Berita Kesehatan

Hati-hati, Nakes Tak Boleh Sembarang Ungkap Data Pasien!

Tamara Anastasia, 05 Jan 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Meski tidak menyebarkan identitas dan foto wajahnya, tenaga kesehatan (nakes) tidak boleh sembarangan menceritakan pasiennya. Apa saja aturannya?

Hati-hati, Nakes Tak Boleh Sembarang Ungkap Data Pasien!

Menolong orang yang sakit merupakan salah satu sumpah para dokter di seluruh dunia. Tapi tidak hanya itu, menyimpan rahasia dan data riwayat pasien juga jadi etika kedokteran yang wajib dipatuhi.

Sayangnya, ada saja petugas kesehatan yang mungkin lupa atau secara tidak sengaja menyebarkan data pasien ke media sosial.

Baru saja viral sebuah video seorang bidan yang tidak sengaja atau tidak sadar menceritakan pasiennya yang terkena sifilis. Tidak hanya itu, ia juga menyinggung sedikit kondisi rumah tangga sang pasien.

Meski tidak menyebutkan nama atau mengumbar identitas pasien, hal ini tetap jadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat.

Kode Etik Dokter terkait Informasi Pasien

Melihat kasus di atas, mungkin Anda juga berpikir, apa tidak boleh seorang dokter atau perawat menyebarkan informasi atau aib pasien meski tidak menyebutkan identitas sang pasien?

Menanggapi hal ini, dr. Devia Irine Putri mengatakan, sesuai dengan etika kedokteran yang ada, para petugas kesehatan memang tidak boleh menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan pasien tanpa persetujuan pasien tersebut.

Bahkan, kalau memang kondisi pasien itu akan digunakan untuk sebuah studi (misalnya untuk proses belajar dokter), para tenaga medis juga tetap harus meminta izin pasien.

Tanyakan kepada pasien, apa boleh kondisi atau kasus kesehatannya dijadikan studi dan diskusi dengan sesama rekan dokter? Jika boleh, maka identitas pasien akan disamarkan. Bila ada foto, wajahnya harus diburamkan.

Artikel Lainnya: Penelitian Temukan Nakes Wanita Lebih Stres Hadapi Virus Corona

“Hubungan dokter dengan pasien harus profesional. Kalau dokter sembarangan menyebarluaskan informasi atau rahasia pasien, pasti akan menimbulkan stigma pada pasien tersebut. Terutama bila berhubungan dengan penyakit kejiwaan dan infeksi seksual,” ujar dr. Devia.

Berdasarkan laman Hukum Online, beberapa kode etik kedokteran yang dicantumkan pada Pasal 16 KODEKI, yaitu:

  • Seorang dokter wajib merahasiakan apa yang ia ketahui tentang pasien yang ia peroleh dari diri pasien tersebut, dari suatu hubungan dokter-pasien sesuai ketentuan perundang-undangan.
  • Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataan tentang diagnosis dan/atau pengobatan terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau kepada masyarakat luas.
  • Seorang dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan pasien, keluarga, atau kerabat dekatnya dengan membuka kepada pihak ketiga.
  • Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan dibuka atau dipertahankannya rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan mitra bestari atau organisasi profesionalnya.
  • Setiap dokter wajib hati-hati dan mempertimbangkan implikasi sosial-ekonomi-budaya dan legal terkait pembukaan rahasia pasiennya yang diduga atau mengalami gangguan jiwa, penyakit infeksi menular seksual, dan penyakit lainnya yang menimbulkan stigmatisasi dari masyarakat.
  • Setiap dokter pemeriksa kesehatan untuk kepentingan hukum dan kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil pemeriksaan kepada pihak berwenang yang memintanya secara tertulis sesuai ketentuan perundang-undangan.
  • Seorang dokter dapat membuka rahasia medis seorang pasien untuk kepentingan pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang, permintaan pengadilan, untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah berkonsultasi dengan organisasi profesi.
  • Seorang dokter wajib menyadari bahwa membuka rahasia jabatan dokter dapat membawa konsekuensi etik, disiplin, dan hukum.

Artikel lainnya: Lipsus: Perjuangan Tenaga Medis, dari Takut Jadi OTG sampai Stigma Negatif

Apa Dampaknya Bila Rahasia Pasien Dilanggar?

Menurut dr. Devia, ketika seorang dokter secara sengaja maupun tidak sengaja menyebarkan informasi terkait pasien yang dirawatnya, hal ini bisa membawa dokter kepada konsekuensi etik, disiplin, atau hukuman apabila benar menyebarluaskan data pasien. Terlebih bila hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan pasien.

“Dokter hanya boleh memberikan informasi tentang pasien kepada pasien itu sendiri atau orang lain yang diizinkan, seperti pasangan (suami atau istri), orang tua, dan anak untuk mengetahui kondisinya.”

“Setiap temuan pemeriksaan fisik yang didapat oleh dokter akan ditulis, direkam medis, dan dijelaskan hanya kepada pasien. Tidak diumbar-umbar ke orang lain,” kata dr. Devia.

Aturan-aturan yang disebutkan di atas tidak hanya berlaku untuk dokter, melainkan untuk semua perawat atau tenaga kesehatan yang bekerja di bidang atau fasilitas kesehatan.

“Kalau misalnya saat melakukan tindakan ada kesulitan, contohnya dalam pemasangan kateter (selang pada genital untuk membantu keluarnya urine), bisa minta tolong didampingi atau dengan petugas kesehatan lainnya yang mungkin lebih senior atau ahli.”

“Tentunya, tanpa ada maksud untuk melihat genital. Karena, hal ini tidak profesional kalau tujuannya hanya mau lihat genital hingga divideokan atau diviralkan,” tutup dr. Devia.

Ingin tahu info seputar kesehatan menarik lainnya? Yuk, download aplikasi KlikDokter. Anda juga bisa konsultasi lebih mudah dengan dokter lewat Live Chat.

(FR/JKT)

Petugas KesehatanHari K3 Internasional

Konsultasi Dokter Terkait