HomeInfo SehatPernapasanKompleksitas Problem Penanganan Tuberkulosis di Indonesia
Pernapasan

Kompleksitas Problem Penanganan Tuberkulosis di Indonesia

Ayu Maharani, 06 Apr 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Indonesia masih belum berhasil lepas dari ancaman tuberkulosis. Bagaimana kendala penanganannya di lapangan? bincang sehat kali ini mengulas persoalan tersebut.

Kompleksitas Problem Penanganan Tuberkulosis di Indonesia

Hari Tuberkulosis Dunia, 26 Maret lalu, disambut Indonesia dalam situasi yang tidak menggembirakan. Sejumlah indikator penanganan TBC di Indonesia menunjukkan gelagat tidak baik. 

Dalam Global Tuberculosis Report yang dirilis Lembaga Kesehatan Dunia, WHO, akhir tahun lalu, Indonesia berada di peringkat kedua negara dengan kasus TBC terbanyak. Indonesia mencatat 8,5 persen kasus dari total populasi dunia.

WHO juga mencatat, Indonesia mengalami penambahan kasus 69 persen hanya dalam empat tahun. TB di Indonesia meningkat 69 persen sepanjang periode 2015-2019.

Pandemi COVID kemudian memperburuk keadaan. WHO merekam, penurunan 20-30 persen laporan kasus di Indonesia sepanjang triwulan kedua 2020. Artinya, Indonesia gagal mengidentifikasi kasus TB potensial yang bisa berujung pada semakin tingginya penularan di masyarakat. 

Masih dalam situasi hari TB Dunia, klikdokter berbincang dengan dr. Erlina Burhan, Sp.P (K)., M.Sc., Ph.D. Ia merupakan dokter spesialis paru yang telah lama berkecimpung dalam penanganan TBC di Indonesia.  

Erlina pernah melakukan penelitian seputar TBC hingga ke Benua Afrika. Kepada klikdokter, ia bercerita pengalaman dan pandangannya terhadap persoalan TB yang kita hadapi. Berikut wawancaranya: 

Bisa cerita, apa yang membuat dokter Erlina menekuni bidang pulmonologi dan respirasi khususnya masalah TB ini?

Jadi saat kuliah, ada banyak ditawarkan topik-topik. Saya memilih penelitian tentang tuberkulosis dan kebetulan saat itu penelitiannya bisa dilakukan di Afrika. Jadi saya ke Afrika meneliti tuberkulosis. Sejak itu, saya merasa bahwa tuberkulosis ini adalah masalah yang sangat rumit dan dampaknya sungguh luar biasa, baik terhadap individu maupun terhadap kesehatan masyarakat secara keseluruhan. 

Setelah itu, saya ingin sekali bisa menjadi dokter yang ikut terlibat dalam penanganan tuberkulosis. Saya lihat, salah satu yang bisa dilakukan adalah melanjutkan program pendidikan spesialis paru. 

Seperti apa kerumitannya?

Tuberkulosis itu bukan saja masalah penyakitnya, tapi juga banyak masalah nonmedis, masalah public health. Jadi misalkan, seseorang sakit TB itu ada faktor yang berpengaruh. 

Yang pertama adalah sosial-ekonomi. Jadi mungkin karena ada kendala ekonomi, tinggal di rumah yang di daerah yang sangat padat, yang tidak memungkinkan rumah tersebut ada ventilasi. Dan kita tahu penularan TBC lewat airborne, maka penularannya bisa ke hampir semua anggota keluarga. 

Dan juga biasanya ini masih ekonomi juga, orang-orang yang tinggal di daerah padat juga ada masalah dengan penghasilan. Terhadap masalah dengan penghasilan, gizinya juga bermasalah. Yang memungkinkan terjadinya malnutrisi, kekurangan gizi, sehingga sistem imun juga terpengaruh. Ini dari segi ekonomi. 

Ada aspek apalagi?

Dari segi sosial juga ada. Masyarakat Indonesia ini senang berdekat-dekatan, senang berinteraksi erat, dan kebiasaan untuk memakai masker saat sedang batuk itu belum ada. Dan juga ada faktor sosial lainnya, ada stigma tentang TB sehingga orang biasanya tidak terlalu terbuka untuk mengatakan dia TB karena takut dikucilkan. 

Sehingga, karena tidak terbuka, lingkungan tidak tahu. Mungkin juga misalkan sudah batuk darah, tapi nggak mau berobat, nggak mau memeriksakan diri karena takut ketahuan, kena stigma tadi, akhirnya mereka menjadi sumber penularan untuk yang lain. 

Lingkungan tidak juga berubah. Harusnya, kalau ada salah satu anggota komunitas yang sakit, itu adalah tugas kita bersama membantu pengobatannya, memfasilitasi supaya tidak menularkan. Jenis kesadaran ini yang belum ada. Itu dari segi sosial. 

Sekarang juga dengan adanya penyakit komorbid diabetes, orang banyak merokok, minum minuman keras, ternyata menjadi penyebab orang sangat rentan untuk kena TB. 

Seberapa besar faktor kelas sosial terhadap kerentanan seseorang tertular?

Ini kan menular secara airborne. Jadi, walaupun orang kaya atau orang miskin, sudah nggak ada masalah tersebut. Kapan pun Anda bisa tertular. Kalaupun orang itu tinggal di lingkungan sosial ekonomi tinggi, tapi kalau ada masalah komorbid, contohnya diabetes, itu kan sistem imunnya juga rendah. 

Sehingga, kemungkinan untuk terinfeksi dan menjadi sakit TB itu juga besar. Ditambah lagi dengan merokok, saya katakan tadi, merokok itu juga menurunkan sistem imun. Kemampuan sistem imun untuk mengatasi kuman-kuman yang masuk di saluran nafas lebih rendah. 

Di luar sosial-ekonomi apakah ada stigma lain? 

Ada lagi tambahannya ya, pengobatan TB itu kan sebenarnya gratis. Tetapi banyak juga pandangan atau pemahaman yang salah. Dianggapnya, kalau obatnya gratis itu tidak mempan. Itu tidak benar. Sebetulnya, obat itu tidak gratis. Pemerintah tetap mengeluarkan biaya untuk itu. Tapi, diberikan gratis kepada masyarakat. 

Bagaimana soal kepatuhan dalam pengobatan? 

Pengobatan TB ini 6 bulan minimal ya dan ini membuat orang bosan. Jadi berobatnya kadang tidak sampai selesai. Tambahan lagi, biasanya setelah 2 bulan pengobatan, biasanya keluhan berkurang, sudah kembali berasa normal, lalu berobatnya tidak selesai, putus. Nah, ini memicu terjadinya kondisi kumannya resisten dengan obat-obat, tidak mempan lagi diberikan dengan obat yang sama. 

Bagaimana untuk penanganan pasien resisten obat? 

Akan dilakukan uji kepekaan dulu untuk melihat apakah kuman itu masih mempan terhadap obat tertentu atau sudah resisten terhadap obat tertentu. Kalau kemudian terbukti resisten, akan dicarikan obat lain dari obat yang tidak biasa diberikan. Yang biasanya, obatnya itu lebih keras dengan efek samping yang lebih banyak. Namanya obat lini kedua. 

Sementara kalau masih sensitif, itu tetap diberikan obat lini kesatu yang lebih efektif dan juga lebih tidak banyak efek sampingnya. Obat lini kedua lebih banyak dan tidak nyaman buat pasien. Jadi penting sekali kita sebagai dokter dan petugas kesehatan memberikan advokasi atau edukasi kepada pasien agar obat secara teratur sampai sembuh. 

Artikel lainnya: Waspadai Bahaya Penularan TB Paru!

Berdasarkan Tuberculosis Report WHO kasus di Indonesia memang besar…

Masalah ini juga sudah lama di Indonesia, tapi memang pengetahuan orang tidak merata sehingga tidak terlalu mendapat perhatian. Para pengambil kebijakan ini menganggap bahwa TB bukan masalah. Padahal kan kita tahu, Indonesia selalu urutan atas, berbeda dengan covid. 

Peringkat Indonesia tuh sebetulnya dalam beberapa dekade lalu dapat peringkat dalam peringkat 5 besar dunia. Indonesia pernah di nomor 5, nomor 4, nomor 3, dan sekarang, Indonesia nomor 2 setelah India. 

Di Indonesia saat ini setiap tahunnya kasus baru itu sekitar 845.000 per tahun kasus baru per tahunnya. Dengan kematian 98.000. Coba dihitung, 98.000 per tahun itu per jamnya berapa? Itu saya pernah hitung lebih dari 11 orang meninggal karena TB per jamnya. 

Kenapa kesadaran publiknya masih minim soal TBC ini?

Orang tidak terlalu menaruh perhatian karena kejadian meninggalnya tidak seperti COVID yang sakit seminggu-dua minggu, lalu meninggal. 

Kalau TB kan bisa lama sekali baru memburuk dan meninggal. Bahkan, bisa terinfeksi waktu kecil, tapi tidak jadi sakit, kumannya terus dibawa, begitu usia dewasa, pada saat sistem imun turun, maka kuman ini berkembang biak, jadilah sakit, gitu ya.

proses itu lama terjadinya, mulai dari nggak enak badan, lalu nafsu makan turun, makin kurus, keringat malam, demam-demam tapi tidak tinggi. Beda sama COVID yang demamnya langsung tinggi dan sesak. 

Kalau kelainan di parunya (pasien TB) sedikit, dia nggak akan sesak, biasa aja kayak orang normal. Bisa bekerja seperti biasa, paling gampang capek, gampang lemah, makan jadi berkurang, lama-lama jadi kurus.  

Jadi memang tidak seperti penyakit yang akut yang terjangkit langsung berat dan meninggal. Sehingga barangkali itulah yang membuat TB ini dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan, tidak terlalu serius. 

Padahal kita lihat dari jumlah penderitanya setahun itu 840.000 per tahun dan dengan kematian 98000 orang yang per tahun. Jadi saya kira ini jadi masalah sebetulnya, tapi tidak disadari oleh banyak pihak. Bahkan ada yang merasa tidak tahu kalau masih banyak kayak gini kasusnya. Padahal Indonesia ranking 2 sekarang setelah India.

Artikel lainnya: Setelah Sembuh Bisakah Tuberkulosis Datang Lagi?

Apa kendala pengobatan dan diagnosis TB semenjak pandem ini?

Jadi karena saya penggiat TB juga dan tahu situasi di lapangan karena ikut terlibat dalam pengobatan COVID, ya ini juga juga hal yang cukup memprihatinkan, ya. Bahwa pasien-pasien TB itu pertama tidak berani ke rumah sakit, takut tertular COVID. Kemudian, orang-orang yang belum TB kalau ada keluhan juga takut ke rumah sakit. Dan pasien-pasien yang sudah dalam pengobatan jadi tidak teratur ke rumah sakitnya karena takut tertular. 

Kemudian, petugas-petugas TB juga sekarang banyak diberi beban untuk bertugas mengatasi COVID. Jadi perhatian untuk TB juga agak terganggu karena punya beban lainnya. Itu dari sisi pasien dan petugas. Dari alat juga. Alat TCM (tes cepat molekuler-red) sekarang banyak yang dipakai untuk mendiagnosis COVID. Selama ini kan kita pakai untuk diagnosis TB. Jadi memang banyak juga kontribusi positif maupun negatif dari TB untuk COVID. 

Berat juga situasinya kalau begitu...

Saya merasa sebetulnya kita bisa belajar dari COVID ini. Contohnya, COVID Ini kan menyadarkan orang untuk menjaga kebersihan, membiasakan orang memakai masker. Kalau dulu kan orang pakai masker ini jarang sekali. Padahal di dunia TB sudah dikatakan, kalau batuk, pakai masker supaya tidak menularkan kepada orang lain. Tapi kan itu jadi stigma, kalau dia pakai masker, dianggap wah saya takut dikatakan TB. Tapi kan sekarang hampir semua orang pakai masker. Jadi itu adalah satu hal yang positif sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk TB, itu satu.

Kedua, orang jadi jaga kebersihan dan mulai menjaga imunitas dengan makan teratur. Itu juga dibutuhkan untuk TB. Testing dan tracing dalam covid yang cukup masif dilakukan oleh petugas kesehatan dengan dibantu pemda setempat ini sebetulnya salah satu kegiatan di TB juga. Sayangnya, tidak dikerjakan semasif COVID. 

Apa itu?

Di TB ada istilah investigasi kontak. Jadi begini, kalau ada orang yang positif 1, itu disebut kasus indeks. Sehingga seharusnya ditelusuri ke rumahnya, dicari siapa sumber penularan, apakah sudah bisa menularkan kepada orang lain di dalam lingkungan rumahnya, dll, tapi memang tidak terlaksana sebagaimana mestinya. 

Dengan ada kegiatan tracing dan testing dari COVID ini saya kira bisa digiatkan kembali kegiatan investigasi kontak ini atau pencarian kontak. Jadi kalau orang datang ke suatu lingkungan ke rumah-rumah yang melakukan skrining COVID harusnya juga bawa skrining untuk TB. Dan bahkan kalau bisa bawa pot sputum. Kalau ketemu orang yang batuk, langsung diambil datanya dan diminta dahaknya untuk diperiksa. Sehingga, ditemukan kasus-kasus TB lebih banyak lagi dan bisa diobati secara cepat dan bisa diketahui lebih dini lagi. 

Sebelum pandemi apa kendalanya? 

Saya kira masalah support system-nya saja yang kurang terkoordinir ya. Kalau ada kegiatan seharusnya kan itu dilakukan rutin. Dan dulu itu dibantu oleh para kader, tapi kita tahu kan kader ini juga banyak melakukan hal yang lain, tapi sekarang tracing COVID ini dilakukan oleh Pemda, dinas kesehatan. dan juga melibatkan RT-RW. dan kelurahan. 

Saya kira ini akan lebih berhasil kalau ini juga diberlakukan untuk TB. Jadi investigasi kontak pada TB itu kan hanya dibebankan kepada petugas kesehatan dan kader. Nah ini sangat memberatkan karena mereka juga petugas kesehatan kan harus juga melakukan pelayanan di Puskesmas. Tapi sekarang untuk tracing kan sudah banyak yang terlibat, mestinya juga perlakuan yang sama diberikan kepada TB. 

Bagaimana pemerataan kapasitas fasilitas kesehatan untuk menangani TBC?

Kan kalau di Indonesia itu masalahnya diagnosis, kepatuhan berobat, dan masalah logistik. Kalau di kota-kota besar, rasanya sih nggak masalah ya. TB itu bisa didiagnosis oleh Puskesmas. Sebetulnya nggak boleh jadi masalah untuk diagnosis. 

Tapi memang kadang-kadang stigma yang membuat orang takut memeriksakan diri sehingga akhirnya barangkali banyak orang yang TB sesungguhnya beredar berkeliaran di komunitas tanpa mengetahui kalau dirinya TB dan orang lain juga tidak tahu. Karena itu tadi, stigma, mereka takut kau terdeteksi sebagai TB, takut dikucilkan, kalau di kantor takut dikeluarkan.

Artikel lainnya: TBC juga Bisa Menyerang Kulit, Kenali Gejalanya!

Bagaimana dengan inovasi-inovasi baru untuk penanganan TB, apakah sudah ada terobosan?

Banyak inovasi yang dikembangkan, tapi memang yang menjadi masalah adalah sustainability-nya. Jadi banyak kegiatan-kegiatan TB ini terpisah-pisah dan dikerjakan oleh banyak pihak, banyak pemain lah ya. Saya kira harusnya lebih bisa dikoordinir dan saling complimentary

Dan juga banyak inovasi-inovasi yang dilakukan tapi sifatnya masih berskala project, bukan berskala luas. Dan perpanjang napas yang baik itu dilakukan secara nasional. Ya, tentang jejaring misalnya. Selama ini yang lebih banyak berkiprah adalah pihak pemerintah atau public sector. Sementara pihak swasta berjalan sendiri-sendiri. Sekarang sudah ada istilah yang disebut PPM, public private mix. 

Saling menunjang antara pihak pemerintah dan swasta membuat jejaring untuk diagnosis dan pengobatan dan juga sistem pelaporan. Saya kira kalau PPM ini dikerjakan secara masif, target kita bisa tercapai di tahun 2030. 

Dokter optimis bahwa target 2030 ini bisa tercapai?

Ya kalau pendekatannya sama seperti yang dikerjakan dengan COVID ini, semua sektor terlibat masyarakat, dan merasa berkepentingan untuk terbebas dari situasi ini, saya yakin bahwa itu akan bisa tercapai. Kita masih punya waktu 9 tahun lagi. 

Pernah punya pengalaman menyentuh selama terjun menangani TB, Dok? 

Kenangan buat saya adalah pada saat pertama kali ikut dengan pemerintah membuka program TB resisten obat di Indonesia. Jadi di rumah sakit saya adalah rumah sakit yang pertama dijadikan pilot program yang untuk kegiatan pengobatan TB resisten obat. Itu menjadi sesuatu hal yang baru dan juga penuh tantangan karena baru pertama kali dan kita terkaget-kaget bahwa ternyata banyak kasus yang ditemukan dan menjadi tantangan. 

Dan buat saya yang menyedihkan adalah pasien-pasien yang sudah kita diagnosis tidak meneruskan dengan pengobatan dengan berbagai alasan. Karena saat itu kan harus datang setiap hari. Mereka tidak bisa datang karena tidak punya biaya, sehingga akhirnya memutuskan tidak melanjutkan pengobatan. Kita tahu bahwa TB akan resisten obat jika tidak diobati. 

Kemungkinannya adalah 50% tetap hidup tapi menderita. Karena kelainan di parunya semakin luas dan semakin tidak nyaman, menjadi sesak, dan lain-lain. Dan 50 % lainnya kemudian meninggal dunia. Ini situasi yang sungguh membuat saya tercenung. 

Kita sudah mendiagnosis, tapi kita tidak mampu mengantarkan pasien ini semua pasien sampai sembuh. Jadi saya ingat itu setelah kita telusuri sampai 25 sampai 30% pasien-pasien kami yang sudah didiagnosis itu tidak atau menolak untuk mengikuti pengobatan. 

Apalagi kemudian dari yang ikut pengobatan sebagian berhenti karena efek sampingnya. Luar biasa sekali efek samping obat ini. Pasien kita lihat mual-mual muntah-muntah yang sampai ampun-ampunan bahkan ada yang mengirim surat kepada saya pakai materai mengatakan sudah tidak sanggup lagi menjalani pengobatan dan segala sesuatunya akan ditanggung sendiri minta maaf kepada dokter Elina yang sudah memberikan pengobatan dari awal. Buat saya itu sangat menyedihkan ya sampai minta maaf mengatakan tidak sanggup. 

Dan yang bikin saya sedih juga adalah saya tidak mampu membuat semua pasien saya menjalani pengobatan. Karena semua alasan yang diberikan, semua alasan yang mereka berikan, menurut saya tidak ada yang bisa dibantah. 

Contohnya tidak punya uang untuk datang berobat bahkan tidak punya uang untuk membeli makanan dan juga ada yang tidak mau berobat karena tahu dia datang berobat nggak bekerja, kalau dia nggak kerja, istri dan anak-anaknya tidak makan. Coba bayangkan Anda berada dalam situasi begitu berat betapa sedihnya tapi tidak juga bisa memaksa karena alasannya itu, Pasti buat mereka itu juga alasan yang tidak dibuat-buat 

Selain mual muntah biasanya keluhan pasien apalagi? 

Ada yang juga merasa pusing bahkan pernah mengatakan pingsan di rumah kemudian ya itu tadi, nggak bisa makan. Itu udah nggak bisa makan, minum obat juga muntah, jadi tambah parah katanya. Tapi sekarang semakin baik ya, artinya sudah banyak perbaikan sekarang. Dulu kan obat-obat itu disuntikkan selama 6 bulan dan selama lebih dari 18 bulan minum obat. 

Sekarang obat suntikan sudah tidak ada lagi karena suntikan memang bikin orang menjadi sangat-sangat terganggu dan menderita karena efek sampingnya. Ada juga pasien yang menghampiri saya bercerita kalau dia sampai tidak diakui sebagai keluarga yang bahkan diceraikan disuruh pergi dari rumah. Sedihnya saya nggak bisa bantu. Jadi memang hal-hal seperti itu yang masih saya ingat. 

Ada juga yang minta diantarkan pulang oleh saya, ya saya nggak bisa melakukan itu kan saya juga bekerja. Biasanya yang minta bantuan saya itu perempuan, tetapi yang waktu itu sampai mengirim surat itu laki-laki, bapak-bapak. 

Ya sekarang obat-obat untuk TB resisten itu sudah mulai banyak ya. Suntikan sudah kita tinggalkan, selain karena efek sampingnya juga, itu tadi, orang terpaksa harus datang setiap hari untuk disuntikkan. Ini memberatkan. Tetapi, dengan obat-obat yang tanpa suntikan, kita harapkan nanti kedepannya tidak perlu datang setiap hari. Akan dikembangkan pengawasan yang sekarang memakai teknologi. 

Ada tips dari dokter agar masyarakat bisa memelihara kesehatan paru-parunya dari TB? 

Ya jadi saya ingin menyampaikan bahwa ini adalah penyakit menular yang ada obatnya dan kalau obat itu diminum dengan teratur, pasti bisa sembuh. Oleh sebab itu, kalau terdiagnosis TB, tidak usah panik. Ikuti tata cara pengobatan yang sudah diberikan dan jangan menghentikan pengobatan sebelum ada keputusan dari dokter. 

Kalau di rumah sederhana yaa, membuka pintu dan jendela agar terjadi pertukaran udara kemudian juga untuk secara individu menjaga kesehatan pribadi dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Dan satu lagi, jangan merokok. 

Anda bisa membaca artikel-artikel lain di KlikDokter untuk mengetahui lebih lanjut seputar tuberkulosis. Bila Anda merasakan keluhan yang mengarah ke gejala tuberkulosis jangan ragu berkonsultasi dengan dokter melalui LiveChat

(JKT/ARM)

Tuberkulosis

Konsultasi Dokter Terkait