Menu
KlikDokter
Icon Search
Icon LocationTambah Lokasi KamuIcon Arrow
HomePsikologiRelationshipInilah Alasan Pasangan Ingin Hidup Mandiri Setelah Menikah
Relationship

Inilah Alasan Pasangan Ingin Hidup Mandiri Setelah Menikah

dr. Reza Fahlevi, 21 Feb 2020

Ditinjau oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Pangeran Harry dan Meghan Markle memilih hidup mandiri. Berkaca pada keluarga istana ini, apa ya yang membuat pasangan baru ingin lepas dari keluarga?

Inilah Alasan Pasangan Ingin Hidup Mandiri Setelah Menikah

Belum lama ini, dunia dikejutkan oleh keputusan Pangeran Harry dan istrinya, Meghan Markle yang memutuskan keluar dari keluarga kerajaan Inggris. Banyak yang bertanya-tanya, apa alasan keduanya memilih hidup mandiri setelah menikah?

Padahal, rasanya semua orang menginginkan kehidupan seperti mereka. Tinggal di istana dan dilayani, serta menikmati hidup yang mewah.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada Pangeran Harry dan Meghan. Banyak juga pasangan di masyarakat kita yang ingin keluar dari pengaruh keluarga besar dan hidup mandiri setelah menikah. Mengapa demikian?

Faktor Penyebab Pasangan Ingin Lepas dari Pengaruh Keluarga

Fenomena keluarnya pasangan dari keluarga besar secara ekstrem memang jarang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, yang lebih sering terjadi adalah dalam bentuk lebih ringan, seperti menjauh dari keluarga dan mengurangi komunikasi.

Pada beberapa kasus, memang ada juga pasangan yang akhirnya memutus komunikasi sama sekali dengan keluarga. Tapi, sosok orang tua dan keluarga tidak bisa sepenuhnya lepas, serta harus dihormati. Bisa dibilang, memutus komunikasi sepenuhnya cukup jarang terjadi di Indonesia.

Konflik dalam keluarga memang sering terjadi, namun biasanya tidak sampai membuat suatu pasangan melepaskan diri dari keluarga. Biasanya, ada suatu konflik fundamental yang terjadi sehingga suami-istri menjauh dari keluarga.

Dalam dunia psikologi dan sosiologi, dikenal teori mengenai integrasi hubungan kekeluargaan. Teori yang paling terkenal yaitu Intergenerational Solidarity Model (ISM) yang dikembangkan oleh Silverstein dan Bengston pada 1997.

Berdasarkan teori ini, dinamika keluarga dipengaruhi oleh enam dimensi, yaitu:

  1. Associational (frekuensi interaksi antar anggota keluarga).
  2. Affectual (perasaan dan kasih sayang).
  3. Consensual (kesamaan nilai, kepercayaan, dan gaya hidup).
  4. Functional (saling tolong-menolong).
  5. Normative (komitmen untuk menjalankan kewajiban masing-masing).
  6. Structural (ketersediaan dalam hal jarak dan kesehatan).

Di antara enam dimensi tersebut, dua dimensi penting yang dapat menyebabkan pasangan ingin lepas dari keluarga adalah dimensi affectual dan consensual.

Jika terdapat masalah dalam dua hal ini, apalagi terjadi berulang dan dalam jangka waktu yang lama tanpa dibarengi dengan rasa toleransi dan memaafkan, maka pasangan dapat memutuskan untuk lepas dari keluarga.

Perbedaan Cara Pandang

Beda generasi, beda cara pandang. Orang tua datang dari generasi yang berbeda dengan anaknya. Hal ini dapat memengaruhi perspektif dalam menjalani hidup. Terlebih bila ada anggota keluarga yang kurang disenangi (toxic family). Pasti akan cukup mengganggu.

Untuk membesarkan anaknya, orang tua telah melakukan usaha yang luar biasa besar, meliputi waktu, tenaga, dan biaya. Baik secara sadar atau tidak, orang tua cenderung menginginkan anaknya mengikuti cara hidupnya dan menjadi sesuai dengan keinginan mereka.

Artikel lainnya: Benarkah Perceraian Jadi Solusi Terbaik saat Hubungan Suami Istri Bermasalah?

Namun, pada kenyataannya anak hidup di generasi yang berbeda dengan orangtuanya. Sehingga, sering kita temui di mana anak memiliki cara hidup sendiri dan tidak sesuai dengan cara hidup orang tuanya.

Selain itu, anak juga memiliki keinginan untuk menentukan sendiri sekolah, karier, dan pasangan mereka. Jika ini tidak sesuai dengan ekspektasi orang tua, mulailah muncul konflik-konflik dalam keluarga.

Walaupun terdapat masalah dalam keluarga, orang tua akan tetap memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Sebaliknya, anak lebih mudah untuk memutuskan ingin lepas dari keluarga saat ada konflik muncul dalam keluarga.

Mungkin, itulah alasan mengapa anak, khususnya yang sudah menikah, memutuskan untuk lepas dari keluarga, ketimbang orang tua yang mengusir atau memutuskan hubungan dengan anaknya.

Dengan membina keluarganya sendiri, anak juga memiliki kekuasaan penuh terhadap apa yang akan dilakukan dalam keluarga dan kehidupannya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kemandirian yang biasa ditemukan dari pasangan yang baru menikah.

Terkadang, banyak dari pasangan suami-istri ini yang kurang nyaman dengan campur tangan orang tua kedua belah pihak. Misalnya, mungkin beberapa saat mereka akan tinggal di rumah mertua. Namun akhirnya akan terpikir juga untuk tinggal terpisah.

Nah, untuk menghindari dan menghadapi masalah dalam keluarga, orang tua dan anak harus memiliki pengertian satu sama lain.

Orang tua harus memahami bahwa anak mereka hidup pada generasi yang berbeda dan memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri, asalkan masih sesuai aturan. Sebaliknya, anak juga harus memahami kondisi orang tua dan tetap bersikap sopan serta menghormati.

Itulah beberapa faktor yang dapat membuat pasangan ingin hidup mandiri agar lepas dari pengaruh keluarga. Bila ingin konsultasi seputar masalah sosial sehari-hari, Anda bisa ngobrol dengan psikolog kami lewat Live Chat di aplikasi KlikDokter.

(FR/RPA)

Pangeran HarryKeluargaMeghan MarkleHari Keluarga Internasional

Konsultasi Dokter Terkait

Tanya Dokter