HomeGaya hidupDiet dan NutrisiRisiko Obesitas Bisa Dideteksi dari Perubahan Fungsi Otak
Diet dan Nutrisi

Risiko Obesitas Bisa Dideteksi dari Perubahan Fungsi Otak

Aditya Prasanda, 30 Apr 2022

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Studi terbaru menemukan peningkatan risiko obesitas keturunan dapat diketahui dari perubahan fungsi otak. Diduga, hal ini bisa membantu cara mendeteksi obesitas di masa depan.

Risiko Obesitas Bisa Dideteksi dari Perubahan Fungsi Otak

Obesitas alias berat badan berlebih merupakan kondisi yang disebabkan oleh penumpukan lemak yang sangat banyak di dalam tubuh. Penumpukan lemak terjadi akibat asupan kalori yang diterima tubuh jauh lebih banyak daripada jumlah kalori yang dibakar. 

Seseorang berisiko mengalami obesitas apabila memiliki gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup yang dimaksud, misalnya tidak aktif bergerak, punya pola makan buruk, mengonsumsi alkohol, merokok, menggunakan obat-obatan tertentu, ataupun mengalami stres.

Risiko obesitas juga dapat meningkat ketika memiliki orang tua pengidap kelebihan berat badan berlebih. Menurut Kemenkes RI, anak dengan riwayat keturunan penderita obesitas berisiko tinggi mengembangkan kondisi serupa sebesar 40-50 persen.

Disampaikan dr. Arina Heidyana, terdapat studi yang mengungkapkan bahwa risiko obesitas herediter (keturunan) diduga terjadi karena adanya perubahan fungsi otak. Lantas, bagaimana perubahan cara kerja otak memicu kondisi berat badan berlebih? Yuk, simak temuannya di sini.

Perubahan Fungsi Otak Tingkatkan Risiko Obesitas

Riset soal peningkatan risiko obesitas akibat perubahan fungsi otak digagas oleh Finnish Turku PET Centre, dari University of Turku, Finlandia. Penelitiannya dimuat International Journal of Obesity pada November 2021 lalu. 

Studi dilakukan dengan meneliti perubahan fungsi otak 41 peserta pria pengidap pra-obesitas. Para relawan memiliki beragam faktor risiko pemicu berat badan berlebih. 

Aktivitas otak peserta diselidiki melalui prosedur positron emission tomography (PET). Ini merupakan tes pencitraan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi organ dan jaringan tubuh. 

PET dilakukan dengan memasukkan senyawa radioaktif bernama radiotracer ke tubuh peserta. Senyawa tersebut berfungsi memancarkan sinar gamma.

Pancaran sinar gamma menampilkan gambar aktivitas otak peserta yang ditangkap oleh kamera khusus dan ditayangkan melalui layar komputer. Tim peneliti kemudian menganalisis perubahan fungsi otak peserta.

Perubahan yang diselidiki adalah aktivitas insulin, maupun reseptor opioid dan cannabinoid pada otak relawan.

Insulin merupakan hormon yang bertugas membantu tubuh menyerap dan mengubah gula darah (glukosa) menjadi energi. Hormon ini juga membantu menghubungkan sel otak, serta berperan dalam pembentukan memori otak.

Penderita obesitas mengalami resistensi insulin, yaitu kondisi ketika sel tubuh tidak dapat merespons insulin sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar lemak di perut yang merangsang sel lemak melepaskan senyawa pro-peradangan.

Senyawa inflamasi menurunkan sensitivitas (kemampuan merespons) sel otak terhadap insulin. 

Adapun reseptor opioid merupakan molekul protein yang menerima sinyal kimia dari opiod alami yang dihasilkan tubuh maupun luar tubuh. Sementara itu, reseptor cannabinoid membantu mengatur beberapa fungsi dalam tubuh manusia.

“Menurut penelitian, penurunan sensitivitas insulin pada otak dan fungsi neurotransmitter (reseptor opioid dan cannabinoid) berkaitan dengan jaringan saraf otak yang mengendalikan nafsu makan dan rasa kenyang,” papar dr. Arina.

Ia pun menambahkan, jika jaringan tersebut ada gangguan, risiko obesitas akan menjadi lebih besar. Pasalnya, gangguan jaringan saraf otak tersebut memicu peningkatan nafsu makan berlebihan.

Dibutuhkan Penelitian Lanjutan 

Tatu Kantonen, peneliti dari University of Turku mengungkapkan bahwa perubahan fungsi otak pada orang dengan risiko obesitas dapat diketahui sebelum mengidap kondisi berat badan berlebih.

Namun, ia menegaskan bahwa perubahan fungsi otak hanya dialami orang yang punya riwayat keturunan pengidap obesitas.

“Jadi belum diketahui apakah pemeriksaan fungsi otak dapat digunakan sebagai cara mendeteksi risiko obesitas secara umum,” jelas Tatu.

Akan tetapi, pada individu keturunan pengidap obesitas, Tatu menambahkan, pemeriksaan fungsi saraf dan otak diduga berpotensi membantu mencegah obesitas.  

“Selain itu, pengobatan obesitas di masa depan mungkin bisa diarahkan langsung untuk mengatasi jaringan saraf otak pengendali nafsu makan dan rasa kenyang,” kata Tatu.

Itu dia riset seputar perubahan fungsi otak dalam meningkatkan risiko obesitas. Punya kekhawatiran mengidap berat badan berlebih? Periksa indeks massa tubuh Anda lewat aplikasi KlikDokter.

Jika ingin tanya lebih lanjut seputar info kesehatan lain ya, konsultasi ke dokter via LiveChat

(PUT/NM)

Referensi:

  • International Journal of Obesity. Diakses 2022. Brain reveals the risk for developing obesity.
  • Centers for Disease Control and Prevention. Diakses 2022. Genes and obesity.
  • Kemenkes RI. Diakses 2022. Faktor genetik merupakan salah satu penyebab Obesitas.
  • Medical News Today. Diakses 2022. What to know about endocannabinoids and the endocannabinoid system.
  • National Institute on Drug Abuse. Diakses 2022. The Brain's Response to Opioids.

 

Obesitas

Konsultasi Dokter Terkait