Menu
KlikDokter
Icon Search
Icon LocationTambah Lokasi KamuIcon Arrow
HomeInfo SehatCovid-19Kita Belum Bisa Menekan Laju Penyebaran Virus Corona
Covid-19

Kita Belum Bisa Menekan Laju Penyebaran Virus Corona

HOTNIDA NOVITA SARY, 02 Okt 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Kolapsnya fasilitas kesehatan jadi keniscayaan jika pandemi tak juga bisa diatasi. Simak perbincangan KlikDokter dengan Ketua Terpilih IDI di sini!

Kita Belum Bisa Menekan Laju Penyebaran Virus Corona

Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menghadapi kenyataan bahwa pandemi virus corona tidak juga melambat pertumbuhannya di Indonesia. Jumlah penderita terus meningkat, angka kematian juga semakin bertambah, sementara masyarakat masih saja melanggar protokol.

Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Periode 2021 - 2024 dr Muhammad Adib Khumaidi, Sp. OT, mengatakan Indonesia memang belum bisa menekan laju pertumbuhan COVID-19. Hal ini akan berdampak pada kewalahannya fasilitas kesehatan menghadapi pertambahan pasien yang drastis.

Jika demikian, maka akan terjadi functional collapse yang gejalanya sudah terlihat di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya adalah bed occupancy rate yang tinggi. Gejala lainnya adalah kematian para dokter yang berujung berkurangnya tenaga medis untuk melayani masyarakat.

Berikut adalah perbincangan Klikdokter dengan dr. Adib beberapa waktu lalu yang layak disimak.

Bagaimana Anda Memandang Situasi Pandemi Saat Ini Ketika Jumlah Penderita Masih Terus Bertambah dan Meluas?

Kalau kita melihat kondisi yang terjadi saat ini, indikator-indikator keberhasilan strategi penanganan, tentunya terlihat pertama dari rate of transmission-nya (RT).

Pada bidang epidemologi ada yang namanya R0 RT. Umpamanya RT-nya itu kurang dari satu, maka risiko satu orang menularkan itu jadi rendah. Namun, kalau rate of transmission-nya naik, ada risiko satu orang menularkan minimal satu orang, bahkan bisa lebih.

Kemudian, ditunjang lagi dengan positivity rate yang kecenderungannya naik, terutama pada daerah-daerah tertentu. Kalau angka positive rate-nya naik, kita bisa mengatakan transmisi atau penyebaran virus ini semakin besar terjadi.

Artinya apa? Kita belum bisa menekan angka laju penyebaran virus.

Itu sebuah problem. Kita sekarang bicara problem-nya di hulu. Dengan pola kehidupan dari masyarakat saat ini, memang itu wajar.

Wajar karena masyarakat banyak yang belum mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat masih banyak yang berkumpul, kita bisa melihat banyak yang abai, bahkan masih ada yang menganggap virus corona ini bukan sesuatu yang nyata, atau konspirasi.

Hal ini menyebabkan angka transmisi tinggi, angka positive rate-nya tinggi, angka kesakitan naik.

Itu bisa terlihat dari bed occupancy rate (BOR) dalam suatu wilayah. Umpamanya, Bali itu (BOR-nya) 98 persen artinya sudah full. Bisa dikatakan di Bali tidak ada tempat lagi untuk perawatan COVID, apakah itu ICU atau isolasi.

Ada beberapa wilayah lima besar yang occupancy rate-nya sudah di atas 60 persen: DKI, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, dan kalau tidak salah Kalimantan Timur. Potensi risiko overload capacity akan terjadi pada beberapa wilayah ini.

Overload capacity berarti penambahan beban kerja bagi faskes dan tenaga medis. Kita akan dihadapkan pada kondisi yang akan lebih crowded lagi.

Artikel Lainnya: Menghadapi Virus Corona, Musuh yang Tidak Terlihat Mata

Apakah Hal Ini Bisa Jadi pertanda Ambang Kolapsnya Fasilitas Kesehatan, Dok?

Betul, jadi kalau dikatakan kolaps, mau tidak mau itu kondisi yang terjadi. Jadi, ada yang namanya functional collapse, artinya apa?

Functional dari sisi pelayanan, artinya dengan kondisi saat ini. Kemudian dari sisi  SDM (sumber daya manusia), ketersediaan dan kemampuan SDM.

Selain masalah kuantitas jumlah (SDM), kita juga harus melihat secara kualitas. Kualitas itu seperti apa? Kualitas secara fisik, stamina, dan mental (dari nakes).

Kemarin ada penelitian dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia mengatakan 83 persen nakes sudah burnout dan kelelahan. Satu sisi kita dihadapkan pada kondisi jumlah angka kesakitan yang tinggi.

Tapi di sisi lain, SDM kita saat ini dalam kondisi seperti itu. Kondisinya sudah mengarah ke functional collapse dari sudut pandang SDM.

Bisa juga dikatakan sudah ada functional collapse di beberapa wilayah, terutama DKI, Bali, dan mungkin di beberapa wilayah yang lain. Ini perlu upaya antisipasi untuk membuat strategi penanganan COVID-19 yang lebih baik lagi.

Risiko yang akan terjadi tentunya bukan hanya kepada pasien. Namun, juga kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan, meningkatkan risikonya untuk terpapar.

Artikel Lainnya: Perhatikan, Ini 5 Gejala Virus Corona yang Tidak Biasa

Sudah Lebih dari 100 Dokter Meninggal Dunia karena COVID-19 di Indonesia, Dok. Apa Artinya Ini Bagi Upaya Negara Menangani Pandemi?

Dokter, apalagi dokter spesialis, adalah investasi yang cukup mahal bagi negara, bagi masyarakat Indonesia.

Untuk menangani corona ada spesifik kompetensi khusus yang memang dibutuhkan. Dokter spesialis paru  ada sekitar 1.200-an di Indonesia, penyakit dalam totalnya ada 4.000-an, kemudian dokter spesialis anestesi sekitar 2.000-an.

Mereka jumlahnya sangat terbatas, apalagi spesialis paru penyakit dalam. Kalau kehilangan satu orang saja, kita bisa bayangkan ada satu kelompok masyarakat yang akhirnya berkurang pelayanannya.

Contoh yang meninggal adalah dokter senior bedah saraf dari Kediri. Dia satu-satunya dokter bedah saraf di Kediri. Sehingga ketika beliau tidak ada, berarti pelayanan bedah saraf di Kediri jadi berkurang.

WHO mengatakan satu dokter bisa melayani 2.500 penduduk. Di Indonesia, bisa dikatakan total ada 185 ribu dokter dengan jumlah penduduk 267 juta.

Paling tidak, satu dokter itu melayani sekitar 1.500 orang. Sehingga kalau kehilangan 100 dokter, kita kalikan saja.

Jumlah 185 ribu itu tidak terdistribusi di semua wilayah Indonesia. Ada wilayah-wilayah yang memang dalam jumlah yang banyak, ada juga yang kurang.

Kita bisa bayangkan, kalau dokter-dokter itu di satu wilayah yang jumlah SDM-nya terbatas dan bahkan dia satu-satunya yang bekerja di daerah itu, ini sebuah kerugian besar bagi bangsa dan rakyat indonesia.

Artikel Lainnya: Mungkinkah Ada Orang yang Kebal Virus Corona? Ini Faktanya!

Apa Strategi IDI untuk Mengatasi Kurangnya Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi Ini?

Kami di Ikatan Dokter Indonesia berkoordinasi dengan kolegium, ada pelatihan untuk memberikan kewenangan tambahan kepada dokter umum atau dokter spesialis supaya membantu melakukan pelayanan.

Namun, itu hanya basic, bukan advance. Karena kalau advance lebih ke arah spesialis terkait.

Itu pun perlu jadi perhatian, karena dokter ada risiko terpapar dan konsekuensinya harus diisolasi mandiri. Kalau dokternya diisolasi mandiri, dia akan memberikan beban kerja ke dokter yang lain.

Perlu strategi khusus soal mapping kemampuan SDM, kemampuan fasilitas, kompetensi, dan juga pendelegasian atau penambahan kewenangan kepada rekan sejawat dokter untuk bisa bersama-sama kita hitung.

Kita perlu membuat perspektif ke depan. Kira-kira melihat eskalasi pasien, berapa jumlah dokter yang dibutuhkan ke depan. Strateginya juga harus disiapkan substitusi, volunteer juga harus kita buka untuk membantu jumlah SDM yang kurang.

Satu sisi kita dihadapkan dengan kebutuhan, sisi yang lain yang harus diperhatikan adalah memberikan perlindungan bagi tenaga medis. Supaya jangan sampai ada yang tumbang, sakit, atau meninggal.

Karena kita masih belum selesai, peperangan ini masih panjang. Jadi kita mesti benar-benar menjaga stamina, fisik, dan mental para tenaga medis.

Ini jadi PR buat kita, harus ada upaya komprehensif dalam membuat strategi penanganan pandemi dari sudut pandang ketersediaan SDM.

Artikel Lainnya: Mau Mulai Beraktivitas? Ini Level Risiko Terinfeksi Virus Corona!

Apa Harapan IDI Terhadap Pemerintah Terkait Penanganan Pandemi COVID-19?

Tentunya kita paham kondisi saat ini yang jadi beban pemerintah yakni problem sosial dan ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, kita tahu bahwa problematika pemerintah saat pandemi ini adalah problematika kesehatan.

Konsep yang selalu kita sampaikan adalah health support wealth. Kesehatan yang men-support kemakmuran, bukan kemakmuran atau ekonomi yang kita tonjolkan. Kesehatan tetap harus jadi “panglima” dalam strategi penanganan COVID.

Tapi yang paling penting, dan ini yang paling prioritas, adalah bagaimana kita meningkatkan upaya-upaya preventif dan peran serta masyarakat paling depan.

Artikel Lainnya: Tak Hanya Paru, Virus Corona Bisa Rusak Jantung, Hati, dan Ginjal!

Apa Pesan IDI kepada Masyarakat pada Masa Pandemi Sekarang Ini?

Kami selalu sampaikan garda terdepan itu adalah masyarakat, bukan dokternya.

Kalau garda terdepannya masyarakat, masyarakat bisa melakukan kontrol sosial, bersama-sama mengingatkan untuk mematuhi protokol yang sudah ditetapkan.

Ini bisa menjadi upaya untuk menurunkan eskalasi pasien, angka kesakitan, dan angka positivity rate-nya juga.

Saat ini, yang kita perlukan adalah upaya bersama, gotong royong di antara semua pihak. Karena persoalan pandemi COVID-19 tidak akan bisa selesai kalau hanya diserahkan kepada pemerintah atau ke tenaga kesehatan saja.

Kalau kita bisa menjaga diri kita, dan setiap orang punya konsep yang sama, kita akan bisa menjaga keluarga dan masyarakat agar tidak terkena COVID-19.

Jadi semangat bersama ini yang juga penting untuk kami sampaikan kepada masyarakat. Kami mohon juga kelompok-kelompok sosial masyarakat untuk lebih diaktifkan. RT, RW, kampung, siaga COVID-19.

Kondisi yang saat ini kita butuhkan adalah masyarakat mengingatkan masyarakat yang lain. Tidak semata-mata semuanya dibebankan kepada pemerintah atau kepada tenaga kesehatan saja.

(AYU/ARM)

virus coronaWawancara Khusus

Konsultasi Dokter Terkait