HomeInfo SehatCovid-19Jangan Hanya Andalkan Faskes untuk Atasi COVID-19
Covid-19

Jangan Hanya Andalkan Faskes untuk Atasi COVID-19

Novita Asavasthi, 09 Okt 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Simak perbincangan mengenai penyebab faskes yang hampir kolaps bersama Direktur WHO Asia Tenggara!

Jangan Hanya Andalkan Faskes untuk Atasi COVID-19

Pandemi virus corona baru menjadi ujian besar bagi fasilitas kesehatan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menipisnya jumlah ketersediaan kamar membuat situasi kian genting.

Di Jakarta, misalnya, tingkat keterisian rumah sakit yang mendekati ambang batas membuat Pemprov DKI harus menarik “rem darurat.” Ancaman ambruknya fasilitas kesehatan tidak hanya mengacu pada ketersediaan kamar.

Variabel jumlah tenaga kesehatan, seperti dokter dan perawat, yang tersedia juga tak kalah penting. Prof. Dr. dr. Tjandra Aditama, Sp.p (K), MARS, Direktur World Health Organization (WHO) untuk Asia Tenggara, mengingatkan kemungkinan berkurangnya ketersediaan nakes karena tertular penyakit. 

“Nakes punya beban kerja yang berat, plus ada banyak virus di sekitarnya. Tentu kemungkinan ikut sakit jadi cukup besar,” katanya.

Strategi penanganan pandemi, menurutnya, harus melibatkan elemen yang lebih luas. Bagaimana caranya? Berikut perbincangan Prof. Tjandra dengan KlikDokter beberapa waktu lalu.

Bagaimana virus corona membuat faskes di berbagai negara kewalahan?

Penyakit COVID-19 baru delapan bulan. Karena baru sebentar, tentu saja ahli atau petugas kesehatan belum menguasai dan mengetahui betul penyakit ini.

Bagaimana perkembangannya, bagaimana nantinya, belum tahu pasti. Itu faktor pertama kenapa orang kebingungan.

Kedua, bukan saja karena penyakitnya mudah menular. Orang bepergian ke sana ke mari, jadi penyakit ini mudah pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Karena itulah dunia membuat apa yang disebut International Health Regulation (IHR) 2005 yang ditandatangani semua negara, termasuk Indonesia. Gunanya untuk menjaga kalau ada penyakit seperti ini bisa dikendalikan sebisa mungkin agar tidak menyebar antar negara.

Ketiga, karena ini penyakit baru dan belum ada obat atau vaksinnya, jadi jumlah kasus terus meningkat dari waktu ke waktu. Lalu, jadilah seperti sekarang.

Artikel lainnya: Klikdokter Buka Layanan Home Care Test Virus Corona

Apa yang harus dilakukan untuk mencegah faskes kolaps karena kelebihan kapasitas?

Bagaimana faskes bisa dikatakan kolaps?

Ada tiga faktor yang perlu diketahui, pertama mencegah orang jangan sakit. Ketika mau mencegah yang paling relatif nyata, ya, dikasih vaksin.

Tidak ada penyakit dalam waktu 1-2 tahun ditemukan vaksin. Kira-kira 5, 10, atau 15 tahun kemudian baru ketemu.

Kedua, yang sakit mesti ditemukan biar dia tidak menulari ke sana ke mari. Cuma, mengisolasi orang nggak mudah. Apalagi COVID-19 di Indonesia ada yang disebut sebagai OTG (orang tanpa gejala), lebih sulit lagi menemukannya.

Ketiga, mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Kalau cuci tangan harusnya bisa, karena dari dulu selalu dianjurkan sebelum makan. Namun, belum jadi kebudayaan yang cukup kuat.

Menjaga jarak, mungkin bisa tapi butuh waktu. Karena sekarang manusia dalam sekian bulan dipaksa untuk tidak berkumpul. Jadi, bukan hal yang mudah untuk memaksa menjaga jarak. Kemudian memakai masker, ini susah-susah gampang.

Sepertinya ada kesulitan untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi...

Untuk mendeteksi pasien tidak mudah. Karena biasanya orang sakit, kan, dimulai dengan gejala. Kalau gejalanya batuk sesak, penyakitnya bisa macam-macam, bisa saja flu atau penyakit lain.

Maka itu butuh tes. Tes yang dianjurkan WHO hanya polymerase chain reaction (PCR). Tes yang lain seperti rapid antibodi dan rapid antigen masih banyak kelemahannya.

Tes PCR tidak mudah. Butuh laboratorium, alat, reagen, dan hazmat, sehingga tidak mudah memastikan sakit atau tidak sakit.

Itulah banyak faktor yang membuat faskes kebanjiran pasien dan jadi kewalahan.

Di satu sisi, kadang orang bilang “Kalau mau aman, orang yang nggak ada gejala masukin aja rumah sakit.”

Apakah isolasi pasien OTG di rumah sakit langkah ideal mengingat tingkat kepatuhan isolasi mandiri?

Kalau dimasukkan semua, rumah sakit jadi penuh, mereka yang butuh malah nggak dapat tempat. Harus ada balance, mana yang harus masuk dan yang tidak.

Ada contoh lagi waktu ebola di Afrika. Faskes di sana sudah tidak kuat pada dasarnya, begitu ditimpa ebola jadi kolaps. Sekarang begitu besarnya masalah (pandemi), negara-negara yang faskesnya kuat pun kewalahan.

Karena begitu banyak faktor yang berperan sehingga kewalahan. Ini sama dengan bentuk definisi: Kalau yang dilayani lebih besar dari kemampuan melayani, ya, dia tidak akan kuat.

Artikel lainnya: Bingung, WHO Klarifikasi soal Infeksi Virus Corona Tanpa Gejala!

Apa yang terjadi bila faskes kolaps, bagaimana nasib pasiennya?

Ketika ada wabah, menanggulanginya bukan semata-mata bertumpu di faskes. Kalau berpikir pandemi hanya ditangani faskes, maka persoalan tidak akan selesai.

Penanganan harus ditangani dari pencegahan dulu. Kalau pencegahan dan pendidikan masyarakatnya baik, kemungkinan orang sakit jadi berkurang. Ketika yang sakit berkurang, maka pasien yang ke faskes pun berkurang.

Banyak negara yang pertama kali terkena virus corona, lalu bisa menangani. Mereka menanganinya bukan hanya di ujung atau rumah sakitnya, tapi dari hulunya atau masyarakatnya.

Menurut Prof. Tjandra, seimbangkah jumlah faskes di dunia untuk mengatasi kasus atau pasien COVID-19?

Tidak bisa dibilang seimbang atau tidak, karena jumlah kasus tidak harus dihubungkan dengan faskes. Jumlah kasus harus dihubungkan dengan program pengendalian penyakit secara menyeluruh.

Kalau pengendalian penyakit ini bisa dilakukan baik, jumlah kasusnya bisa ditekan. Balik lagi, faskesnya bisa menangani lebih baik.

Kenapa banyak nakes yang meninggal saat menghadapi corona?

Orang sakit itu sebabnya karena penyakitnya menular. Ada tiga faktor, yaitu orangnya, virus, dan lingkungan. Bahasa kedokterannya, host, agent, dan environment.

Kalau tidak ada keseimbangan, agent-nya banyak, host-nya nggak kuat, environment juga buruk, kemungkinan sakit makin besar. Itu prinsip dasarnya.

Sekarang ada penyakit mudah menular, makin banyak kontak dengan virus, tentu makin besar risiko sakitnya. Makanya, kenapa orang disuruh cuci tangan dan pakai masker, ya, untuk mengurangi kontak dengan virus.

Di sisi lain nakes punya beban kerja yang berat, plus ada banyak virus di sekitarnya. Tentu kemungkinan ikut sakit jadi cukup besar.

Artikel lainnya: Virus Corona Bisa Dibunuh Dengan Herbal, Mitos atau Fakta?

Menurut perkiraan WHO, kapan virus corona akan berakhir?

Tidak ada yang bisa memprediksi kapan berakhir. Namun, ada beberapa hal perlu diketahui. Pertama, kapan COVID-19 berakhir akan bergantung pada dunia, negara, dan daerah yang mengendalikannya.

Tidak ada satu badan yang bisa mengatur dunia untuk mengendalikan. WHO hanya bisa memberikan anjuran, cara penghentian, dan lainnya.

Pelaksanaannya tergantung negara, daerah, dan kabupaten masing-masing. Itu upaya yang bisa memengaruhi.

Kedua, bagaimana virus ini berkembang? Apakah mutasinya semakin kuat, apa makin lemah? Ini masih delapan bulan usia penyakitnya, kita belum tahu.

Ketiga, ada perkembangan epidemiologis yang kurvanya naik-turun. Kita tidak tahu benar pada negara yang belum atau sudah pernah terkena. Apa ada second wave, big wave, atau tidak?

Negara mana yang berhasil mengendalikan COVID-19  dan bisa menjadi rujukan?

Dari pengalaman sekarang, sudah cukup banyak negara yang dapat mengendalikan. Di mana awal kasusnya banyak kemudian turun, seperti di dekat kita ada Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Faktor selanjutnya, apakah obat dan vaksin bisa ditemukan atau tidak. Jika bisa, maka vaksin dan obat jadi salah satu variabel yang kemungkinan bisa mengatakan kapan pandemi akan berhenti.

Kapan vaksin tersedia dan bisa digunakan masyarakat?

Tidak ada vaksin penyakit yang ditemukan dalam waktu beberapa bulan. Vaksin akan ketemu sekian atau puluhan tahun lagi.

Tetapi, dengan perkembangan teknologi sekarang, orang akan menggunakan segala ilmu pengetahuan untuk membuat vaksin. Tapi, vaksin tidak mudah dibuat.

Jadi, yang ada di Indonesia atau kemarin ribut di London itu namanya uji klinis. Uji klinis yang lanjut memang fase tiga.

Tapi yang namanya ujian, ya, ada yang lulus dan nggak. Bisa bagus dan ada yang nggak. Lalu, apakah vaksinnya baik banget atau agak kurang, apakah bisa memberikan kekebalan terus-terusan, atau hanya enam bulan, kita belum tau.

Sekarang semua perusahaan mencoba menyelesaikan pembuatan vaksin dalam waktu sekian bulan. Paling tidak awal 2021 atau pertengahan, itu sah-sah saja.

Saya nggak bilang vaksin keluar dalam beberapa bulan. Hanya, semua uji akan keluar dalam beberapa bulan dan kita akan tahu hasilnya gimana.

Artikel lainnya: Kenali Pentingnya Karantina dalam Mencegah Penyebaran Virus Corona

Sembari menunggu vaksin, apa yang dapat dilakukan Indonesia agar pandemi berakhir?

Pertama, kita tahu ada tiga hal, trace, test, dan treat. Kalau sudah dilakukan maksimal, penyakit ini bisa dikendalikan. Kalau kita lihat banyak negara yang jumlah pasiennya sedikit, karena mereka lakukan 3T itu.

Tentunya juga dengan mencegah dan membuat yang sakit tidak menularkan ke yang lain. Semua cara bisa dipakai, seperti PSBB, lockdown, atau lainnya.

Kedua, kalau tidak bisa mencegah, semua orang yang kemungkinan sakit harus ditemukan dan dites. Karena penyakitnya mudah menular, maka yang kontak dengan yang sakit juga harus dicari. Itu yang utama.

Itu semua bukan hal yang mudah, aspek ekonomi tidak bisa dipisahkan juga. Jadi, memang harus ada keseimbangan bagaimana menanggulangi kesehatan dan ekonomi.

Walaupun ini karena wabah penyakit, menurut saya faktor kesehatan yang utama dan diprioritaskan agar semua bisa dikendalikan.

Apa saran WHO agar faskes di seluruh dunia bisa siap bila menghadapi pandemi lain di masa mendatang?

Masalah kesehatan tidak bisa ditangani faskes semata. Ini harus ditangani oleh masyarakat, penyuluhan kesehatan, pola hidup, dan pencegahan. Bukan hanya faskes saja yang harus menanganinya, itu yang utama.

Kedua, walaupun kita menangani COVID-19 secara maksimal, tapi yang namanya essential health service atau pelayanan kesehatan dasar harus tetap jalan. Ini anjuran WHO yang sangat penting saat ini.

Kenapa penting? Karena semua penyakit tetap ada, jadi tidak bisa didiamkan saja. Kalau kita tidak waspada, penyakit lain bisa terlantar dan akhirnya itu yang harus dihadapi.

Bukan hanya penyakit, misalnya imunisasi atau vaksinasi. Kalau tidak jalan, sakitnya nggak sekarang, tapi nanti. Anak akan dapat penyakit akibat tidak diimunisasi dan bisa sangat besar masalahnya. Faskesnya nanti juga akan kewalahan.

Misalnya, orang harus periksa gula darah atau kontrol rutin ke RS. Sekarang gara-gara takut kontrol, dia nggak datang. Maka, penyakitnya jadi tidak terkendali, gula darah tak terkendali, kankernya tidak dikontrol, bisa makin besar.

Baik penyakit menular maupun tidak menular, bisa jadi masalah besar kalau tidak ditangani.

Jadi, salah satu anjuran WHO selain memberikan prioritas COVID-19, tolong essential health services-nya dijaga dengan baik. Kalau tentang COVID-19 semua sama, kuncinya pencegahan kemudian trace, test, and treat.

(FR/JKT)

virus coronaWawancara Khusus

Konsultasi Dokter Terkait