HomeInfo SehatCovid-19Kotak Pandora Pembukaan Sekolah Tatap Muka
Covid-19

Kotak Pandora Pembukaan Sekolah Tatap Muka

Tim Redaksi KlikDokter, 29 Des 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Rencana pemerintah mengizinkan pembelajaran tatap muka di sekolah menuai polemik. Indikator-indikator epidemiologi menunjukkan Indonesia belum siap.

Kotak Pandora Pembukaan Sekolah Tatap Muka

Kegelisahan berkecamuk di kepala Santi (45 tahun) beberapa bulan belakangan. Pertengahan tahun ini, anak perempuannya masuk di kelas 10 salah satu sekolah menengah atas negeri di Kota Bekasi.

Pandemi memaksa sang putri belajar secara daring. Kondisi belajar yang tidak ideal, menurut Santi, membuat anaknya kesulitan beradaptasi dengan materi pelajaran di jenjang baru.

Dari situlah keresahan itu muncul. Santi khawatir, metode belajar jarak jauh menyebabkan anaknya tertinggal secara akademis.

"Biasanya anak saya kalau ada yang tidak mengerti langsung tanya sama guru. Kalau sekarang, tanya hari ini, baru dijawab besok siang," ia menceritakan salah satu kesulitan yang dihadapi.

Keterbatasan pembelajaran jarak jauh membuat sang putri stress. Masalah juga muncul dari sisi pergaulan sosial.

Menurut Santi, anaknya bahkan belum mengenal dan berinteraksi langsung dengan teman-teman sekelasnya. Bagi dia, duka pembelajaran daring lebih banyak. Sukanya hanya satu: sang anak jadi seharian berada di rumah.

Santi tidak sendiri, di seluruh Indonesia ada banyak orang tua yang mungkin merasakan problem serupa. Santi sendiri masih gamang bila putrinya harus bersekolah tatap muka.

"Saya inginnya sih segera (sekolah) tatap muka. Kasihan anak stres. cuma memang kondisinya sekarang Bekasi zona merah. Terus terang saya was-was juga," katanya.

Pada 20 November 2020 lalu, pemerintah menerbitkan aturan yang memungkinkan sekolah melakukan pembelajaran tatap muka. Beleid itu tertuang dalam Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019.

Pemerintah menilai, pembelajaran tatap muka yang tak kunjung dilaksanakan berdampak negatif pada peserta didik. Beberapa yang mendapat sorotan antara lain risiko learning loss, kesenjangan capaian belajar, dan stres pada anak.

Pemerintah pusat menyerahkan kewenangan memutuskan sekolah tatap muka ke pemerintah daerah. Pembelajaran tatap muka akan mulai dibuka berdasarkan pertimbangan daerah pada Januari mendatang.

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengingatkan pemda agar mempertimbangkan situasi dengan matang sebelum mengeluarkan izin sekolah tatap muka.

"Kendati kewenangan ini diberikan, perlu saya tegaskan bahwa pandemi belum usai. Pemerintah daerah tetap harus menekan laju penyebaran virus corona dan memperhatikan protokol kesehatan," Nadiem menekankan.

Berbeda dengan aturan pembelajaran sekolah yang diterbitkan Agustus lalu, dalam pedoman teranyar itu, zonasi tingkat penularan virus tak lagi menjadi kriteria yang dipertimbangkan untuk pembukaan sekolah. Kebijakan berisiko itu kini mendapat sorotan dari berbagai kalangan.

Artikel Lainnya: Persiapan Orang Tua saat Anak Kembali Sekolah saat Pandemi

Belajar dari Negara Lain

Dicky Budiman, Pakar Pandemi dari Griffith University, Australia, menyoroti pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ia mengingatkan, pembukaan sekolah harus masuk dalam skenario besar penanganan pandemi pemerintah di skala nasional maupun daerah.

Itu sebabnya, pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan begitu saja. "Apapun kebijakannya sekecil mungkin, sebesar mungkin semuanya akan berpengaruh. Jadi aksi lokal akan berdampak nasional," tegas Dicky.

Riset terbaru yang dimuat jurnal Jerman, menurut dia, menunjukkan kontribusi pembukaan sekolah tatap muka dengan angka kasus di suatu negara. Studi tersebut memotret tren yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa.

Kesimpulannya: penutupan sekolah menurunkan hampir 50 persenan kasus mingguan di suatu wilayah. Penurunan potensi angka kematian juga menunjukkan persentase yang sama. "Jadi ini luar biasa perannya," Dicky berujar.

Beberapa negara bisa menjadi referensi pembukaan sekolah tatap muka yang ideal. Misalnya saja, Australia dan Selandia Baru yang menjadikan pembukaan sekolah sebagai prioritas dalam menyusun strategi pengendalian pandemi nasional maupun regional.

Dua negara tersebut juga melakukan lockdown hingga positivity rate--perbandingan kasus positif dengan jumlah tes per hari--bisa ditekan di bawah 5 persen. Setelah pandemi terkendali, barulah izin sekolah tatap muka dikeluarkan pemerintah.

Yang tak kalah penting, pemerintah Australia dan Selandia Baru benar-benar bisa mengendalikan kasus harian. Kasus yang muncul juga bisa diprediksi klasternya.

"Jadi tidak ada data kasus yang tidak bisa atau tidak terprediksi. Ini yang artinya terkendali," Dicky menjelaskan. Positivity rate di kedua negara tersebut kini berada di kisaran 0,2-0,3 persen.

Artikel lainnya: Tips Menangani Anak yang Tak Mau Ditinggal di Sekolah

Pembukaan sekolah di Indonesia pada Januari, dianggap Dicky, terlalu terburu-buru. Sepanjang Desember, lanjut dia, terdapat beberapa momentum yang bisa memperburuk pandemi.

Ia merujuk pada helatan pilkada, yang baru saja diselenggarakan. Di samping itu, ada pula peristiwa kerumunan besar di beberapa tempat di Indonesia.

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah potensi penularan di liburan panjang akhir tahun. Rangkaian momen-momen tersebut dikhawatirkan memicu ledakan kasus baru dalam komunitas.

Dengan mempertimbangkan jeda masa inkubasi virus, bisa saja banyak kasus baru bermunculan pada Januari. Hal itu, menurut Dicky, membuat pembukaan sekolah tatap muka menjadi semakin berisiko.

Terlebih, tren kasus COVID-9 di Indonesia masih tinggi, baik dari sisi angka kasus dan kematian. Argumen tersebut diperkuat angka positivity rate Indonesia yang masih di atas 10 persen. Positivity rate Indonesia bahkan menembus 20 persen selama beberapa hari berturut-turut pada Desember 2020.

"Ini menggambarkan situasi pandemi yang tidak terkendali," kata Dicky. "Kalau dipaksakan dibuka, positivity rate di atas 10 persen ini terlalu tinggi risikonya."

Bagi Indonesia, menurut Dicky, idealnya positivity rate nasional berkisar 5-8 persen sebelum keputusan pembukaan sekolah tatap muka diserahkan ke daerah. Ia menyarankan pemerintah menunda rencana pembukaan pembelajaran tatap muka.

"Katakanlah di akhir Februari atau pun akhir kuartal pertama tahun 2021. Ini sekali lagi harus ada kesiapan. Tidak bisa begitu saja diserahkan ke daerah," Dicky menjelaskan alasannya.

Kebijakan pembukaan sekolah pun harus dievaluasi dan dimonitor ketat. Sebab, kata Dicky lagi, situasi pandemi sangat dinamis dan dapat berubah sewaktu-waktu.

Bila pemerintah salah mengambil kebijakan, harga yang harus dibayar akan mahal: keselamatan siswa. Jangan lupa, COVID-19 menyerang tanpa kenal batasan usia.

Artikel Lainnya: Bekal Sehat dan Lezat agar Si Kecil Lebih Semangat ke Sekolah

Potensi Peningkatan Kasus COVID-19 dari Sekolah

Rencana pembukaan sekolah tatap muka juga membuat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) khawatir. Lembaga itu, dalam pernyataannya yang dirilis 1 Desember lalu, menilai pembukaan sekolah berpotensi memicu peningkatan kasus.

Dalam pandangan IDAI, pengalaman beberapa negara--seperti Korea Selatan, Perancis Amerika dan Israel--menunjukkan tren ledakan kasus COVID-19 pascapembukaan sekolah.

IDAI meminta kepada orang tua, "Sebaiknya tetap mendukung kegiatan belajar dari rumah, baik sebagian atau sepenuhnya." Namun, IDAI juga tidak menafikan fakta di lapangan bahwa banyak persoalan yang muncul akibat pembelajaran jarak jauh.

Sebagai titik komprominya, IDAI meminta orang tua cermat dan berhati-hati dalam mempertimbangkan izin anak bersekolah tatap muka. Sikap itu lebih lunak ketimbang pandangan IDAI pada 26 Agustus.

Saat itu, IDAI tetap tidak merekomendasikan anak untuk keluar rumah, termasuk kegiatan tatap muka di sekolah sampai situasi COVID di Indonesia memenuhi kriteria epidemiologi WHO.

Dokter spesialis anak, dr. Reza Fahlevi, Sp. A, menjelaskan anak-anak sama rentannya dengan orang dewasa. Ia khawatir pembukaan sekolah yang gegabah justru memunculkan klaster penularan baru.

Imbasnya akan meningkatkan penyebaran virus di komunitas yang lebih luas. Sebab, anak pada akhirnya akan pulang ke rumah dan berinteraksi dengan keluarga. Rantai penularan akhirnya makin sulit dikendalikan.

Menurut Reza, anak-anak juga rentan terinfeksi karena karakternya yang senang bermain. Bukan tidak mungkin di sekolah mereka berinteraksi dengan teman sebaya. 

"Orang dewasa saja banyak yang enggak mematuhi protokol kesehatan, apalagi pada anak-anak," imbuh Reza.

Ia mengatakan, sepersepuluh hingga sepersembilan kasus COVID-19 di dunia dialami anak-anak. Angka di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda.

Artikel Lainnya: 7 Sumber Kuman Tak Terduga di Sekolah

Kematian Anak Akibat COVID-19

Data Satuan Tugas COVID-19 per 28 Desember, menyebutkan 8,8 persen pasien COVID-19 adalah anak dalam rentang 6-18 tahun yang merupakan usia sekolah. Sementara anak usia 0-5 tahun mengambil porsi 2,7 persen.   

Persentase anak terinfeksi COVID-19 yang relatif lebih kecil dibanding keseluruhan populasi tidak bisa ditafsirkan sebagai rendahnya risiko mereka tertular. Sejumlah riset menyebut, tingkat infeksi pada anak selama ini ditekan oleh kebijakan peliburan sekolah-sekolah dan pembelajaran dialihkan ke sistem daring sejak pandemi.

Alhasil, anak-anak lebih minim paparan virus dibanding orang dewasa. Di Indonesia, yang perlu mendapat perhatian serius adalah tingkat kematian pasien COVID anak.

"Kematian pada anak akibat COVID-19 di Indonesia itu 3,2 persen sampai akhir November ini. Angka ini paling tinggi di Asia Pasifik," Reza menambahkan.

Centers for Disease Control and Prevention Amerika memperingatkan bahaya multisystem inflammatory syndrome (MISC) pada anak yang menderita COVID-19. Reza menjelaskan, kondisi tersebut merupakan peradangan multiorgan.

MISC bisa berakibat fatal. Reza mengatakan, MISC merupakan salah satu penyebab kematian pada anak. Anak dengan keluhan itu harus dipastikan dalam kondisi stabil.

"Kondisi MISC ini sewaktu-waktu bisa terjadi perburukan dalam hitungan jam. Jadi harus benar-benar ada pemantauan yang ketat," kata Reza.

Karena itu, kondisi sekolah harus dipersiapkan matang untuk pembelajaran tatap muka agar kesehatan anak terjamin. Masalahnya, belum semua sekolah punya kesiapan memadai untuk pembukaan sekolah.

Artikel lainnya: 6 Penyakit Ini Bisa Ditangkal Jika Anak Bawa Bekal ke Sekolah

Banyak Sekolah Belum Siap

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pernah melakukan survei ke 10 sekolah pada Oktober lalu. Hasilnya cukup mencengangkan. Dari 10 sekolah, hanya dua yang memenuhi syarat untuk melakukan pembelajaran tatap muka.

Survei itu, Menurut Heru Purnomo, Sekjen FSGI, baru dilakukan di Jabodetabek saja. Menurutnya, kebanyakan sekolah di Jabodetabek sudah punya kesiapan infrastruktur yang memadai.

Mereka sudah memiliki fasilitas wastafel untuk mencuci tangan, masker, pendeteksi suhu, hingga desinfektan. Celahnya justru pada protokol kesehatan.

Kebanyakan sekolah, kata Heru, belum memiliki tatalaksana atau prosedur baku untuk mencegah penularan. Protokol itu harus meliputi sejak keberangkatan anak ke sekolah, ketika berada di sekolah, dan hingga kembali ke rumah. 

"Pada umumnya yang sudah siap protokol kesehatan baru sedikit," ungkap Heru. "Jadi kalau di Jabodetabek dipersentasekan baru 20 persen."

Bagi Heru, pilihan antara sekolah daring atau tatap muka akan selalu punya sisi positif dan negatif. Pilihannya serba dilematis: kecerdasan atau kesehatan.

Idealnya, ia berpendapat, kesehatan lebih prioritas. Karena itu, penerapan sekolah daring pada situasi pandemi yang belum terkendali harus diutamakan.

Kekurangan sekolah jarak jauh perlu dievaluasi menyeluruh. Hal itu dilakukan untuk menambal celah sekolah daring.

Dengan demikian, pembelajaran jarak jauh bisa tetap optimal. Heru menegaskan, kesehatan tetap prioritas utama dibanding kecerdasan.

"Kalau dibalik, tentu cerdas, tetapi terserang penyakit lalu meninggal, kecerdasannya tidak bermanfaat,"  katanya. "Kalau sesuai dengan skala prioritas kecerdasannya tertinggal, tetapi masih bisa dikejar."

Jangan ketinggalan informasi seputar COVID-19 dan anak hanya di aplikasi Klikdokter.

[JKT/AMR]

Liputan KhususPendidikan Anak

Konsultasi Dokter Terkait