Tips Parenting

Rebutan Hak Asuh Anak, “Tren” yang Tak Perlu Ditiru

Novita Permatasari, 26 Mar 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Pernikahan beberapa pasangan selebriti yang kandas pada perceraian, sering berbuntut kasus memperebutkan hak asuh anak.

Rebutan Hak Asuh Anak, “Tren” yang Tak Perlu Ditiru

Akhir-akhir ini berita yang menyebutkan pasangan selebriti yang bercerai tengah memperebutkan hak asuh anak, kian marak. Fenomena ini bahkan seakan menjadi “tren”. Beberapa kasus, akhirnya membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) harus turun tangan untuk menengahi.

Perceraian memang pada umumnya menjadi penyebab utama dalam sengketa hak asuh anak. Sudah banyak kasus perceraian yang berujung pada perseteruan antara suami dan istri pasca perceraian ingin memenangkan hak asuh anak tersebut. Pada akhirnya, tak sedikit pula kepentingan anak menjadi terabaikan.

Membesarkan anak dalam kondisi rumah tangga yang normal saja sulit, apalagi ditambah dengan pertengkaran soal perebutan hak asuh anak. Kondisi seperti ini dapat mengguncang mental anak. Apapun yang dirasakan oleh anak tersebut akan terbawa hingga besar.

Perceraian bisa menjadi “pertempuran”

Dilansir dari Huffington Post, menurut Frank P. Cervone, Esq, seorang ahli hukum keluarga, kasus yang sering terjadi pada perebutan hak asuh anak adalah kedua orang tua yang saling bertempur untuk kepentingan anak.

Baik ayah maupun ibu yang tengah berseteru akan berlomba-lomba dalam “memanjakan” anak mereka, misalnya dengan membelikan anak barang-barang yang bagus, membiayai uang sekolah. Sayangnya usaha tersebut juga diikuti dengan usaha untuk memengaruhi anak agar tidak memercayai salah satu pihak. Hal ini tentu akan memperburuk konflik dan menghancurkan karakter anak.

Proses perseteruan tersebut terkadang dapat memengaruhi hasil persidangan saat momen diputuskannya hak asuh anak akan jatuh ke tangan siapa.

“Di persidangan, hakim dan juri adalah triers of fact. Tugas mereka adalah memberikan keputusan yang berdasar pada bukti yang ada. Padahal, bukti tersebut belum mencakup semua fakta yang ada, namun sebatas bukti yang relevan dan diterima secara hukum. Terkadang putusan hakim juga belum sesuai dengan kondisi yang ada,” jelas Cervone.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat mengambil sampel terhadap 100 orang yang bercerai dan melakukan perebutan hak asuh anak. Hasilnya, ternyata 65% dari mereka mengakui bahwa anak menerima efek negatif karena ternyata hasil evaluasi hak asuh anak tidak dalam kepentingan terbaik anak. Selain itu, anak-anak mereka juga menyatakan bahwa proses evaluasi hak asuh membuat mereka tertekan.

Perceraian orang tua memengaruhi emosi dan karakter anak

Hal ini diamini oleh Dr. Ira Daniel Turkat, seorang psikolog keluarga asal Amerika. Menurutnya, anak-anak korban perceraian dan perebutan hak asuh anak terancam menderita depresi, gagal mendapatkan prestasi di sekolah, dan bisa mendapatkan masalah hukum karena perilaku yang tidak baik.

Dampak tersebut merupakan akibat dari konflik kedua orang tua yang terjadi selama proses perebutan hak asuh berlangsung.

Meski demikian, Turkat juga menjelaskan bahwa reaksi psikologis anak bisa bervariasi tergantung pada tiga faktor, yaitu kualitas hubungan orang tua dengan anak, intensitas dan durasi konflik orang tua, serta kemampuan orang tua untuk fokus pada pemenuhan kebutuhan anak.

Penelitian lain yang ditemukan Turkat menyatakan ketika anak-anak tersebut mengalami kesulitan, ada perbedaan reaksi berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan dan laki-laki memang sama-sama menderita, namun anak laki-laki lebih menunjukkan gejala yang signifikan.

Anak laki-laki menunjukkan kemarahan, frustrasi, dan rasa sakit yang tinggi, sehingga kerap bertengkar dan mendapatkan masalah di sekolah. Sementara itu, anak perempuan cenderung memendam kesusahan mereka, sehingga menjadi depresi dan mengalami perubahan pola makan serta pola tidur. Hal ini menyebabkan anak perempuan korban perceraian dan perebutan hak asuh dapat memiliki masalah kesehatan tertentu.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Di Indonesia sendiri, kasus perebutan hak asuh anak hingga kini masih tetap tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada 2014 terdapat 192 kasus pengaduan, dan 54 kasus terjadi karena orang tua masih dalam proses pasca perceraian.

Mengenai peran KPAI sebagai lembaga perlindungan anak, KPAI ada sebagai mediator ketika kedua orang tua masih berselisih meski telah menempur jalur hukum. Hal ini dilakukan oleh Stuart Collin pada 2016 lalu yang meminta bantuan kepada KPAI untuk menengahi perseteruannya dengan Risty Tagor.

Stuart mendatangi kantor KPAI ditemani kuasa hukumnya dan meminta KPAI bertindak sebagai penengah atas hak asuh anak. Sebab, setelah bercerai dari mantan istrinya tersebut, Stuart mengaku mengalami kesulitan bertemu anaknya.

Salah satu kasus lain perebutan hak asuh anak yang bisa Anda lihat adalah apa yang terjadi pada Tsania Marwa dan Atalarik Syah. Dalam sebuah unggahan akun instagramnya, Tsania mengabarkan bahwa anak sulungnya Syarif yang pada waktu itu baru berusia 4 tahun sampai membutuhkan penanganan psikolog anak.

Pada kenyataannya, perebutan hak asuh anak dapat menyebabkan masalah baru pada perkembangan anak, terutama dari sisi kesehatan mental. Jadi, jika sebuah pernikahan akhirnya berakhir dengan peceraian, hendaknya segala kemungkinan sudah harus dipikirkan oleh pasangan suami dan istri. Sebagai orang tua, mereka wajib memikirkan kondisi anak mereka di kemudian hari, tidak hanya mementingkan ego mereka sendiri. Jadi, sebelum bercerai, pikir dulu baik-baik.

[RVS]

PerceraianAnakHak Asuh Anakkesehatan mental

Konsultasi Dokter Terkait