HomeInfo SehatCovid-19Petaka Faskes Dihantam Gelombang Kedua
Covid-19

Petaka Faskes Dihantam Gelombang Kedua

Tim Redaksi KlikDokter, 30 Jul 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Gelombang kedua COVID menjadi petaka. Fasilitas kesehatan kolaps dan korban pun berjatuhan. Pemerintah terlambat mengantisipasi.

Petaka Faskes Dihantam Gelombang Kedua

Marina, bukan nama sebenarnya, mendadak panik pada suatu hari di awal Juli lalu. Hari itu adalah hari ke enam suaminya menjalani isolasi mandiri di rumah karena terinfeksi COVID-19.

Kondisi sang suami sudah memburuk. Napasnya sesak dengan saturasi oksigen rendah. Kesadarannya pun mulai berkurang.

"Sudah mulai agak-agak blank. Jadi, kalau dia sekarang ditanyain kejadian waktu itu itu sudah tidak ingat," kata Marina kepada Klikdokter.

Perburukannya berlangsung cepat. Padahal, pasien hanya mengalami gejala ringan hingga hari kedua.

Marina ingat betul, suaminya mulai sesak napas di hari ke lima. Keesokan harinya, Warga Cirendeu, Tangerang Selatan, Banten, itu pontang-panting mencari ruang perawatan di rumah sakit.

Tapi hasilnya nihil. Rumah sakit di tangerang dan Jakarta yang dihubungi tidak bisa menerima karena membeludaknya pasien virus corona.

Kalau pun ada rumah sakit yang menerima, kata Marina, pasien terpaksa dirawat di luar. Ia khawatir suaminya tak dapat perawatan memadai. 

"Karena pasiennya sudah benar-benar membutuhkan infus dan oksigen. Kalau di luar (IGD) tidak dapat apa-apa kan sama saja," kenang Marina.

Ia memutuskan merawat suami di rumah. Sembari mencari ruangan di rumah sakit, Marina jumpalitan mencari oksigen isi ulang.

Sebab, semua tempat pengisian oksigen kehabisan pasokan. Marina baru berhasil mendapat oksigen dua hari kemudian.

Kesulitan Mencari RS

Sementara itu, kondisi suami Marina semakin memburuk. Selepas hari kedelapan isolasi mandiri, saturasi oksigennya anjlok.

"Pakai tabung oksigen pun sudah tidak berpengaruh," ujar Marina.

Di tengah keputusasaan itu, kabar baik datang. Marina mendapat informasi ada ruang kosong di IGD sebuah rumah sakit di Ciawi, Jawa Barat.

Sejak pagi ia segera memboyong suaminya yang sudah kepayahan. Butuh dua jam perjalanan untuk mencapai rumah sakit tersebut.

Marina dan suaminya tiba tepat tengah hari. Tenaga kesehatan rumah sakit langsung membawa pasien ke IGD.

Tapi Marina belum bisa bernapas lega. Berjam-jam suaminya hanya mendapat infus. Jam 7 malam, barulah suaminya mendapat tindakan yang lebih memadai.

Tenaga kesehatan di rumah sakit, berdasarkan informasi yang didapat Marina, jumlahnya tidak sebanding dengan pasien coronavirus. Terlebih, puluhan tenaga kesehatan di sana juga terinfeksi virus corona.

Tenaga medis yang tersisa pontang-panting merawat pasien. "Makanya kurang banget tenaga medisnya pada saat itu. Jadi harus menunggu giliran," katanya.

Hal itu juga berlaku bagi pasien non-coronavirus. Marina menyaksikan sendiri bagaimana padatnya IGD bagi pasien bukan virus corona di rumah sakit tempat suaminya dirawat.

Ketersediaan ruang rumah sakit bagi pasien virus corona menjadi masalah sejak akhir bulan Juni lalu. Tingginya tingkat keterisian mulai tampak beberapa pekan setelah libur lebaran.

Artikel Lainnya: Kekurangan Vitamin D, Benarkah Lebih Rentan Kena COVID-19?

Rekor Kematian

Pemicunya adalah peningkatan angka kasus COVID-19. Tak cuma angka kasus positif harian, jumlah kematian pun terus menanjak. Puncaknya pada Selasa (27/7) di mana tercatat 2.069 yang wafat karena coronavirus.

Kenaikan tajam kasus COVID-19 mulai terasa sejak akhir Juni lalu, meski gelagatnya sudah terlihat selepas momentum libur panjang Idul Fitri.

Situasi tersebut direspons pemerintah dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat) sejak 2 Juli.

Pada bulan itu, peningkatan kasus konfirmasi positif harian meningkat tajam hingga sekitar 10 kali lipat dari yang tercatat di bulan sebelumnya.

Rekor kasus tertinggi terjadi pada 15 Juli dengan 56.757 orang yang terkonfirmasi positif. Kasus positif harian Indonesia bahkan sempat beberapa kali menjadi yang tertinggi di dunia.

Hingga tulisan ini ditayangkan, secara kumulatif Indonesia mencatatkan 3.331.206 kasus positif dengan 90.552 pasien meninggal dunia. Menjelang akhir Juli angka kasus konfirmasi positif mengalami fluktuasi yang tidak konsisten.

Banyak kalangan meragukan angka yang dirilis pemerintah. Pasalnya, dalam waktu tertentu terdapat penurunan jumlah spesimen yang diuji.

Tingginya angka kasus membuat fasilitas kesehatan kewalahan. Di hilir, hal tersebut berdampak pada semakin sempitnya akses terhadap layanan kesehatan.

Pengalaman Marina bisa menjadi contoh. Ia harus mencari di tiga provinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) sebelum suaminya mendapat perawatan memadai.

Meski demikian, Marina relatif beruntung. Banyak pasien coronavirus lain terpaksa melakukan isolasi mandiri di rumah dengan kondisi yang tidak ideal.

Mereka tidak mendapat layanan kesehatan karena faskes sudah tidak lagi sanggup menampung. Sebagian di antaranya harus berakhir nahas.

Artikel Lainnya: Medfact: Cuci Hidung Pakai NaCl Kurangi Risiko COVID-19?

Banyak Pasien Tak Tertangani

Lapor COVID-19, sebuah koalisi pemantau pandemi, mencatat 2.452 warga meninggal dunia di luar fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia sejak Juni hingga 22 Juli. Angka rilnya mungkin jauh lebih besar.

"Bisa jadi ini adalah fenomena puncak gunung es. Karena tidak semua warga yang meninggal di luar faskes ter-capture di media maupun melapor kepada kami," ungkap Windyah Puji Lestari, relawan bidang pelaporan warga Lapor COVID.

Lapor COVID mengumpulkan data dengan mengandalkan kanal laporan warga yang mereka kelola dan pemantauan media.

Koalisi ini juga bekerja sama dengan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) yang berjejaring dengan puskesmas.

Lapor COVID juga memberi bantuan bagi warga yang perlu akses ke fasilitas kesehatan. Pada 1 Juni lalu, layanan tersebut ditutup.

"Karena relawan sudah burnout (stres berat) dan kelelahan secara mental melihat banyak (pelapor) yang meninggal. Secara nggak langsung efek psikologis ke kita," kata Widya.

Ia punya pengalaman ketika berusaha membantu seorang pasien virus corona dari Tangerang Selatan mendapat bantuan medis. Widya susah payah selama satu jam mencari ambulans.

Pasien pun bisa dibawa ke rumah sakit terdekat. Ironisnya, pasien justru dicegah ketika akan masuk ke IGD.

"Bukan dicegah petugas medis, tapi dicegah satpam. Saking penuhnya faskes. Akhirnya karena lama nunggu, pasien itu pindah," Widya menuturkan.

Di rumah sakit kedua, antrean pasien tak kalah penuh. Karena tak mendapat oksigen, lanjut Widya, akhirnya pasien meninggal.

"Kita sudah beberapa kali mengalami pengalaman seperti itu. Ada 14 pasien yang meninggal karena nggak dapat perawatan di rumah sakit. Dan itu jadi pukulan bagi kami," katanya dengan nada prihatin.

Artikel Lainnya: Medfact: Air Kelapa Dicampur Garam Bisa Obati COVID-19?

Rumah Sakit Kewalahan

Tingginya keterisian ruangan rumah sakit untuk pasien virus corona diakui Sekjen Persatuan Rumah Sakit Indonesia, Dr.dr Lia Gardenia Partakusuma, SpPK(K), MM, MARS, FAMM.

Menurutnya, rasio penggunaan tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR) yang tinggi tidak terelakan seiring peningkatan kasus.

Ketika angka kasus harian meninggi, BOR di beberapa daerah mencapai lebih dari 80 persen. Kondisi tersebut mengkhawatirkan.

Meski menjelang akhir Juli terjadi penurunan BOR, tapi situasinya belum aman. Sebab, BOR di beberapa daerah masih di atas ambang batas aman yang ditetapkan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 60 persen.

Lima daerah di Jawa-Bali dengan BOR tertinggi, berdasarkan data PERSI per 25 Juli, yakni Yogyakarta 85%, Banten 81%, Jatim 79%, Jakarta 78%, Bali 76%. Adapun BOR nasional berada di angka 71,2%.

Yang perlu menjadi perhatian, menurut Lia, adalah BOR di luar Pulau Jawa-Bali. Ia melihat ada kecenderungan angkanya meningkat.

BOR daerah seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat sudah tembus 80 persen.  Bahkan di Maluku Utara BOR-nya mencapai 88 persen.

"Tapi itu bukan berarti kasusnya yang banyak, tapi karena tempat tidurnya itu tidak memadai untuk daerah tersebut," Lia menjelaskan.

Pemerintah meminta rumah sakit untuk meningkatkan kapasitas ruang bagi pasien virus corona. Hal itu bertujuan untuk menurunkan angka BOR.

Artikel Lainnya: Sudah Sembuh dari COVID-19, Masih Perlu Konsumsi Vitamin D?

Tenaga Medis Kelelahan

Di lapangan, upaya itu justru menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan. Lia mengatakan, saat ini kondisi tenaga medis sudah kelelahan. Belum lagi banyak nakes yang terinfeksi virus corona.

Rata-rata, lanjut Lia, 10 persen nakes juga terpapar virus corona. Data yang dihimpun Lapor COVID, terdapat 1.511 tenaga kesehatan yang gugur terinfeksi coronavirus per 25 Juli.

"Penambahan ruangan-ruangan ini juga membuat tenaga yang ada jadi lebih berat kerjanya," ia berujar.

Artinya, sumber daya manusia berkurang sementara beban kerja bertambah. Di sisi lain, penambahan kapasitas bagi pasien virus corona bagi sebagian rumah sakit berarti mengurangi alokasi ruangan bagi pasien non-COVID-19.

Alhasil, kemampuan rumah sakit melayani pasien non-coronavirus berkurang. Muncullah efek berantai yang memengaruhi kinerja fasilitas kesehatan.

Banyak tindakan medis pasien non-coronavirus, yang menurut Lia, harus ditunda berdasarkan skala prioritas.

Banyak pula pasien non-COVID yang terpaksa mencari layanan kesehatan ke rumah sakit di kelas lebih rendah lantaran kebanyakan rumah sakit besar fokus menangani virus corona.

Belum lagi problem pasokan oksigen yang tak kunjung bisa diurai. "Kita memang sudah membicarakannya cukup lama, mungkin ada hampir sebulan dan yang terberat ini dua minggu terakhir," papar Lia.

Ia menuturkan, pasokan yang tersedia sebenarnya memadai. Masalahnya berpangkal pada kemampuan distribusi yang lambat. Padahal kebutuhan oksigen meningkat drastis hingga lima kali lipat.

Lia meminta pemerintah menyelesaikan persoalan dari hulu dengan menekan angka kesakitan coronavirus.

Pemerintah telah mengakui tidak berhasil mengendalikan penularan. Varian virus corona Delta yang dianggap paling menular dituding menjadi biang keladinya.

Bahkan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang merangkap koordinator PPKM Jawa-Bali telah meminta maaf atas banyak jatuhnya korban jiwa dalam gelombang kedua pandemi. Dia mengakui pemerintah tidak memprediksi ledakan kasus sebesar ini. 

Artikel Lainnya: Anak Sakit di Saat Pandemi, Ini Langkah-Langkah Perawatannya

Terlambat Mengantisipasi

Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengkritik keterlambatan pemerintah merespons dinamika penularan COVID-19. Ia dan timnya sudah melihat gelagat peningkatan kasus sejak akhir Maret lalu.

"Polanya sama, Ini pola India." katanya dalam diskusi daring bertajuk "Penanganan Krisis Oksigen, ICU dan Nakes Kala COVID-19 Melonjak" yang diselenggarakan Klikdokter awal bulan lalu. Ia merujuk pada ledakan kasus yang terjadi di India awal tahun lalu.

Pandu mengaku telah meminta sejumlah pejabat untuk melakukan pengetatan. Terlebih, waktu itu ancaman varian Delta yang lebih berbahaya sudah tampak.

Pemerintah ,menurutnya, bisa mengantisipasi lebih awal. Ia menilai, dengan lonjakan kasus yang tajam fasilitas kesehatan pasti akan jebol.

Namun, menurut Pandu, sarannya tidak terimplementasi dalam kebijakan. Ia menilai, seharusnya peningkatan kasus bisa ditangani lebih dini.

PPKM yang diterapkan sekarang, lanjutnya, hanya respons terhadap ledakan kasus yang sudah terjadi. Kurva penawaran yang meningkat saat ini merupakan dampak dari apa yang terjadi beberapa pekan sebelumnya.

Pandu meminta pemerintah mengubah strategi penanganan yang selama ini menyandingkan isu kesehatan dan ekonomi. Penekanan yang terjadi selama ini cenderung memberi porsi lebih pada peningkatan ekonomi.

"Itu yang membuat kita terlambat melakukan pencegahan," tegasnya. 

Penanganan di hulu menjadi sentral dalam penanganan pandemi. Menurut Pandu, sejak dulu rumus penanganan pandemi hanya tiga: melakukan tes, pelacakan orang yang terinfeksi dan perawatan yang sakit agar tidak menulari yang lain.

Yang jelas, pemerintah tidak boleh melakukan kesalahan yang sama. Gelombang kedua menjadi pelajaran penting untuk tidak menyepelekan penularan virus corona

Perkaya informasi anda seputar COVID-19 melalui artikel yang bisa dibaca di aplikasi Klikdokter. Anda juga dapat mendapat dukungan kesehatan menjalani isolasi mandiri.

(JKT/AYU)

Liputan Khususvirus coronacovid

Konsultasi Dokter Terkait