HomeInfo SehatCovid-19Program Vaksinasi Limbung Dihantam Embargo
Covid-19

Program Vaksinasi Limbung Dihantam Embargo

KlikDokter, 30 Apr 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Program vaksinasi Indonesia limbung dihantam embargo. Ancaman hal serupa bisa kembali menghantui di program vaksinasi tahap kedua.

Program Vaksinasi Limbung Dihantam Embargo

Budi Gunadi Sadikin menyampaikan kabar mengejutkan dalam acara diskusi daring, Jumat (23/4) pekan lalu. Sang Menteri Kesehatan mengatakan stok vaksin COVID-19  menipis.

Ia mengungkapkan Indonesia hanya punya stok 8 juta dosis vaksin. Dengan laju vaksinasi 400 ribu per hari, diperkirakan seluruh stok habis kurang dari sebulan.

"Untuk 20 hari suntik. Agak mepet sebenarnya," ucap Budi.  

Skenario vaksinasi pemerintah berantakan lantaran negara produsen vaksin menunda distribusi. Ledakan pandemi gelombang kedua di sejumlah negara menjadi pangkal masalahnya.

Alhasil, negara produsen memprioritaskan produksi untuk penggunaan dalam negeri. India yang menjadi mitra perusahaan farmasi AstraZeneca untuk Kawasan Asia, misalnya.

Gelombang pandemi yang tengah menggila memaksa negara itu menahan ekspor vaksin. Indonesia salah satu negara yang terkena imbasnya.

Komitmen pengiriman 10 juta dosis vaksin untuk Indonesia pada Maret-April ditunda hingga Mei. AstraZeneca baru merealisasikan 1 juta dosis pengiriman.

Terlebih, AstraZeneca juga sempat menyampaikan kepada pemerintah bahwa komitmen pengiriman 50 juta vaksin sepanjang 2021 akan tertunda. Mereka, kata Budi kepada Komisi IX DPR awal April lalu, baru bisa merealisasikan pengirim 20 juta dosis vaksin pada 2021.

Sebanyak 30 juta dosis vaksin lagi baru akan dikirim pada 2022. Sementara itu, pengadaan vaksin di dalam negeri juga tersendat.

Produksi di perusahaan BUMN farmasi harus terkendala perawatan rutin enam bulanan fasilitas pabrik. Suplai yang cekak membuat pemerintah kelimpungan.

Perlambatan Laju Vaksinasi

Kondisi tersebut sebenarnya sudah terprediksi sejak akhir Maret.  Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Budi menyampaikan rencana perlambatan laju vaksinasi harian.

Tujuannya, menurut dia, agar sisa stok vaksin yang tersedia bisa diatur sedemikian rupa. Jangan sampai stok vaksin habis ketika stok baru belum tiba di Indonesia.

"Kita atur supaya jangan ada hari di mana tidak bisa vaksinasi," katanya.

Akibat penyesuaian itu, laju 500 ribu per hari vaksinasi pada awal Maret merosot menjadi 200 ribu per hari di akhir bulan yang sama.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga menggeser prioritas vaksinasi. Lansia yang sebelumnya berada di urutan prioritas keempat digeser ke urutan kedua setelah tenaga kesehatan.

Artikel lainnya: Alasan Penyintas COVID-19 Juga Perlu Divaksinasi

Pemerintah mempertimbangan risiko kematian akibat infeksi COVID-19 pada lansia. Dari keseluruhan pasien terkonfirmasi positif COVID-19 jumlah kelompok lansia sebenarnya hanya 10 persen.

Masalahnya, tingkat kematiannya sangat tinggi. Setengah kasus kematian di Indonesia merupakan pasien lansia. 

Satu dari tiga lansia yang masuk rumah sakit, berdasarkan data Kementerian kesehatan, meninggal dunia. "Lansia itu fatality rate-nya tinggi," papar Budi Gunadi.

Itu sebabnya, pemerintah mengebut vaksinasi lansia di tengah stok vaksin yang menipis. Pelaksanaannya juga berkejaran dengan waktu.

Artikel lainnya: Medfact: Vaksin AstraZeneca Mengandung Janin Bayi?

Kelompok Lansia Berisiko Tinggi

Pemerintah khawatir kelompok lansia menjadi rentan tertular saat momentum silaturahmi sepanjang libur Idul Fitri.

Prof. Dr. Iris Rengganis, Ketua Tim Advokasi Vaksinasi COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia, menilai strategi untuk memprioritaskan lansia sudah tepat. Strategi vaksinasi, lanjutnya, memang harus dinamis.

Data-data di lapangan, seperti angka kematian misalnya, harus menjadi rujukan untuk menentukan langkah. Sebab, kata Iris, situasi di setiap negara berbeda-beda.

Secara keseluruhan, embargo vaksin membuat program vaksinasi Indonesia keteteran.  Vaksinasi gelombang pertama periode Januari-April sebenarnya juga masih jauh dari target.

Data Kementerian Kesehatan per 21 April menunjukkan baru 11.302.294 orang mendapat vaksin dosis pertama dan 6.341.931 mendapat vaksin dosis kedua. Padahal, sasaran vaksinasi tahap ini totalnya berjumlah 40,3 juta jiwa.

Pada gelombang pertama, pemerintah memfokuskan vaksinasi pada kelompok tenaga kesehatan, lansia, dan petugas publik. Bila kembali terulang, masalah suplai vaksin akan lebih terasa lagi di gelombang kedua program vaksinasi pada periode April-Maret 2022.

Sebab, pemerintah menyasar populasi yang lebih besar, yakni 141,3 juta jiwa. Dampaknya bisa saja berpengaruh ke program vaksinasi secara keseluruhan.   

Artikel lainnya: Tidak Disarankan, Uji Antibodi Mandiri Usai Vaksinasi COVID-19

Menurut Prof. Iris, kontinuitas pasokan vaksin penting. Terlebih, kebanyakan vaksin COVID-19 butuh suntikan dua dosis.

Jangan sampai orang yang sudah mendapat vaksin dosis pertama tidak kebagian vaksin dosis kedua. Iris menjelaskan, antibodi yang efektif baru bisa tercipta setelah suntikan vaksinasi dosis kedua. 

"Bisa dibilang menjadi tidak ada gunanya divaksin jika hanya sekali," katanya.

Strategi Pemerintah Perteba Stok Vaksin

Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah menyadari hal itu. Ia menegaskan berusaha memastikan setiap orang mendapat vaksinasi hingga dosis kedua.

Nadia mengatakan kini pemerintah tengah menagih komitmen pengadaan vaksin dari produsen. "Jadi jangan lagi ada penundaan-penundaan, dipastikan komitmennya," Nadia menegaskan.

Selain itu, kandidat-kandidat vaksin lain kini dikaji. Menurut Nadia, sudah ada beberapa vaksin baru yang kini masuk uji klinis fase ketiga.

Artikel lainnya: Medfact: Vaksin COVID-19 Bisa Bikin Jadi Gay?

Vaksin tersebut berpotensi menjadi sumber pasokan alternatif bagi Indonesia. Pemerintah juga mengajukan penambahan pesanan ke pabrikan Sinovac. Sejauh ini, pengiriman vaksin Sinovac selalu tepat jadwal.

Kementerian Luar Negeri juga terus bergerilya melobi sejumlah saluran melalui jalur multilateral untuk memastikan stok vaksin. Upaya itu mulai membuahkan hasil.  

Senin (26/4) lalu, Indonesia mendapat kiriman 3,8 juta dosis vaksin AstraZeneca lewat skema multilateral. Bulan depan, diperkirakan juga akan ada pengiriman selanjutnya dengan jumlah yang sama. 

Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menilai strategi vaksinasi memang penuh ketidakpastian. Saat ini semua negara tengah memperebutkan stok vaksin.

Ketersediaan vaksin pun menjadi isu utama bagi semua negara di dunia. Hal itu tidak hanya dialami Indonesia.

"Yang menjadi masalah saat ini bukan masalah hanya uang saja, tetapi masalah barangnya, produknya ini yang memang terbatas," katanya kepada Klikdokter.

Artikel lainnya: Medfact: Vaksin Sinovac Mengandung Chip Pemantau, Ini Faktanya

Tidak Bisa Bergantung pada Vaksin

Menurut Dicky, pemerintah harus mempersiapkan banyak skenario manajemen risiko. Yang paling penting, kata dia, program vaksinasi tidak bisa menjadi ujung tombak penanganan pandemi.

Vaksinasi, masih menurut Dicky, hanya merupakan salah satu komponen strategi nasional untuk keluar dari situasi pandemi. "Tidak bisa dan tidak boleh dijadikan andalan utama," ia menegaskan.

Bagi Dicky, pemerintah tak boleh kendor mengendalikan 3T (tracing, testing, treatment) dan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).

Menurutnya, metode itu yang selama ini teruji sejarah dalam mengendalikan pandemi. Apalagi, kini mulai berkembang mutasi baru virus Sars-Cov-2 yang menyebabkan COVID-19.

Dicky khawatir mutasi menyebabkan efektivitas vaksin berkurang. Walaupun target vaksinasi tercapai, belum tentu herd immunity akan tercipta.

Artikel lainnya: Medfact: Vaksin COVID-19 Bisa Membuat Wanita Mandul?

Vaksin, menurut Dicky, lebih punya manfaat protektif secara individual. Kekebalan kolektif masih jauh dari harapan.

"Jadi kalau di lorong itu kita di ujung cuma kelihatan cahayanya," katanya beranalogi.

Ia juga mengingatkan selama ini vaksinasi belum bisa diberikan pada kelompok usia anak. Meski penelitian-penelitian menuju ke sana sudah mulai banyak dilakukan.

Tapi belum adanya vaksin yang bisa diberikan pada kelompok anak juga akan menjadi persoalan. Sebab, kelompok tersebut populasinya 40 persen di dunia.

"Itu besar sekali. Jadi kalau bicara lagi tentang herd immunity dan cakupan, kalau yang besar ini populasinya tidak ada vaksin, ya bagaimana?" ujar Dicky.

Perlu tahu lebih lanjut seputar vaksinasi COVID-19? eksplorasi informasinya melalui artikel-artikel di Klikdokter.com.

[JKT/ARM]

Liputan KhususvaksinCovid-19

Konsultasi Dokter Terkait