HomeInfo SehatCovid-19Medfact: Vaksin COVID-19 Bisa Bikin Jadi Gay?
Covid-19

Medfact: Vaksin COVID-19 Bisa Bikin Jadi Gay?

Ayu Maharani, 11 Feb 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Selain microchip, preferensi seksual penerima vaksin COVID-19 disebut-sebut bisa berubah dari straight menjadi gay! Untuk tahu kebenarannya, cek di sini!

Medfact: Vaksin COVID-19 Bisa Bikin Jadi Gay?

Ada banyak spekulasi efek samping vaksin COVID-19 yang beredar di masyarakat. Di antara kabar yang berkembang, sejauh ini ada dua info yang paling “menakjubkan”.

Satu, vaksin COVID-19 mengandung microchip. Kedua, vaksin untuk infeksi tersebut bisa mengubah preferensi seksual seseorang. Bagaimana kebenaran klaim nomor dua tersebut?

 

Dari Mana Info Ini Beredar?

Bukan dari Indonesia, info perihal vaksin COVID-19 bisa bikin penerimanya menjadi gay bermula dari ulama asal Iran bernama Ayatollah Abbas Tabrizian.

Ia mengatakan lewat akun Telegram, orang yang dekat-dekat dengan penerima vaksin COVID-19 akan berubah menjadi gay.

Entah mengapa dari sekian banyak spekulasi, ia memilih gay sebagai efek samping vaksin COVID-19.

Dilansir dari berbagai sumber, Iran sendiri memang termasuk negara yang kontra terhadap LGBT. Sejak revolusi Iran tahun 1979, ribuan orang gay dipercaya telah dieksekusi.

Mungkin, atas dasar itulah Tabrizian mengambil alasan tersebut untuk menakuti masyarakat Iran.

Akun Telegram-nya memiliki lebih dari 200 ribu pengikut. Alhasil, ada kekhawatiran bahwa ucapannya akan memengaruhi para followers dan makin banyak yang enggan divaksinasi.

Sebenarnya, hal ini bukan pertama kali Tabrizian mencemooh pengobatan medis, terutama yang berasal dari Barat.

Ia bahkan pernah membakar buku Harrison’s Manual of Medicine. Untung saja, sikap Tabrizian turut mendapat kecaman dari sesama warga Iran.

Artikel Lainnya: Pengembangan Vaksin HIV, Ini Update-nya!

Adakah Hubungan Vaksin dengan Perubahan Preferensi Seksual Seseorang?

Dokter Sara Elise Wijono, M.Res menegaskan pembuatan dan penyuntikkan vaksin kepada warga dunia ditujukan untuk membentuk kekebalan tubuh.

Meski tak bisa melindungi 100 persen, setidaknya vaksin bisa menurukan risiko tertular sekaligus mengurangi gejala dari suatu penyakit.

“Yang perlu diingat lagi, kekebalan tubuh tidak ada hubungan dan pengaruhnya ke preferensi seksual seseorang. Kedua hal ini sama sekali tidak berkaitan sehingga kabar tersebut dapat dipastikan sebagai hoaks,” terangnya.

Dokter Sara juga menambahkan, “Sampai saat ini, kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI vaksin COVID-19 cuma keluhan sementara yang sifatnya ringan. Misalnya saja, orang mengalami demam dan pegal di lokasi suntik.”

Bila vaksin COVID-19 tidak memberikan efek samping seperti yang dikatakan ulama asal Iran, bagaimana dengan vaksin yang lain?

Adakah jenis vaksin yang memang bisa memengaruhi hormon seseorang sehingga preferensi seksualnya berubah?

Dokter Sara menekankan, “Setahu saya tidak ada sampai sekarang. Tidak ada vaksin yang berpengaruh terhadap kondisi hormon seseorang dan mengubah preferensi seksnya.”

Artikel Lainnya: Beratnya Jadi Penderita AIDS di Masa Pandemi Virus Corona

Di sisi lain, terdapat beberapa jenis vaksin yang memang biasanya lebih banyak didapatkan oleh LGBT.

Hal ini sempat diteliti dan dipublikasikan dalam jurnal PLoS One tahun 2019. Studi tersebut berjudul Vaccination Differences among U.S. Adults by Their Self-Identified Sexual Orientation, National Health Interview Survey, 2013–2015.

Menurut laporan riset, 51,6 persen wanita biseksual menerima vaksin HPV, sedangkan wanita heteroseksual hanya 40,2 persen.

Untuk vaksinasi hepatitis A dan B, 40,3 dan 53,6 persen laki-laki gay mendapatkan vaksin tersebut. Sementara, pria heteroseksual yang menerima vaksin hepatitis hanya 25,4 persen (A) dan 32,6 persen (B).”

Peneliti mengemukakan, jumlah perempuan LGBT yang menerima vaksin hepatitis juga lebih tinggi, yaitu 33,9 persen (A) dan 38,4 persen (B). Pada perempuan heteroseksual, persentasenya hanya 23,5 persen (A) dan 38,4 persen (B).

Adanya kecenderungan di atas kemungkinan besar disebabkan oleh faktor risiko yang dimiliki.

“Mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko. Karena itulah populasi ini berusaha melindungi diri dengan vaksin,” jelas dr. Sara.

Tidak ada yang membahas preferensi seksual sebagai efek samping vaksin, termasuk vaksin COVID-19.

Yang ada hanyalah kecenderungan orang LGBT yang berusaha mendapatkan beberapa vaksin demi melindungi diri dari risiko penyakit.

Artikel Lainnya: Kupas Tuntas Soal Vaksin Hepatitis B

Alasan LGBT Sering Dijadikan Kambing Hitam

Menurut Ikhsan Bella Persada, M. Psi., Psikolog, orang yang sering menjadikan LGBT sebagai alasan atau kambing hitam dari sebuah kondisi umumnya merupakan homophobia.

“Orang homophobia punya ketakutan yang tidak rasional. Alhasil, karena ketakutannya itu, ia sering mengambinghitamkan atau bahkan sama sekali tidak mau kenal dengan orang gay. Caranya tersebut merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri yang tidak matang,” jelasnya.

Psikolog Ikhsan menambahkan, “Mereka belum tentu punya gangguan psikologis. Namun, bisa saja mereka punya hambatan dalam memandang dan memahami lingkungan sekitarnya. Karena itu, ketika ada yang menurutnya berbeda dari yang ia yakini, prasangka buruk langsung muncul.”

Jadi, jangan mudah termakan dengan berita efek samping vaksin virus corona yang belum tentu benar, ya. Cek dulu faktanya sebelum menyebarkannya ke orang lain.

Bila ada pertanyaan seputar vaksin COVID-19, lebih baik langsung konsultasi ke dokter lewat layanan LiveChat. Dapatkan beragam fakta kesehatan dari para ahli medis hanya di Klikdokter!

(FR/AYU)

virus coronavaksinMedFact

Konsultasi Dokter Terkait