif tahun depan, misalnya pada pasangan calon atau kandidat yang menang tentunya akan merasakan sukacita. Namun, bagi yang kalah, tentunya yang dirasakan berbeda. Kekecewaan dan dampak lainnya akibat kekalahan tersebut dapat menimbulkan gangguan mental seperti depresi jika tak bisa mengatasi kegagalannya dengan baik, yang pada kasus ini dikenal sebagai post-election stress disorder (PESD).

PESD dapat membuat penderitanya merasa tertekan, perasaan terisolasi, emosional, agresif, suka melamun kehilangan nafsu makan, sulit tidur, mimpi buruk, rasa malu hingga merasa kehilangan harga diri, dan masih banyak lagi. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat berujung pada percobaan bunuh diri, amukan publik (public tatrum), provokasi atau menghasut, atau melakukan aktivitas impulsif yang sifatnya irasional.

Kondisi ini sebetulnya tak hanya bisa dialami oleh politisi, tapi orang lain yang terlibat secara langsung seperti anggota keluarga, tim sukses, hingga donatur dan simpatisan. Faktanya memang banyak politisi yang mengalami stres, depresi, hingga percobaan bunuh diri. Ada yang harus rawat jalan, ada juga yang menjalani rehabilitasi.

Dari KlikDokter, dr. Anita Amalia Sari membenarkan depresi yang bisa dirasakan para politisi. Kekelahan dalam kompetisi tertentu dikatakannya bisa membuat politisi mengalami depresi.

“Selain depresi, gangguan cemas dan psikosomatis juga bisa dialami. Kondisi ini sering terjadi akibat  ekspektasi yang melebihi kenyataan. Keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang tak tergapai padahal sudah mengeluarkan banyak uang, bisa membuat stres seketika. Selain itu, tekanan pekerjaan mereka pun sebenarnya sudah berisiko menyebabkan gangguan mental,” jelasnya.

Mengatasi stres dan depresi yang terkait dengan kondisi politik

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalkan PESD. Dikutip dari berbagai sumber, berikut ini adalah beberapa strateginya.

  1. Hargai nilai-nilai inti (core values) yang Anda yakini

Tarik napas dalam-dalam lalu tanyakan ini pada diri Anda, “Siapa saya dan saya ingin menjadi siapa?” Pikirkan mengenai kualitas seperti rasa hormat, kasih sayang, kebajikan, tanggung jawab, inklusivitas, dan integritas. Cobalah pusatkan diri pada kebajikan dan nilai-nilai yang Anda pegang teguh dan gunakan itu sebagai mantra untuk memandu cara pikir dan perilaku.

  1. Hindari terpaan media

Cobalah untuk selektif dalam membaca berita. Hindari ekspos terlalu banyak media dan berbagai komentar di media sosial yang dapat meningkatkan stres, habituasi, dan rasa lelah.

  1. Bantu sesama

Cobalah mendorong diri untuk membantu orang lain setiap hari. Ini adalah strategi yang bagus untuk terus mengingatkan Anda bahwa berbuat baik akan memunculkan penghargaan terhadap diri sendiri, dan ini pun dapat berdampak baik terhadap komunitas.

  1. Memelihara dukungan sosial

Kelilingi diri dengan orang-orang yang peduli dengan Anda dan orang-orang yang bisa diajak berdiskusi tentang segala kekhawatiran Anda. Lakukan juga hal ini terhadap orang lain.

  1. Berbagi kemampuan Anda

Renungkan apa bakat dan kemampuan khusus yang Anda miliki, dan pikirkan bagaimana Anda dapat membaginya dengan orang lain dalam upaya menjadikan dunia lebih baik. Semua orang memiliki kualitas yang dapat bermanfaat terhadap orang lain atau masyarakat jika memiliki semangat untuk saling membantu.

Gangguan mental di Indonesia harus menjadi isu yang harus diperhatikan, termasuk pada politisi. Hilangkan segala stigma. Tak ada salahnya untuk lebih terbuka. Pada depresi misalnya, kondisi ini dapat membuat kemampuan pengambilan keputusan terganggu, yang ini bisa berdampak pada dirinya, orang-orang di sekitarnya, serta  hingga skala nasional.

Dalam beberapa kasus, perlu ada penyaringan lewat pemeriksaan kesehatan fisik dan mental, yang dapat menangkap indikasi hal-hal yang tak diinginkan terkait gangguan mental yang bisa terjadi. Pemeriksaan ini penting bagi para politisi, terutama yang perannya sebagai pemimpin atau pengambil keputusan, untuk mencegah adanya distraksi yang tak diinginkan, akibat adanya kondisi kesehatan jiwa tertentu dan penyalahgunaan kekuasaan politik.

[RVS]

Gangguan MentalPenyalahgunaan ObatpolitisiGangguan JiwaKesehatan JiwaStrespemilihan presidenPost-Election Stress DisorderPemilihan LegistlatifDepresi

Konsultasi Dokter Terkait