Covid-19

Pengalaman Mencekam dr. Fajar Didiagnosis Terinfeksi COVID-19

Ayu Maharani, 09 Sep 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Terinfeksi virus corona berminggu-minggu dan melihat rekan sejawat terbaring kritis, simak kisah dr. Fajar Subroto, Sp.A(K) untuk sembuh dari COVID-19.

Pengalaman Mencekam dr. Fajar Didiagnosis Terinfeksi COVID-19

Tak ada yang pernah menyangka, pada 2020 Indonesia kehilangan lebih dari 100 tenaga medisnya. Meski tanpa senjata api dan bom, mereka wafat di “medan perang” melawan sesuatu yang tidak bisa dilihat kasat mata, yaitu virus SARS-CoV-2 alias virus corona.

Wafatnya ratusan dokter tentu menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Pasalnya, tanpa tenaga medis, kita sebagai orang awam tak akan mampu mengatasi wabah yang kerap datang tiba-tiba tanpa permisi dan membunuh banyak orang.

Meski tak sedikit dokter yang meninggal dunia akibat COVID-19, nasib baik masih berpihak pada Fajar Subroto. Dokter anak berusia 57 tahun ini sempat terinfeksi virus corona pada Maret silam, bulan ketika kasus COVID-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia.

Bersama Rekan Sejawat, Dokter Fajar Terinfeksi dan Dilanda Stres

Flu, nyeri, demam, pilek, dan batuk-batuk menjadi gejala yang dirasakan Fajar sebelum didiagnosis positif COVID-19 pada 26 Maret lalu. Tak sendirian, rekan sejawatnya yang memiliki gejala serupa mengajaknya untuk melakukan pemeriksaan CT scan.

“Dari hasil CT scan, terlihat ada ground glass opacity. Itu gambaran kalau ada infeksi virus. Infeksi virus saat itu yang diduga kuat adalah COVID-19. Pas saya masuk ruang CT scan, nggak ada persiapan apa-apa. Orang juga nggak tahu, jadi semuanya belum pakai APD lengkap,” terangnya kepada Klikdokter beberapa waktu lalu.

“Saya diperiksa CT scan lama sekali, belum boleh turun. Saya bingung, kenapa ini? Biasanya tidak sampai satu jam boleh turun. Saat dibolehkan turun, semuanya sudah pakai APD lengkap! Waduh, streslah saya di situ! Saya benar-benar kaget. Apalagi baca kasus di luar negeri kematiannya sangat banyak dan tenaga medis banyak yang terkena,” tambahnya.

Tak cuma memikirkan bagaimana kondisi diri yang harus segera dibawa ke UGD lalu ruang isolasi, ia pun mengkhawatirkan bagaimana keadaan keluarganya.

Ia sangat cemas, apa mereka juga terinfeksi dari dirinya? Apakah kondisi mereka baik-baik saja? Semua kecemasan tersebut terus bergejolak dalam batinnya.

Bersama dengan dokter anak lain, Fajar termenung seperti patah arang di ruang UGD. “Kita di ruang UGD bareng-bareng. Tapi mungkin saking stresnya, malah tidak saling sapa. Benar-benar diam dan kita berpikir sendiri masing-masing,” katanya.

Ya, walau keheningan menyelimuti UGD, tetapi pikiran dan batin para dokter yang terinfeksi sangat gaduh. Ironis. 

Pindah Rumah Sakit Sampai 3 Kali!

Wisma Atlet menjadi tempat persinggahan pertama bagi Fajar dan rekan-rekan sejawat. Kala itu, untuk mendapatkan ruangan, pasien butuh waktu sangat lama.

Bahkan, ketiga dokter anak yang berpraktik di RS Harapan Kita, Jakarta, tersebut baru bisa masuk kamar tengah malam!

Stres dan keheningan di antara ketiganya lantas membuat mereka berpikir. Kalau menurut hasil pemeriksaan paru-paru mereka bermasalah, dalam hal ini terlihat jelas gambaran infeksinya, kenapa mereka harus dikirim ke Wisma Atlet?

Bukankah seharusnya mereka langsung dirawat di rumah sakit rujukan COVID-19 agar benar-benar sembuh?

Untungnya, ketiga dokter anak ini bisa dipindahkan untuk mendapat perawatan yang lebih baik. Rumah sakit selanjutnya yang menjadi tempat tinggal sementara mereka adalah RSUD Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Benar saja, di sana ia dan dokter lainnya langsung diberikan pengobatan. Sayang, gejala COVID-19 justru datang lagi semasa di sana.

“Saya rasanya mual sekali, tidak mau makan. Justru pas di Pasar Minggu itu muncul demam lagi, diare, pokoknya semua gejala-gejala khas COVID-19,” terangnya.

Semasa sakit, sepertinya rasa stres dan tekanan seakan terus mengejar Fajar. Bagaimana tidak? Di sana, kondisi tubuh dokter berkacamata ini makin drop. Rekannya yang sesama dokter pun mulai timbul sesak napas dan kesadarannya berkurang.

Karena kondisi yang kian menurun, rekannya mesti dipindahkan ke RS Fatmawati dan langsung masuk ruang ICU. Bohong rasanya bila ada orang yang tetap tenang saat menerima kondisi seperti ini.

Tak perlu waktu lama bagi Fajar untuk menyusul rekannya ke RS Fatmawati. Setelah enam hari di RSUD Pasar Minggu, hasil rontgennya memburuk dan harus dipindahkan juga ke sana.

Kepada KlikDokter, Fajar bercerita, “Itu benar-benar makin bikin saya stres. Sudah teman saya di ICU, pakai ventilator, berita tenaga medis tumbang juga makin banyak. Yang sakit dan meninggal ditolak di mana-mana, belum sempat bertemu keluarga. Waduh, nggak bisa tidur saya, pusing mikirnya.”

Pikiran negatif berlipat ganda ketika di RS Fatmawati, Fajar harus dirawat bersama pasien lainnya yang bergejala berat di ruang bangsal.

Ingin pindah ke ruangan lain supaya bisa lebih tenang beristirahat, pada kenyataannya juga tak mudah. Yang tersisa hanya ruang HCU. “Ya, makin mencekam kalau begitu, hahaha,” ujarnya.

Artikel Lainnya: Petugas Medis Rentan Trauma Psikologis Pasca Penanganan Virus Corona!

20 Hari Berlalu, Mulai Hidup Baru

Maret dan April 2020 menjadi bulan yang tak terlupakan buat Fajar. Dua puluh hari menjadi pasien COVID-19 tentu bukan waktu yang pendek dan menyenangkan.

Untung saja tes terakhir menunjukkan hasil negatif sehingga ia bisa segera kembali ke rumah. Kabar bahwa semua anggota keluarganya bebas dari virus corona pun turut melegakan dirinya.

Momen 20 hari tersebut membuatnya lebih menjaga diri agar tak jatuh sakit lagi. Sayang, banyak orang yang sudah mulai lupa bahwa pandemi belum berakhir. Sebagian orang seperti lupa, penularan virus corona masih terus terjadi dan merasa kebal.

“Kita tidak pernah tahu nantinya kita bakal masuk ke yang mana. Kalau hanya yang masuk ke OTG, okelah, ya,” kata Fajar.

“Tapi, kita nggak akan pernah tahu apakah kita masuk yang tanpa gejala, sedang, atau yang berat? Yang punya gejala berat memang paling banyak yang tua dan ada penyakit komorbidnya. Tapi, toh, ada juga yang muda, olahragawan, mereka juga kena dan sampai dirawat di rumah sakit lalu meninggal.”

“Teman saya yang pakai ventilator itu olahraganya rutin, lho! Orangnya juga bugar, tidak punya penyakit berat, tapi dia sampai mesti pakai ventilator. Percayalah, kita tidak pernah tahu akan masuk yang mana.”

Sebagai orang yang sudah pernah merasakan sendiri betapa tak enaknya jadi pasien COVID-19, tentu Fajar prihatin bila ada orang yang meremehkan virus corona. Sebab, ini semua memang belum berakhir.

“Ini berkaitan dengan pola pikir. Jangan merasa bahwa sudah normal. Ini belum normal,” pungkasnya.

(FR/AYU)

Featurevirus corona

Konsultasi Dokter Terkait