Berita Kesehatan

Terapi Stem Cell dan Kontroversi yang Menyelimutinya

dr. Fiona Amelia MPH, 01 Nov 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Meski menjanjikan karena bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, terapi stem cell masih menimbulkan kontroversi.

Terapi Stem Cell dan Kontroversi yang Menyelimutinya

Gagasan tentang obat mujarab bagi segala jenis penyakit atau tubuh yang mampu menyembuhkan diri sendiri tentu menarik. Inilah ide di balik kemunculan terapi stem cell yang disebut-sebut dapat menjadi solusi bagi penyakit-penyakit yang kini masih sulit disembuhkan. Meski demikian, banyak kontroversi yang menyelimutinya.

Stem cell atau sel punca adalah jenis sel yang dapat berkembang menjadi berbagai jenis sel yang berbeda. Sel ini juga kerap disebut sel induk, sebab mampu membelah diri dan berkembang meski sudah tidak aktif dalam waktu lama.

Saat membelah diri, sel-sel yang baru dapat menjadi stem cell kembali atau menjadi sel-sel yang sudah berdiferensiasi menjadi sel -sel yang spesifik dan tidak akan berubah lagi. Contohnya yakni sel darah, sel jantung, sel otak, atau sel otot.

Digunakan sebagai terapi

Di jaringan tertentu, stem cell berperan penting dalam proses regenerasi karena dapat membelah dengan mudah dan dapat menggantikan sel-sel yang mati. Para pakar percaya bahwa proses ini dapat menjadi terapi bagi penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit jantung, atau bahkan kanker.

Sederhananya, bila seseorang memiliki jaringan jantung yang rusak, pertumbuhan jaringan jantung yang sehat dapat dirangsang dengan melakukan transplantasi stem cell yang ditumbuhkan di laboratorium ke dalam jantung pasien.

Sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Cardiovascular Translational Research mencoba cara ini. Dilaporkan bahwa jumlah jaringan jantung yang rusak pada pasien akibat serangan jantung berkurang sebesar 40 persen usai menjalani terapi stem cell. Padahal, sebelumnya jaringan jantung yang rusak bersifat permanen dan tidak dapat disembuhkan.

Semua pasien dalam studi ini telah mengalami gagal jantung lanjut, dan melalui transplantasi stem cell didapatkan perbaikan fungsi jantung rata-rata sebesar 30 persen. Kualitas hidup juga dilaporkan membaik sebesar 70 persen dalam waktu 24 bulan setelah transplantasi dilakukan.

Akan tetapi, studi ini hanya melibatkan 11 subjek, sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah perbaikan fungsi jantung ini benar-benar diperoleh dari transplantasi stem cell. Perlu diketahui juga bahwa transplantasi dilakukan saat pasien menjalani operasi bypass jantung, sehingga mungkin saja perbaikan fungsi jantung didapat dari tindakan bypass dan bukan transplantasi stem cell.

Dalam studi lain yang menggunakan tikus percobaan, para peneliti telah sukses memproduksi sel-sel penghasil insulin dari stem cell yang diambil dari kulit penderita diabetes tipe 1. Secara teori, jika ini berhasil diaplikasikan pada manusia, maka pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 tidak lagi memerlukan suntikan insulin.

Kontroversi terapi stem cell

Terlepas dari potensi manfaatnya, penggunaan stem cell dalam dunia kedokteran masih mengundang kontroversi sejak pertama kali diperkenalkan di pengujung tahun 1990-an.

Alasannya, karena saat itu stem cell hanya mampu diperoleh dari embrio manusia (human embryonic stem cells/hESCs). Penemuan ini memunculkan pertanyaan mendasar, bahwa untuk mendapatkan sebuah terapi baru harus mengorbankan embrio manusia.

Hal inilah yang kemudian menjadi faktor utama penghambat perkembangan dan penelitian stem cell sebagai terapi. Dilema ini juga menggelitik opini individu para pemangku kebijakan yang kemudian membuat terapi stem cell sampai saat ini belum memiliki regulasi yang dapat diterima segala pihak.

Hal ini tampak dalam adanya perbedaan undang-undang di negara-negara yang sudah mengatur penelitian stem cell. Di Inggris, stem cell dianggap ilegal bila ditujukan untuk reproduksi atau terapi. Namun, masih diperbolehkan untuk penelitian.

Sedangkan, Italia memiliki kebijakan yang lebih ekstrem, yakni melarang semua penelitian yang berbasis stem cell.

Di tahun 2001, George W. Bush yang kala itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat menghentikan seluruh pendanaan penelitian stem cell yang melibatkan destruksi embrio. Kebijakan ini utamanya dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya.

Meski demikian, sebagian kebijakan ini diperbolehkan kembali saat Barack Obama menjabat sebagai presiden.

Oleh karena adanya pro dan kontra tersebut, perkembangan terapi stem cell cenderung lambat,dan konsekuensinya, studi-studi besar kebanyakan dilakukan pada hewan percobaan.

Di tahun 2006, muncul sebuah terobosan dimana sel pasien distimulasi untuk berperilaku seperti stem cell yang berasal dari embrio. Sel-sel yang disebut sebagai pluripotent stem-cell (iPS) ini mengurangi kebutuhan embrio manusia dalam penelitian dan membuka kemungkinan baru dalam terapi stem cell.

Penemuan iPS ini diharapkan dapat mengurangi perdebatan seputar terapi stem cell. Tetapi tampaknya, dilema yang ditimbulkannya tidak sepenuhnya hilang.

Pertama, karena sel iPS memiliki potensi untuk berkembang menjadi embrio manusia, sehingga berefek menghasilkan kloning donor. Terkait hal ini, banyak negara yang sudah mulai menyiapkan undang-undang untuk melarang kloning manusia.

Kedua, bagaimanapun iPS tidaklah sama kemampuannya dengan hESCs, sehingga masih diperlukan embrio manusia untuk penelitian stem cell.

Isu keamanan stem cell

Kontroversi stem cell tak hanya berhenti sampai di situ, tapi juga terkait dengan isu keamanan berkenaan dengan penggunaannya sebagai terapi.

Pluripotensi atau kemampuan stem cell berdiferensiasi menjadi semua jenis sel dalam tubuh bagai pedang bermata dua. Kemampuan yang sama juga memungkinkan stem cell menghasilkan ratusan jenis sel yang berbeda, yang juga membuatnya sulit dikendalikan setelah dilakukan transplantasi pada tubuh makhluk hidup (hewan percobaan atau manusia).

Stem cell yang belum berdiferensiasi ditransplantasikan dapat berkembang menjadi teratoma, yakni tumor yang terdiri dari berbagai macam sel di dalamnya. Jika terjadi demikian, maka nyawa pasien justru semakin terancam.

Meski terapi stem cell ini tampak menjanjikan, perjalanannya masih sangat panjang untuk bisa diaplikasikan dan dilegalkan sebagai sebuah metode pengobatan. Di satu sisi, masih diperlukan banyak studi untuk mengonfirmasi efektivitas dan keamanannya. Namun di sisi lain, ada benturan dari segi etika. Semoga ke depannya dapat segera ditemukan alternatif terapi stem cell yang aman dan sesuai dengan etika kedokteran.

[NP/RVS]

Stem Cellsel induktransplantasiJantungSel PuncaDiabetesembrio manusiaGagal Jantung

Konsultasi Dokter Terkait