Covid-19

Duka Dokter RS COVID-19: Dicaci Maki hingga Tertular Corona

Ayu Maharani, 28 Sep 2020

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Pasien COVID-19 terus membludak tanpa henti. Para dokter di RS rujukan mesti kerja keras, menepis lelah fisik dan mental yang mendera.

Duka Dokter RS COVID-19: Dicaci Maki hingga Tertular Corona

Perasaan dr. Ari (bukan nama sebenarnya) sebenarnya sudah tidak enak. Pasalnya, saat itu ia dapat alat pelindung diri (APD) yang kurang baik.

Wajahnya tak sepenuhnya terlindungi, bagian pipinya masih terpapar. Tapi, mau tidak mau ia mesti turun juga menangani pasien di ruang IGD.

Kebetulan saat itu Ari mendapat pasien COVID-19 yang membandel, selalu membuka masker dan selang oksigen.Tindakannya membuat kadar oksigennya terus turun. Jika sudah begini, dokter mesti turun tangan. Lantas, peristiwa nahas itu terjadi.

"Pas saya mau benerin selang oksigen, bapaknya itu bangun dan menoleh ke saya sambil batuk. Embusan udaranya terasa banget di pipi," kata Ari kepada Klikdokter beberapa waktu lalu. "Begitu swab, besoknya positif."

Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus lalu. Ari menyadari, tertular corona memang risiko bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19 di Jakarta itu. Tapi syukurlah, Ari mengalami COVID-19 tanpa gejala sehingga ia hanya jalani isolasi mandiri.

Begitu isolasi selesai dan dinyatakan negatif, Ari harus kembali berjibaku dengan para pasien COVID-19. Siklus kerja-tertular-isolasi-kerja diungkapkan Ari banyak dialami para dokter dan perawat di RS tersebut. Ini memang risiko yang harus mereka hadapi.

Tapi, terpapar corona bukan satu-satunya masalah para dokter rumah sakit rujukan COVID-19. Sudah lelah bekerja, mereka juga harus jadi sasaran amukan keluarga pasien corona. Ari pernah mengalaminya, dicaci maki keluarga pasien meninggal.

"Kadang ada orang yang sudah mengalami perburukan lalu meninggal. Kita mau jelaskan ke keluarganya, tapi mereka tidak percaya. Kami dicaci maki, dibilang penipu," kata Ari.

Berbagai peristiwa itu membuat para tenaga kesehatan lelah fisik dan mental. Kesibukan mereka juga seakan tiada henti.

Pasien terus mengalir ke ruang IGD dan ICU di rumah sakit tempatnya bertugas. Kondisi ini kadang tak didukung juga oleh fasilitas yang mumpuni, misalnya jumlah alat untuk membantu pernapasan kurang.

Sebelum pandemi, Ari mengatakan biasanya ia akan langsung memakaikan oksigen dan alat bantu napas untuk pasien yang sesak. Tapi sekarang, ia mesti berhemat dan pilih-pilih mana pasien yang benar-benar butuh alat tersebut.

"Sekarang harus mempertimbangkan dengan baik, karena sekarang tidak hanya satu atau dua pasien. Jadi harus benar-benar memastikan dulu mana yang perburukannya lebih cepat, baru tindak lanjut," tutur Ari.

Artikel Lainnya: Lawan Corona, Ini Rekomendasi Disinfektan yang Efektif dari WHO

Sejak kasus pertama tercatat di Indonesia pada Maret lalu, saat ini corona telah menjangkiti 275.213 orang. Sebanyak 10.386 orang meninggal dunia akibat COVID-19 saat tulisan ini dibuat (28/9).

Di seluruh dunia, jumlah kasus COVID-19 telah tercatat sebanyak 32.992.223, menewaskan 900.000 lebih manusia.

Virus corona menyerang saluran pernapasan. Mereka yang imunitasnya rendah, kondisinya bisa memburuk dengan sangat cepat.

Hal ini disaksikan sendiri oleh dr. Linda (bukan nama sebenarnya) yang bertugas di RS rujukan COVID-19 daerah Jakarta.

Kepada Klikdokter, Linda mengatakan pasien corona pertama di rumah sakitnya adalah seorang pria berusia 30-an, masih muda, dan tanpa penyakit penyerta. Awal perawatan, responsnya sangat baik walau harus pakai tabung oksigen.

Linda mengira pria itu akan baik-baik saja dan pulang dengan selamat. Namun, dalam waktu hanya sehari, kondisinya berubah drastis.

"Setelah saya bertemu dia lagi, kondisinya sudah koma, dengan perubahan kondisi paru yang signifikan," kata Linda.

"Sampai saat dinyatakan dia meninggal, saya nggak sampai hati. Karena dia masih muda, dan saya pikir dia akan pulang dengan kondisi sehat," lanjut Linda. 

Artikel Lainnya: Para Pekerja Wajib Tahu, Ini Cara Virus Corona Menyebar di Perkantoran!

Kondisi ini menyadarkan Linda, virus corona tidak bisa dianggap enteng. Sifatnya bisa terus berubah, penelitian soal COVID-19 masih banyak pembaruan, sementara vaksin belum juga ditemukan.

Sampai pengobatannya ditemukan, para dokter dan tenaga medis lainnya mesti siap sedia. Tapi, fasilitas kesehatan akan tiba di titik kolapsnya bila jumlah pasien terus membludak. Linda bertutur, masyarakat juga punya andil untuk membantu mengatasi corona.

"Kalau cuma mengandalkan satu sisi (faskes), negara mana pun tidak akan bisa, harus dari berbagai aspek," kata Linda.

"Dari masyarakat, pemerintah, tenaga medis, faskesnya, semua harus bekerja sama. Kita berjuang bersama, saya rasa akan lebih mudah dan kuat," lanjutnya.

Dari sisi masyarakat, warga mesti patuh protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Di antaranya mencegah penularan dengan memakai masker, tidak berkerumun, dan batasi kegiatan di luar rumah.

Dokter Ari juga mengatakan kalau kampanye anti COVID-19 seakan tak lelah dibagikan. Tetap saja ada masyarakat yang membandel. Orang-orang seperti itu bisa jadi bencana bagi orang lain.

"Bagi yang daya tahan tubuhnya oke, mungkin bukan masalah buat kalian. Tapi kalian bisa jadi perantara malapetaka buat orang lain yang daya tahan tubuhnya rendah. Ceritanya bisa berbeda buat orang tersebut," kata Ari.

Kesadaran harus dimulai dari diri sendiri. Jangan sampai sesal di kemudian hari.

"Sangat disayangkan bila orang sudah di rumah sakit, keluarga tidak bisa menemani. Meninggal pun sampai tidak bisa diantar ke peristirahatan terakhir. Jangan sampai mengalami dulu di diri sendiri baru paham. Penyakit jangan dicari, kesehatan itu mahal," pungkas Ari.

(FR/AYU)

Featurevirus corona

Konsultasi Dokter Terkait