Covid-19

Puskesmas Harus Menjadi Faskes Dasar Penanganan COVID-19

Novita Asavasthi, 23 Okt 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Mantan Kabid Penanganan Satgas, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp. U (K), yakin puskesmas bisa menjadi faskes dasar untuk penanganan COVID-19, bahkan penyakit lainnya.

Puskesmas Harus Menjadi Faskes Dasar Penanganan COVID-19

Selama ini kita hanya mengandalkan rumah sakit atau pusat perawatan darurat seperti wisma atlet untuk menangani COVID-19. Padahal, puskesmas di tiap kecamatan berpotensi besar menjadi fasilitas dasar dalam mendeteksi dan menangani COVID-19.

Sayangnya, fasilitas kesehatan masyarakat ini sepertinya belum sepenuhnya dioptimalkan untuk membantu menangani COVID-19.

Klikdokter.com berbincang panjang dengan Mantan Kepala Bidang Penanganan Satgas COVID-19, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp. U (K). Ia menaruh perhatian terhadap peran puskesmas di tengah pandemi. Akmal menjabarkan bagaimana faskes dasar ini bisa meringankan beban bangsa akibat pandemi COVID-19.

Tak hanya itu, mantan direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini juga akan menjelaskan, langkah konkret apa bisa dilakukan untuk memperkuat puskesmas. Berikut perbincangannya:

Mengapa Anda ingin memperkuat puskesmas sebagai penanganan dasar COVID-19?

Puskesmas adalah penyedia layanan atau faskes yang punya fungsi komprehensif. Dari mulai pencegahan, deteksi dini, pengobatan, rehabilitasi, dia sebetulnya bisa menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat.

Kedua, puskemas adalah faskes yang paling dekat dengan masyarakat. Karena puskesmas punya kekuatan yang paling penting, yaitu sebagai primary health care atau pelayanan kesehatan primer.

Komponen pelayanan kesehatan primer bukan artian dia mengobati orang per orang. Ada beberapa komponen yang membuat puskesmas bisa bekerja sebagai tulang punggung sistem kesehatan.

Apa saja komponen itu?

Pertama dia memberikan pelayanan kesehatan ke orang yang sakit atau yang minta pencegahan, kemudian dia bergabung secara integrasi dengan public health. Yaitu public health yang mengintervensi masyarakat secara keseluruhan.

Kedua, kita mengharapkan primary health care bekerja lintas sektor. Karena kita tahu sektor kesehatan itu tidak bisa ditentukan sendiri. Karena ada social determinant of health, bahkan dilengkapi lagi sekarang dengan economic and commercial determinant of health.

Artinya apa, kesehatan ditentukan faktor pendidikan masyarakat, barangkali juga sosiologi budaya masyarakat memengaruhi kesehatan suatu daerah.

Ketiga, yang paling penting di situ ada community empowerment atau pemberdayaan masyarakat. Seperti fungsi yang saya sebutkan, itu semua ada di puskesmas. Puskesmas juga didesain untuk bertanggung jawab terhadap suatu wilayah tertentu.

Artikel lainnya: Cegah Stigma, Infeksi Virus Corona Bukan Aib!

Bagaimana kesiapan puskesmas kita dalam menghadapi pandemi?

Kita lihat secara keseluruhan negara dulu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) punya yang namanya International Health Regulation, fungsinya mengatur apa saja yang disiapkan oleh negara saat pandemi.

Belakangan juga sudah kerja sama sama yang namanya GHSA (Global Health Security Agenda). Itu semacam kumpulan negara-negara yang bersedia membuat tools atau parameter untuk mengukur seberapa siap sebuah negara terhadap penyakit.

Ada tiga intinya besarnya. Pertama pencegahan penyakit seperti pandemi atau penyakit menular lainnya. Kedua ada deteksi dini. Ketiga adalah respons termasuk treatment, pencarian vaksin, dan sebagainya.

Dengan cara ini, kita punya scoring system dari 0-100, Indonesia angkanya 60 lah. Walaupun kita nilainya 60, negara-negara lain yang angkanya 80 atau deket 100 pun ternyata waktu pandemi COVID-19 seperti sekarang mereka juga luar biasa susahnya mengatasi.

Liat Inggris atau Amerika yang scoring-nya di atas kita, ternyata jauh lebih jelek dari kita. Yang mau saya katakan, kita memang tidak siap, namun bukan tidak siap sama sekali.

Apa kendala puskesmas dalam menangani COVID-19?

Ada beberapa hal, yang perlu kita perbaiki. Secara makro adalah niat untuk memperkuat puskesmas. Itu adalah keputusan politik. Jadi negara kita harus men-declare betul bahwa kita memang mau memperkuat.

Aspek apa saja yang perlu diperkuat?

Pertama SDM. Menurut saya dokter, perawat, bidannya, kapasitasnya mungkin bisa ditingkatkan. Kita ambil contoh dokter. Dokter itu khusus dari fakultas kedokteran. Nah, hampir semua bidang tempat dokter bekerja setelah lulus biasanya dia menempuh lagi pendidikan yang lain.

Misalnya, mau jadi spesialis, dia harus sekolah dulu, kalau mau jadi peneliti ambil magister atau dokter, kalau mau jadi birokrat pemerintahan ambil sekolah khusus magister public health.

Yang anehnya, saat kita bicara puskesmas, seakan-akan nggak usah, nih (sekolah lagi). Sementara di negara lain, level primary care kaya puskesmas ada sekolahnya untuk menambah kompetensinya, baik klinis atau public health.

Kedua, perawatnya juga. Public health nursing itu nggak terlalu diminati. Jadi, ntar kapasitas kita di puskesmas nggak maksimal. Karena mungkin keputusan politik kita nggak cukup kuat. Akhirnya, orang-orang yang bekerja di puskesmas seakan-akan bukan yang paling bagus. Padahal untuk negara kaya Indonesia, strata kesehatan primer itu cukup penting.

Artikel lainnya: Cegah Virus Corona dengan Susu yang Tepat untuk Anak

Kalau tidak ada primary care yang kuat, apakah bisa berjalan baik?

Bisa aja, tapi dengan catatan keluar biaya yang sangat mahal. Contoh lagi Amerika Serikat, di sana nggak ada puskesmas. Dia liberal aja, mau sekolah apa, jadi dokter boleh.  Sehingga kalo sakit, mereka nggak pake BPJS kaya kita, langsung saja ke spesialis.

Akibatnya apa? Kita jadi perlu spesialis dengan biaya sangat mahal dan nggak mungkin dilakukan di sini, terlebih dengan kemampuan finansial negara kita.

Kita bandingkan AS dengan Kuba. Angka harapan hidup di Kuba lebih bagus sedikit dari Amerika, dengan biaya yang mungkin hanya sepersepuluhnya. Itu karena layanan primer Kuba kuat. Jadi 80-90 persen orang sakit itu betul-betul sudah cukup ditangani sampai primary care aja.

Sekarang angka rujukan kita dari primary care ke atas masih 17 persen, sedangkan mereka (Kuba) sudah 8-9 persen. Ini baru orang sakit, belum cerita pencegahan. Pasti itu akan menghemat banyak biaya lagi.

Contoh lagi, coba sekarang Anda mau pasang ring jantung ke rumah sakit, waktu tunggunya bisa berbulan-bulan. Apa jalan keluarnya harus bikin rumah sakit jantung Harapan Kita 1-2-3 lagi? Nggak gitu jalan keluarnya. Jalan keluarnya mencegah penyakit di hulu, itu yang mesti kita perkuat.

Sekali lagi, ini adalah health atau medical politic, sudah keputusan tinggi. Kenapa? Begitu kita bilang kita mau perkuat puskesmas, kita harus betul-betul melaksanakan. Orang yang kerja di sana harus ditambah kemampuannya, kesejahteraannya, alat-alat ditambah. Kalo nggak, mah, cuma jargon saja bilang mau perkuat puskesmas.

Semahal-mahalnya kita perkuat puskesmas yang jumlahnya ada 10 ribu, itu akan lebih murah biayanya daripada pengobatan di rumah sakit.

Dan yang paling utama dan paling penting adalah political will pemerintah. Karena puskemas nggak bisa kalo nggak dibantu pemerintah. Swasta, mah, bisa survive tanpa dibantu. Tapi kalau puskesmas? Kan, nggak. Puskesmas harus dibantu dulu sampe kuat baru dia bisa survive sendiri.

Artikel lainnya: Menghadapi Virus Corona, Musuh yang Tidak Terlihat Mata

Fasilitas atau peralatan apa yang perlu ada di puskesmas untuk hadapi COVID-19?

Yang paling urgent adalah APD. Kedua, karena kita tracing banyak, kalo bisa ada alat testing swab di puskesmas atau kita bisa kirim sample kalo nggak bisa diperiksa di situ. Kalau jadi kita dapat rapid antigen, itu bakal bagus.

Jadi, di puskesmas kita bisa mengorganisir, bagaimana caranya mengajak masyarakat sama-sama melakukan tracing. Terutama pada orang yang perlu dilacak, kalau dia positif dia kontak erat dengan siapa, begitu.

Apa saja masalah penanganan COVID di lapangan?

Faktor penting lain dalam mengatasi COVID-19 sekarang juga karena adanya stigma, tingkat literasi, atau pengetahuan masyarakat. Kadang kaya sekarang udah beberapa bulan pandemi, banyak yang belum ngerti COVID-19 apa dan apa yang harus dilakukan.

Ini nggak hanya untuk COVID-19, kita lihat untuk menangani penyakit komorbid mungkin sama masalahnya. Komorbid itu, kan, pasien hipertensi, diabetes, sakit jantung, stroke, gangguan napas, kita mesti cari karena mereka orang high risk. Kita mesti lindungi mereka, nggak mungkin itu dicari oleh rumah sakit.

Rumah sakit hanya menunggu orang yang sudah sakit dan datang ke sana. Tapi kita (puskesmas), mesti aktif cari mana yang high risk di wilayah itu. Dalam tanda kutip, orang itu seakan-akan harus kita buat perlindungan khusus jangan sampai kena COVID-19.

Kalau angka tracing harian puskemas berapa sih sekarang?

Waduh, saya nggak dapat angka yang terlalu jelas tentang itu. Barangkali di Jakarta cuma 5 atau 10. Apalagi di daerah-daerah lain, saya kira nggak sampe lebih dari lima.

Kalau cuma lima, artinya yang di tracing cuma orang di rumahnya dia (pasien positif) doang, tuh. Artinya, kita juga nggak melakukan tracing ke tempat lain. Jauh dari angka yang diharapkan dan dianjurkan WHO.

Idealnya, dalam satu daerah ada berapa puskesmas?

Idealnya nggak ada. Kita melihat loading kerjaan di suatu tempat saja. Kalo yang positifnya banyak, pekerjaanya jadi banyak.

Misalnya, kalau WHO minta rata-rata 20-30 tracing,  tiba-tiba satu hari ada 5 pasien positif, artinya harus ada 100 orang kita trace, kan? Kita mesti siap untuk itu, jangan kira itu hanya bisa dilakukan oleh nakes. Buat settingan di Indonesia ini, saya kira kader kesehatan mesti sangat diberdayakan.

Apa kita perlu volunteer dari luar?

Perlu, perlu banget. Thailand sangat berhasil, sampai sekarang case positifnya nggak sampai 4 ribu dan meninggalnya ngga sampe 60 orang.

Kenapa? Pertama karena puskesmasnya, community health center atau basic health services nya kuat. Kedua, dia bilang punya satu juta volunteer dengan 70 juta penduduk. Dengan cara itu mereka bisa (nggak parah COVID-19-nya). Jadi selain puskesmasnya kuat, komunitasnya juga diberdayakan.

Artikel Lainnya: Virus Corona Bisa Dibunuh Dengan Herbal, Mitos atau Fakta?

Jadi, Anda berharapnya puskesmas Indonesia ke depan seperti apa?

Menurut saya sekarang sub timing-nya tepat, betul-betul kita harus perkuat puskesmas sebagai garda yang paling dekat dengan masyarakat dan untuk melakukan persiapan. Karena kita nggak tahu habis ini ada virus atau pandemi apa lagi.

Mestinya kita lihat dari situ. Kenapa? Kalo kita liat dari flu burung sampai sekarang, seakan-akan kaya nggak ada sisanya. Persiapannya dulu untuk wabah flu burung sedikit.

Kalau kita lihat Hong Kong, waktu kena SARS mereka suffered banget dan mereka belajar. Jadi begitu datang (pandemi COVID-19,) mereka sudah mempertahankan sistem itu dengan bagaimana mencegah, mendeteksi, dan merespons. Mereka siap.

Kalau Indonesia bagaimana?

Lihat aja laboratorium kesehatan masyarakatnya, kita setengah mati (kebingungan) waktu mula-mula pandemi, kan? Karena sedikit sekali lab kita yang bisa memeriksa COVID-19-19, PCR, dan sebagainya.

Tapi kalau negara lain, waktu dulu abis kena flu burung misalnya, mereka maintenance, pertahankan perawatan dan pelayanannya. Sehingga ketika ada kejadian lagi, mereka nggak ada fase kaya kita yang harus memperbanyak jumlah lab dulu dan sebagainya.

Jadi, lab-nya harus kita persiapkan, kemudian prevention-nya di level health primary care seperti puskesmas harus disiapkan. Habis itu kita harus pertahankan terus.

Lalu, apa alasan bapak keluar dari satgas?

Intinya karena memang ada perbedaan ajalah. Di satu organisasi, kan, ada perbedaan prioritas strategi yang diputuskan.

Saya pikir waktu itu strategi trace and testing itu tidak terlalu banyak perhatian, padahal kan udah cukup lama, ya, (COVID-19) sudah beberapa bulan? Saya sangat yakin ini yang mesti dikuatkan. Lalu, cara yang bisa dilakukan adalah dengan menguatkan puskesmas.

Ya, karena ada perbedaan di situ, saya coba kerjakan sendiri saja apa yang saya yakini.

Ada alasan lain kenapa puskesmas harus jadi dasar kesehatan masyarakat?

Dengan menguatkan puskesmas, kita juga bisa menguatkan basic health service yang lain. Sekarang katanya nggak sampai 70 persen posyandu di Indonesia jalan. Gimana nanti dengan stunting, gizi buruk, dan penyakit menular lainnya yang memang high risk buat COVID-19.

Kalo kita jalan cuma langsung dari Dinkes kecamatan bikin tim-tim buat tracing tanpa memperkuat puskesmas di kecamatan itu nggak bisa. Karena semua proses posyandu posbindu itu terjadinya, kan, di level desa atau  berada di bawah kecamatan.

Makanya, kalo puskesmas di bawah kecamatan atau puskesmas pembantu diperkuat, kita bukan hanya menyelesaikan COVID-19, tapi juga menyiapkan dan memberikan lagi pelayanan dasar.

Setelah mundur dari Satgas, apa rencana bapak untuk menangani COVID-19?

Sebelum di satgas, saya dan beberapa teman udah punya beberapa puskesmas pilotnya untuk kita lihat. Saya juga terlibat di LSM membantu sebagai advisor, sama-sama bikin programnya di sana.

Kita akan kembali ke sana lagi dan akan memperbanyak jumlah puskesmas untuk kita intervensi. Selain itu, kita membantu dengan proses-proses seperti ikut webinar gitu-gitu kita bantu, kalo perlu narsum dan sebagainya.

Tapi setidaknya ada hal nyata yang saya lakukan, yaitu memperbanyak puskemas. Menurut saya puskemas bisa dibantu dari luar, seperti bantuan donor, atau apa, untuk coba melihat semacam piloting (project) saja.

Habis itu kita share experiences ke pemerintah daerah untuk mengikuti cara-cara seperti itu.

(JKT)

virus coronaWawancara Khusus

Konsultasi Dokter Terkait