HomeInfo SehatBerita KesehatanGempuran Obat Bermasalah di Dunia Maya
Berita Kesehatan

Gempuran Obat Bermasalah di Dunia Maya

Tim Redaksi KlikDokter, 31 Agu 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Dunia maya di diserbu penjualan obat bermasalah, baik obat keras maupun yang ilegal. Apa yang menjadi akar masalahnya?

Gempuran Obat Bermasalah di Dunia Maya

Sebuah lapak di salah satu lokapasar (marketplace) membuat Dokter Spesialis Anak, Kurniawan Satria Denta, terhenyak. Iklan itu menjajakan puyer racikan untuk anak.

Pengunggah mengklaim dagangannya berkhasiat untuk mengatasi demam, batuk, dan pilek. Tidak ada informasi kandungan racikan dalam deskripsi produk.

Yang bikin Denta makin mengernyitkan dahi, penjual hanya meminta informasi berat badan, umur dan gejala yang dialami anak calon pembeli. 

"Tidak bisa mendiagnosis penyakit hanya dari informasi itu," kata Denta kepada Klikdokter melalui sambungan telepon. 

Menurutnya, setiap penyakit punya penyebab dan pendekatan terapi yang berbeda-beda. Kompetensi dokterlah untuk mengidentifikasi penyebab utama dari gejala yang timbul.

Penemuan iklan obat bermasalah itu bermula dari pertanyaan seorang ibu kepada Denta melalui surat elektronik. Ibu itu menanyakan keamanan membeli obat puyer di lokapasar.

Hal itu memantik rasa penasaran Denta. Ia pun mencari obat-obatan untuk anak secara daring di lokapasar dengan kata kunci tertentu. Hasilnya temuannya membuat Denta tak berhenti mengelus dada. 

"Ada toko yang jual obat nafsu makan, seller-nya lain lagi. Tapi, banyak juga obat yang lainnya," ungkapnya.

Peredaran obat semacam itu membuat Denta waswas. Ia khawatir bila obat tanpa kandungan jelas dikonsumsi anak-anak.

Sebagai dokter ia paham betul pemberian obat harus rasional. Ketika memberikan resep obat tertentu, dokter tahu pasti kandungan, mekanisme kerja, merk, jenis hingga efek sampingnya.

Bahkan, lanjut dia, dokter pun berhati-hati ketika merekomendasikan obat yang jelas asal-usulnya. Ia punya banyak cerita pasien anak-anak yang mengalami komplikasi obat hingga merusak ginjal dan hati.

"Obat-obatan yang sudah jelas saja dapat menimbulkan komplikasi yang tidak kita inginkan. Sekarang kita bayangkan jika mereka minum obat yang tidak jelas," Denta berujar.

Kasus yang ditemukan Denta hanya sekelumit masalah peredaran obat di belantara dunia maya. Beberapa waktu lalu sempat pula heboh peredaran obat keras di lokapasar.

Yang paling menjadi perhatian adalah peredaran ivermectin, obat keras yang sempat dikaitkan dengan khasiat terapi bagi pasien COVID-19.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sampai harus membuat seruan tegas seputar peredaran obat tersebut. Peredaran obat bermasalah memang sudah lama menjadi ancaman.

Pada 2013, misalnya, BPOM menemukan 129 situs yang memasarkan obat ilegal dan palsu. Jumlahnya terus meningkat.

Pandemi mendorong pergeseran pola transaksi obat-obatan secara ke arah digital. Di sisi lain, situasi tersebut memicu peningkatan penyimpangan peredaran obat di dunia maya.

Artikel Lainnya: Hindari Minum Obat dengan Pisang, Ini Bahayanya

Indikatornya bisa dilihat dengan mudah. Pada semester pertama 2020, BPOM telah mengajukan penghapusan 48.058 tautan situs yang terindikasi mengedarkan obat dan makanan secara ilegal.

Angka tersebut melonjak 100 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Di Januari-Juni 2019, dalam catatan BPOM, terdapat 24.573 pranala penjualan obat dan makanan ilegal.

Dalam keterangan pers pertengahan tahun lalu, Ketua BPOM, Penny K Lukito, menyampaikan penjualan obat ilegal sebagian besar terkait dengan obat yang diyakini bisa menjadi terapi COVID-19.

BPOM sebenarnya telah mengeluarkan regulasi penjualan obat secara online. Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan BPOM nomor 8 tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring yang ditandatangani pada 7 April 2020.

Aturan tersebut dikeluarkan di tengah fenomena maraknya penjualan obat di dunia maya. Dalam aturan BPOM, obat yang diedarkan secara online hanya dapat meliputi obat bebas, obat bebas terbatas dan Obat keras.

Selain harus mempunyai izin edar, obat yang diperjual-belikan secara online harus memenuhi ketentuan tertentu.

Dalam transaksi obat keras, misalnya, terdapat kewajiban konsumen untuk menunjukkan resep dari dokter.

Artikel Lainnya: Apa Bahaya Konsumsi Obat Hipertensi Tanpa Resep Dokter?

Sementara itu, ada pula kriteria  obat yang dilarang diedarkan secara daring, seperti obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu, obat dengan kandungan prekursor farmasi, obat disfungsi ereksi, dll.

Yang tak kalah penting, aturan BPOM menempatkan peran sentral apoteker dalam peredaran obat daring. Pre Agusta Siswantoro, Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia, punya perkiraan yang mengejutkan.

"Sekarang banyak sekali orang yang menjual di online itu hampir rata-rata 90 persen itu ilegal," ungkapnya.

Ia menjelaskan, salah satu syarat penjualan obat secara daring adalah izin dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Informasi dan Komunikasi. Apotek online juga harus punya apotek penanggung jawab.

"Tidak boleh perorangan seperti menjual di marketplace. Jadi yang boleh menjual obat secara online itu, yang sudah ada izin dari Kemenkes dan juga Kominfo," ia menegaskan.

Maraknya peredaran obat bermasalah secara daring, baik obat keras maupun ilegal, ditengarai berpangkal pada lemahnya penegakkan hukum.

Hal itu diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi. Ia menilai lima tahun belakangan gempuran platform digital semakin keras.

Situasi tersebut merupakan konsekuensi kebijakan ekonomi digital. Masalahnya, peredaran komoditi dengan regulasi ketat seperti produk farmasi kurang diantisipasi.

Ia berharap penegakkan hukum bagi pelanggaran peredaran obat di dunia maya diperketat. "Bahkan harus lebih kuat dibandingkan market konvensional," imbuhnya. "Sebab itu sangat berbahaya jika disalahgunakan."

Artikel Lainnya: Hati-hati! Ini Bahayanya Jika Anda Konsumsi Obat Palsu

Literasi masyarakat juga perlu mendapat perhatian. Tulus menilai kesadaran ini masih sangat rendah.

Banyak orang yang belum paham bahwa obat tidak bisa diperjual-belikan sembarangan. Hal itu, menurutnya, bahkan masih menjadi problem di pasar konvensional.

Ketika pola konsumsi bergeser ke arah digital, pandangan yang keliru semacam itu masih menjadi dasar tindakan konsumsi produk farmasi. Kondisi tersebut akhirnya dimanfaatkan penjual obat daring yang nakal.

Tantangannya semakin besar. Sebab, menurut Tulus otoritas tidak hanya harus memantau peredaran obat di lokapasar, transaksi farmasi di media sosial juga tidak kalah banyak.

"Kami selalu wanti-wanti kepada masyarakat untuk tidak membeli obat di toko online kecuali di toko online yang memang resmi atau kredibel," ujar Tulus.

Dokter Spesialis Anak Kurniawan Satria Denta juga setuju edukasi perlu digencarkan. Tenaga kesehatan punya tanggung jawab dalam hal ini.

Artikel Lainnya: Amankah Dexamethasone Dibeli Tanpa Resep Dokter?

Faktanya, kata dia, banyak kelompok masyarakat yang masih mengonsumsi obat secara emosional. Hal itu membuat mereka dengan gampangnya membeli obat yang belum teruji di pasar online.

"Saran untuk dokter-dokter rekan sejawat sih, kira harus lebih rajin-rajin edukasi untuk masyarakat," kata Denta.

Pre Agusta Siswantoro juga punya pandangan serupa. Menurutnya, edukasi kepada masyarakat penting untuk memutus rantai peredaran obat keras dan ilegal secara daring.

Ia berpendapat, peredaran obat bermasalah di dunia maya tidak lepas dari adanya permintaan dari masyarakat.

Cara memutusnya tak lain dengan menghentikan permintaan terhadap obat-obat yang tidak jelas asal-usulnya. Ia menyarankan masyarakat bertransaksi obat melalui jalur resmi.

"Kalau tidak ada kemungkinan bisa dapat obat yang kualitasnya tidak terjamin, karena kita tidak tahu obatnya dapat dari mana," ia mengingatkan.

Pastikan Anda membeli produk obat-obatan dan farmasi di tempat terpercaya.

(JKT/AYU)

Liputan KhususobatKesehatan Tubuh

Konsultasi Dokter Terkait