Kesehatan Mental

Kenali 5 Gangguan Mental yang Berbahaya

Ruri Nurulia, 02 Mei 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Lima gangguan mental ini jika tidak mendapatkan penanganan secara cepat dan tepat, dapat berakhir pada kematian. Ketahui lebih lanjut di sini.

Kenali 5 Gangguan Mental yang Berbahaya

Gangguan mental atau gangguan kejiwaan masih menjadi salah satu permasalahan yang signifikan di dunia, termasuk Indonesia. Menurut data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 35 juta orang mengalami depresi, 60 juta orang menderita bipolar, 21 juta orang berjuang dengan skizofrenia, serta 47,5 juta orang terkena demensia.

Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang. Angka itu setara 6 persen dari total jumlah penduduk.

Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Berdasarkan jumlah tersebut, 14,3 persen di antaranya atau sekitar 57.000 orang pernah dipasung.

Angka pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2 persen, lebih tinggi dibandingkan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7 persen. Pemasungan ini tentu dapat memperburuk gangguan kejiwaan yang dialami penderita.

Berikut ini adalah lima gangguan mental serius yang dapat membahayakan penderitanya:

1.   Bipolar

Gangguan bipolar merupakan salah satu jenis gangguan kejiwaan yang ditandai dengan perubahan atau gangguan suasana hati (mood) yang ekstrem. Perubahan atau gangguan ini bisa berupa depresi (sedih yang berlebihan) dan manik (kegirangan yang berlebihan) yang terjadi secara bergantian.

Gangguan bipolar ini berupa episode-episode yang berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa bulan. Di luar episode gangguan mood, penderitanya dalam keadaan normal.

Dikatakan oleh dr. Anita Amalia Sari dari KlikDokter, gejala gangguan bipolar antara lain:

  • Mengalami depresi, terlihat kehilangan minat, murung, cepat lelah, dan menarik diri dari lingkungan selama beberapa minggu hingga hitungan bulan. Fungsi sosialnya terganggu secara jelas.
  • Mengalami manik, yaitu peningkatan mood, berbicara sangat cepat, dan sering kali loncat dari satu ide ke ide lain dengan cepat, secara sadar senang menghamburkan uang walaupun tidak memiliki banyak uang/ Terlihat perilaku ingin menyenangkan semua orang.
  • Dua hal di atas terjadi secara bergantian, dalam kurun waktu minggu hingga bulan. Kondisi ini mengganggu fungsi sosial penderita dengan jelas, misalnya pekerjaannya terbengkalai.

Penderita gangguan bipolar memiliki risiko tinggi untuk melakukan tindakan bunuh diri bila tidak menerima pengobatan yang tepat. Sebanyak hampir 75 persen pria penderita depresi melakukan tindakan bunuh diri, sedangkan pada wanita risiko bunuh diri jadi 2 kali lebih besar dibandingkan dengan pria.

Menurut penelitian dari Universitas Washington, Amerika Serikat, tahun 2009 yang dipublikasikan di jurnal Psychiatric Services, gangguan bipolar dapat meningkatkan meningkatnya kematian dini akibat penyakit medis. Pada masa lalu, bunuh diri adalah penyebab utama kematian dini pada penderita gangguan bipolar. Namun, penelitian ini menemukan bukti-bukti bahwa penyebab kematian pada penderita bipolar makin didominasi oleh kondisi medis tertentu.

Penelitian ini mencatat beberapa kemungkinan penyebab tingginya risiko kematian dini pada penderita gangguan bipolar. Mulai dari pola makan yang tidak sehat, makan terlalu berlebihan, kurang atau tidak berolahraga, kebiasaan merokok, hingga penyalahgunaan zat. Selain itu, juga akibat kurangnya interaksi sosial, penderitaan sosial (social deprivation), tunawisma, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, hingga kegagalan psikiater dalam menangani kondisi medis pasiennya, atau menunda perawatan medis.

Kondisi biologis yang abnnormal juga dikaitkan dengan gangguan bipolar. Kondisi ini dianggap dapat menurunkan daya tahan tubuh dan aktivitas poros-hipotalamus-hipofisis-gonad, yaitu sebuah sistem yang mengendalikan banyak proses tubuh. Gangguan bipolar juga diketahui dapat meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatetik, yang dapat memicu respons fight-or-flight terhadap stres.

Selanjutnya

2. Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat, dimana penderita menginterpretasi realita secara abnormal. Gangguan kejiwaan ini dapat menyebabkan gejala halusinasi, delusi, serta pola pikir dan perilaku yang dapat mengganggu fungsi sehari-hari. Skizofrenia adalah kondisi jangka panjang yang membutuhkan penanganan seumur hidup.

Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun 2007 di National Library of Medicine National Institute of Health, Amerika Serikat, skizofrenia telah lama dihubungkan dengan peningkatan risiko percobaan bunuh diri.

Bunuh diri bisa dikatakan sebagai penyebab utama kematian utama pada penderita skizofrenia. Beberapa penelitian mengindikasikan kisaran 5-13 persen pasien mati karena bunuh diri, bahkan kemungkinan besar lebih tinggi.

Penderita skizofrenia berisiko lebih tinggi untuk melakukan usaha bunuh diri, hingga 8 kali lipat. Selain itu, para penderita skizofrenia juga diketahui memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kematian akibat penyakit seperti gangguan pernapasan.

Pencegahan usaha bunuh diri pada penderita sering kali sulit dilakukan karena tindakan dan perilaku mereka sangat sulit untuk ditebak dan impulsif. Sangat penting bagi para petugas medis, anggota keluarga, dan teman penderita skizofrenia untuk mengetahui beberapa faktor risiko percobaan bunuh diri. Penting juga untuk mengenali situasi lingkungan seperti apa yang sering ditemui saat usaha bunuh diri dilakukan.

Seorang penderita skizofrenia memiliki risiko bunuh diri yang lebih tinggi bila ia sebelumnya dapat melakukan semuanya dengan baik sebelum didiagnosis menderita skizofrenia. Biasanya depresi muncul setelah  ia didiagnosa menderita skizofrenia. Risiko semakin meningkat jika ia memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol atau penyalahgunaan zat lainnya, serta pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya.

Sebuah studi di Kanada yang dipublikasikan dalam Canadian Medical Association Journal, menyebutkan bahwa penderita skizofrenia berisiko 3 kali lipat mengalami kematian dan cenderung mati muda. Dilansir dari laman Boldsky, studi tersebut melihat pada jumlah kematian di Ontario, Kanada, selama tahun 1993-2012, dengan jumlah kematian lebih dari 1,6 juta.

Berdasarkan data tersebut, sebanyak 31.349 kematian akibat skizofrenia adalah wanita, berusia lebih muda, dan tinggal dalam lingkungan berpendapatan rendah. Selain itu, penderita gangguan mental ini meninggal delapan tahun lebih cepat dibandingkan dengan populasi umum. Usia kematian juga meningkat dari rata-rata 64,7 tahun menjadi 67,4 tahun dari 1993 ke 2012.

Selanjutnya

3. Anoreksia

Menurut dr. Melyarna Putri dari KlikDokter, anoreksia adalah sebuah gangguan makan yang ditandai dengan penolakan untuk mempertahankan berat badan yang dianggapnya sehat. Penderita juga mengalami rasa takut yang berlebihan terhadap peningkatan berat badan akibat pencitraan diri yang menyimpang.

Pencitraan diri pada penderita anorexia nervosa dipengaruhi oleh pola penyimpangan dalam menilai suatu situasi. Kondisi ini memengaruhi cara seseorang dalam berpikir serta mengevaluasi tubuh dan makanannya.

Perlu diketahui bahwa gangguan makan termasuk salah satu gangguan mental. Di dalam kelompok gangguan makan, terdapat sejumlah kondisi berikut ini:

  • Anorexia nervosa (anoreksia atau menjauhi makanan)
  • Bulimia nervosa (memuntahkan makanan)
  • Binge-eating disorder (kalap makan)
  • Compulsive overeating (lapar mata)
  • Emotional eating (lapar hati)
  • Yoyo syndrome (berat badan turun-naik)
  • Social eater (dorongan makan muncul saat bersama dengan orang lain)

Penyebab gangguan ini belum diketahui secara pasti, tapi menurut laporan NHS ada beberapa indikator yang menjadi pemicu, antara lain:

● Faktor psikologis: kecenderungan mengalami depresi, cemas, sulit menangani stres, khawatir yang berlebihan, program diet yang terlalu ketat, sulit mengendalikan emosi, atau terobsesi memiliki tubuh kurus.

● Faktor lingkungan: masyarakat dan media cenderung menilai wanita yang ideal dan cantik adalah yang bertubuh kurus. Sedangkan ketidaksempurnaan fisik ringan seperti pipi chubby atau selulit adalah sesuatu yang buruk. Faktor lingkungan lain yang berkontribusi terhadap anoreksia meliputi tekanan, stres dan intimidasi di sekolah atau tempat kerja (khususnya tentang berat badan dan bentuk tubuh ideal).

● Faktor biologis dan genetik: perubahan fungsi otak atau kadar hormon juga dapat memicu anoreksia. Misalnya pengaruh terhadap bagian otak yang mengontrol nafsu makan yang dapat menyebabkan perasaan cemas dan rasa bersalah setelah makan.

Anoreksia juga diketahui memiliki angka kematian tertinggi dari penyakit kejiwaan lainnya. Sebuah studi pada tahun 2003 menemukan bahwa seseorang dengan anoreksia memiliki 56 kali lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki anoreksia.

Studi lain yang dilaporkan di Archives of General Psychiatry tahun 2011, menyebutkan bahwa orang yang memiliki gangguan makan akan berakibat pada tingkat kematian yang tinggi, terutama mereka yang memiliki anorexia nervosa atau anoreksik. Tingkat gangguan yang berhubungan dengan makan akan terfokus kematian pada penderita anoreksik.

Jon Arcelus, LMS, M.Sc., MRCPsych., Ph.D., dari Rumah Sakit Umum Pusat Leicester, Inggris, menganalisis terkait dengan tingkat gangguan makan yang mengakibatkan kematian. Para peneliti memeriksa 36 studi tentang gangguan makanan yang mengakibatkan kematian. Hasilnya, hampir semua penyebabnya adalah anorexia nervosa. Studi melibatkan 17.272 pasien yang mengalami gangguan makanan, dan total 755 pasien mengalami kematian cepat dan tinggi.

Peneliti mengakui bahwa beberapa kematian dalam studinya dikarenakan faktor dari gangguan makan. Mereka menemukan bahwa angka kematian pada gangguan makan, terutama anorexia nervosa, lebih tinggi daripada beberapa gangguan jiwa lainnya, seperti skizofrenia dan depresi. Selain itu, faktor dari timbulnya gangguan makan bisa merupakan faktor gabungan yang pada akhirnya mengakibatkan anorexia nervosa berakhir pada kematian.

Selanjutnya

4. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

PTSD adalah gangguan mental yang dapat terjadi setelah seseorang mengalami kejadian yang traumatis seperti pelecehan seksual, perang, bencana alam, serangan teroris, kecelakaan berat, dan lain-lain. Tak semua orang yang mengalami kejadian traumatis akan mengalami PTSD. Tapi ada beberapa kejadian yang memberikan kecenderungan PTSD, seperti pelecehan seksual dan kekerasan pada masa kanak-kanak.

PTSD memiliki prevalensi seumur hidup, antara 8-10 persen, dan diikuti dengan ketidakmampuan berfungsi dalam sosial. Dalam situasi perang, prevalensi individu yang mengalami PTSD meningkat hingga 30 persen. Selain itu, wanita berisiko lebih tinggi mengalami PTSD dibandingkan pria. Hal ini karena pelecehan seksual lebih banyak dialami wanita.

Biasanya penderita pernah mengalami atau menyaksikan kejadian traumatis, bahkan yang mengancam nyawa. Selain itu juga mengalami kejadian-kejadian yang sama terus-menerus dengan berbagai persepsi, bisa berupa penglihatan, mimpi, ilusi, halusinasi, atau kilas balik.

Jika tidak ditangani dengan tepat, PTSD dapat menimbulkan komplikasi berupa gangguan jiwa berat seperti skizofrenia ataupun percobaan bunuh diri. Hal lain yang bisa ditimbulkan ialah gangguan tidur menetap ataupun penghargaan diri yang rendah. Pada akhirnya hal ini dapat memicu berbagai gejala psikosis atau gangguan kejiwaan lainnya yang dapat berakhir pada kematian.

Selanjutnya

5. Obsessive Compulsive Disorder (OCD)

OCD adalah gangguan perilaku kronis yang menyebabkan penderita tidak punya kontrol atas pikiran-pikiran obsesif dan perilaku kompulsif atau berulang-ulang. Gangguan ini pernah dikategorikan dalam gangguan kecemasan, tapi sekarang telah menjadi kategori sendiri.

Tak semua paham benar apa itu OCD. Kebanyakan beranggapan bahwa penderita adalah mereka yang gila kebersihan dan keteraturan, sering kali mengulang-ulang kegiatan tertentu untuk memastikan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Sebetulnya anggapan ini tidak salah, tapi cakupan OCD lebih luas dari itu.

Tak hanya kontaminasi bakteri atau kuman yang menjadi obsesi penderita OCD, situs web Medscape menyebutkan bentuk-bentuk obsesi lainnya. Menurut situs tersebut, hal-hal yang menjadi obsesi seperti keselamatan, keraguan terhadap memori atau persepsi seseorang, ketakutan akan melanggar aturan, kebutuhan mengatur sesuatu secara simetris, serta pikiran seksual yang mengganggu dan tak diharapkan.

Bentuk kompulsif yang sering ditemukan adalah membersihkan diri, mengecek, menghitung, mengatur objek, menyentuh sesuatu, mengumpulkan benda tertentu, serta membuat daftar. Semua ini biasanya dilakukan secara berulang-ulang untuk meredakan kecemasan atau obsesi yang muncul.

Jika tidak ditangani, perasaan tertekan dapat bertambah parah dan membuat penderita makin sulit untuk mengendalikan OCD, sehingga dapat berujung pada depresi. Tingkat depresi yang parah dapat memicu timbulnya dorongan untuk bunuh diri.

Gangguan mental adalah masalah serius

Berdasarkan data dari World Federation of Mental Health, setiap 40 detik seseorang di suatu tempat di dunia meninggal dunia akibat bunuh diri. Bahkan, 1 dari setiap 4 orang dewasa akan mengalami masalah kesehatan jiwa pada suatu saat dalam hidupnya. Sayangnya, mereka ini hanya menerima sedikit perhatian. Bahkan sering pula tidak mendapatkan dukungan psikologis jika gangguan tersebut terjadi dalam keadaan darurat.

Menurut sebuah pernyataan dari Kementerian Kesehatan RI, hingga kini kesehatan jiwa sering kali kurang mendapat perhatian karena beberapa hal ini:

  • Ketidaktahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan jiwa
  • Kurangnya kepedulian masyarakat
  • Masih adanya stigma dan diskriminasi pada orang dengan masalah kejiwaan (ODMK)

Tiga kondisi di atas berakibat mereka sering tidak menerima pelayanan kesehatan jiwa sesuai kebutuhan. Tentu saja situasi ini tidak dapat dibiarkan sebab Indonesia berkeyakinan bahwa “tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa” atau “no health without mental health”.

Menurut pernyataan Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ, MPH, dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, layanan kesehatan jiwa di Indonesia terus ditingkatkan pengembangannya secara bertahap.

Banyak sekali penderita gangguan mental yang ingin mengakhiri hidupnya. Untuk mencegah hal ini diperlukan kerja sama erat antara individu, keluarga, masyarakat, profesional, dan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal menderita gangguan mental, mintalah bantuan tenaga kesehatan jiwa profesional seperti psikolog atau psikiater atau pergi ke klinik kesehatan jiwa. Jika ini dirasa berat, Direktoran Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kemenkes RI telah membina telepon pelayanan konseling khusus, di nomor 021-500454 terkait berbagai masalah kejiwaan selama 24 jam sebagai langkah awal untuk berkonsultasi.

[RVS]

Gangguan MentalBipolarDepresipenyakit kejiwaanAnoreksia

Konsultasi Dokter Terkait