Pernapasan

Masih Adakah Harapan untuk Kualitas Udara Jakarta?

Krisna Octavianus Dwiputra, 20 Nov 2019

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Udara ibu kota sudah masuk kategori berbahaya. Kalau sudah begini, masih adakah harapan untuk kualitas udara Jakarta?

Masih Adakah Harapan untuk Kualitas Udara Jakarta?

Kalau berbicara kualitas udara yang buruk, sebagian besar orang akan mengarahkan pandangan pada DKI Jakarta. Tak salah memang. Situasi ini tidak bisa dihindari, terlebih beberapa waktu belakangan, di mana Jakarta menjadi kota dengan tingkat polusi tertinggi sedunia. Ya, sedunia!

Selanjutnya

Begitu turun di Stasiun MRT Setiabudi, Andre (bukan nama sebenarnya) langsung mencari masker yang ia taruh di tas. Bukan tanpa sebab, polusi udara Jakarta sekarang ini memang tidak bisa dianggap remeh lagi. 

"Sekarang harus langsung pakai masker. Ya, namanya juga kerja di (kawasan) Sudirman, langsung terasa kalau udara memang buruk," ucapnya.

Berangkat dari Ciputat, Tangerang Selatan, Andre naik motor hingga Stasiun MRT Fatmawati. Ia melanjutkan perjalanan dengan MRT dan turun di Stasiun Setiabudi. 

Ia memutuskan untuk menyambung transportasi bukannya karena tidak ada tenaga naik motor dari Ciputat ke Sudirman. Hanya saja, ia tidak mau berlama-lama berada di luar ruangan dengan kualitas udara buruk.

"Kalau naik MRT, lumayan. Bisa ada waktu berada di kereta dan stasiun yang nyaman. Minimal bisa mengurangi waktu berada di luar ruangan sampai akhirnya nanti di kantor," jelasnya.

Kalau dihitung, ongkos Andre setiap hari tidaklah murah. Untuk menitipkan motor di stasiun MRT, ia bisa menghabiskan sekitar Rp 3.000. Lalu biaya yang ia keluarkan untuk naik MRT dari Stasiun Fatmawati Rp 11.000, untuk sekali jalan. Belum lagi bensin untuk motor yang dikendarainya.

Namun bagi Andre, apa yang ia lakukan saat ini merupakan ‘investasi sehat’ untuk masa depannya. 

"Tidak apa-apa, mas, dari pada sakit lebih baik saya keluar ongkos lebih banyak. Toh untuk masa depan saya juga. Sudah jadi rahasia umum juga kalau udara Jakarta hari ini sangat buruk. Bisa membuat saluran pernapasan menjadi buruk," katanya.

Jakarta dan Air Quality Index

Apa yang dilakukan Andre menjadi sangat logis karena kualitas udara Jakarta sudah tidak bisa dianggap ‘biasa’ saja. Melalui AirVisual, sebuah situs penyedia peta polusi kota-kota di seluruh dunia, Anda bisa melihat angka buruk untuk pencemaran udara Jakarta.

Menurut data AirVisual, Minggu siang, 10 November 2019, Jakarta berada di peringkat kedua kota dengan kualitas udara buruk. Hari itu, Jakarta memiliki Nilai Indeks Kualitas Udara atau Air Quality Index (AQI) sebesar 170. Ini angka yang buruk karena sudah masuk dalam kategori tidak sehat (unhealthy).

Data ini menjadi menarik karena keluar pada Minggu siang, di mana aktivitas kendaraan biasanya sangat sepi. Berbeda dengan hari-hari biasa di mana volume kendaraan sangat ramai.

Pada hari itu, Jakarta ‘hanya kalah’ dari New Delhi (203). Sisanya, Jakarta berada di atas Hanoi, Vietnam (161); Tashkent, UZbekistan (157); dan Kuwait City, Kuwait (153). 

Lalu di bawahnya duduk Chengdu (Tiongkok), Ho Chi Minh (Vietnam), Lahore (Pakistan), dan Shanghai (Tiongkok). Posisi 10 besar digenapi Bangkok (Thailand) dengan angka 127.

Berbicara soal angka tertinggi atau status sangat tidak sehat (very unhealthy), Jakarta juga pernah mengalaminya. Menurut catatan Greenpeace, pada H-1 lebaran 2019 atau pada 4 Juni, AQI Jakarta pernah berada di angka 213.

Anda mungkin bertanya-tanya dari mana angka ini muncul. Percayalah, angka ini bukan didapat dari hasil sulap. AirVisual mengolah data dari tujuh alat pengukur kualitas udara yang tersebar di beberapa titik di DKI Jakarta. 

Nilai AQI didapat berdasarkan enam jenis polutan utama. Mulai dari PM 2,5, PM 10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen dioksida, hingga ozon permukaan tanah. Tapi yang paling mendapat sorotan di sini adalah PM 2,5.

Melansir dari hasil penelitian World Resources Institute (WRI) Indonesia, PM 2,5 adalah partikel kecil di udara yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia. PM itu sendiri merupakan singkatan dari Particulate Matter. Sedangkan angka 2,5 berarti PM berukuran 2,5 mikrometer. 

Ukuran partikel yang sangat kecil membuat mereka bisa masuk ke dalam tubuh dan terbawa ke seluruh tubuh. Nantinya, PM 2,5 bisa menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan. Mulai dari masalah pernapasan, kardiovaskular, sistem peredaran darah, sampai sistem reproduksi. Soal peredaran darah, partikel PM 2,5 bisa menyebabkan penyakit tidak menular macam jantung dan stroke.

Bagaimana dengan PM 10? Masih bersaudara dengan PM 25. Hanya saja, tubuh manusia bisa menangkal PM 10 lewat mekanisme batuk dan bersin. Bisa dibilang, PM 2,5 lah yang jauh lebih berbahaya bagi tubuh. 

Dampak kualitas udara buruk bagi kesehatan

Sejurus dengan pernyataan di atas, sebelumnya sudah pernah dilakukan penelitian soal kualitas udara buruk dan bahayanya bagi kesehatan manusia. Masalah kesehatan ada yang jangka pendek sampai jangka panjang.

Pada 2010, peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Profesor Dr. Budi Haryanto SKM, MSPH, M.Sc., menerbitkan penelitian ilmiah yang berjudul "Climate Change and Urban Air Pollution Health Impacts in Indonesia".

Dalam penelitian yang bisa ditemukan di situs pencarian jurnal ResearchGate ini, tercatat bahwa kasus pencemaran udara merupakan penyumbang 57,8 persen kasus pesakitan di seluruh populasi masyarakat Jakarta.

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, bronkitis, serta iritasi kulit dan mata menjadi penyakit bisa dipicu pencemaran udara yang mengharuskan masyarakat berobat ke fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.

Menurut catatan http://smartcity.jakarta.go.id/maps, ISPA merupakan penyakit dengan kasus terbesar pada 16 kecamatan di Provinsi DKI Jakarta.

"Polusi udara terbukti menjadi ancaman bahaya yang tinggi bagi penduduk Jakarta, terlepas dari status sosio-ekonominya," tulis Prof. Budi dalam penelitiannya.

Masih dalam penelitian yang sama, Prof. Budi menyebutkan bahwa transportasi menjadi penyumbang tertinggi terkait pencemaran udara secara nasional. Khusus di Jakarta, macet menjadi salah faktornya. 

Selanjutnya (2)

Seperti Anda tahu, persoalan macet yang terjadi di ibu kota memang sangat buruk. Kondisi ini sangat terasa pada jam-jam sibuk –seperti berangkat kerja, pulang kerja, dan pada siang hari saat makan siang.

Untuk mengatasi masalah polusi udara yang sudah akut ini, pemerintah DKI Jakarta bukannya tak mencoba mencari solusi. Pemprov DKI melalui Gubernur Anies Baswedan bahkan mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 tentang Pengendalian Kualitas Udara. 

Hal ini sebenarnya menunjukkan respons dari Gubernur DKI Jakarta mengenai polusi udara, setelah mendapatkan banyak perhatian publik dan warganet. 

Instruksi Gubernur kurang lebih berisi imbauan yang mengharuskan adanya monitoring dan pengendalian polusi udara dari pembangkit listrik. Ingub juga mewajibkan gedung, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang dimiliki pemerintah daerah untuk melakukan transisi energi dari energi listrik ke energi surya, melalui pemasangan panel atap surya.

Ingub Nomor 66 memperluas kawasan ganjil genap, menerapkan congestion pricing di wilayah transportasi umum terintegrasi, mewajibkan uji emisi, memperluas trotoar bagi pejalan kaki, serta memonitor emisi dari pembangkit listrik. 

Ingub Nomor 66 ini disambut baik beberapa pihak, termasuk Greenpeace Indonesia. "Kami mengapresiasi instruksi Gubernur yang dikeluarkan bertepatan dengan sidang perdana gugatan warga tentang polusi udara Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2019," ujar kata Bondan Andriyanu, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Namun, Greenpeace memiliki rekomendasi lain di luar Ingub Nomor 66. Greenpeace mendesak pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan inventarisasi emisi secara berkala, sebagai dasar kajian ilmiah untuk mengetahui sumber pencemaran udara Jakarta. Dengan demikian, polusi bisa dikendalikan langsung pada sumbernya dan solusi yang diambil juga akan lebih sistematis dan terukur.

"Hal yang juga harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menyediakan alat ukur kualitas udara yang memadai, sehingga bisa mewakili luasan DKI Jakarta yang datanya dapat dengan mudah diakses oleh publik,” kata Bondan. 

“Selain itu, diperlukan sistem peringatan agar masyarakat bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kualitas udara yang buruk. Misalnya menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruang dan tidak melakukan olahraga saat kualitas udara sedang tidak sehat," lanjutnya.

Jangan sampai korban bertambah

Selain Greenpeace, buruknya kualitas udara di Jakarta juga memantik perhatian dari beberapa pihak. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), 31 orang yang berasal dari Koalisi Gerakan Ibu Kota, bersama-sama Greenpeace sempat melayangkan gugatan karena buruknya polusi udara ibu kota. 

Gugatan tersebut dilayangkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Banten Wahidin Halim.

Tujuan gugatan ini dilayangkan, agar semua stakeholder terkait fokus dalam melakukan pembenahan terkait perbaikan kualitas udara Jakarta. Penggugat beralasan bahwa masyarakat punya hak untuk mendapatkan udara bersih. Ini agar tak banyak korban berjatuhan akibat polusi udara, seperti yang dialami oleh Leona Wirawan, salah satu penggugat.

Bergulat dengan polusi udara Jakarta dalam kesehariannya, ia harus menanggung akibat dari buruknya udara Jakarta. Wanita yang berkuliah di daerah Jakarta Selatan ini mengaku belakangan penyakit asmanya menjadi sering kambuh seiring udara yang semakin buruk setiap harinya.

"Bisa dibilang saya adalah salah satu korban dari polusi udara Jakarta. Sejak kecil itu sebenarnya saya punya riwayat asma. Lalu karena polusi udara di Jakarta itu sangat tinggi, penyakit asma saya jadi sering kambuh," ungkapnya.

Wanita asal Bali ini tergabung dalam koalisi penggugat. Selain berkuliah, ia juga harus beraktivitas di daerah Jakarta lainnya untuk kesibukannya yang selama ini ia jalani. Aktivitasnya setiap hari membuat ia harus merasakan polusi udara Jakarta.

Di sisi lain, ia menyayangkan sampai saat ini pihak tergugat belum melakukan hal yang signifikan terkait perbaikan udara. Malah ia sangat aneh ketika tahu bahwa Pemprov DKI Jakarta menebang pohon untuk perbaikan trotoar.

“Belum, sih, sejauh ini belum ada hal signifikan yang dilakukan pemprov DKI dan pusat. Baru sebatas pembagian tanaman lidah mertua itu. Kendaraan listrik juga belum. Malah sekarang aku dengar dari teman-teman penggugat juga bahwa ada pohon yang malah ditebang oleh pemprov DKI untuk perluasan trotoar,” ungkap Leona.

Nasib gugatan Leona dan kawan-kawan kini masih belum jelas. Saat ini gugatan masih dalam tahap mediasi yang belum ada kejelasan sama sekali. Soal ini, Leona berharap gugatan tidak sampai harus naik ke meja hijau.

Keinginan Leona sebenarnya cuma satu, jangan sampai ada korban lagi akibat polusi udara seperti ia dan rekan-rekan yang tergabung dalam koalisi penggugat. Pasalnya, menurut wanita berusia 22 tahun ini, polusi udara tak pandang bulu. Bisa menyasar siapa saja, dari anak-anak sampai orang tua.

Ini juga yang dirasakan Istu Prayogi, salah seorang rekan Leona yang juga termasuk dalam koalisi penggugat. Apa yang terjadi padanya bahkan lebih buruk. Jakarta, tempat ia mencari rezeki, membawa dirinya harus menerima kenyataan bahwa terdapat bercak di paru-parunya.

"Dokter mendiagnosis bahwa terdapat bercak-bercak di paru-paru saya, dan menyatakan bahwa paru-paru saya sensitif terhadap udara kotor. Hal ini sangat mengganggu aktivitas saya," ucap Istu.

Harapannya sama, jangan sampai ada korban yang berjatuhan akibat udara buruk ibu kota. Apalagi, ia merasa bahwa stakeholder terkait tampaknya tak melakukan apa-apa soal polusi udara yang sudah tak bisa diremehkan lagi.

Sambil menunggu gerakan para stakeholder, tidak ada salahnya bila setiap orang memulainya dari diri sendiri. Langkah pencegahan seperti yang Andre bisa ditiru. Ia rela merogoh kocek yang dalam demi terhindari dari masalah sakit akibat polusi udara yang buruk.

Semakin buruk dari tahun ke tahun

Data menunjukkan bahwa kualitas udara Jakarta dari tahun ke tahun terus menurun. Menurut Greenpeace, pada 2017 hanya ada 26 hari dengan kualitas udara baik di Jakarta Pusat dan hanya 25 hari udara baik di Jakarta Selatan. Sisanya bagaimana? Catatan menunjukkan tidak sampai tingkat bahaya, tapi mayoritas udara Jakarta dalam tingkat tidak sehat.

Sementara itu, pada 2018 tidak jauh berbeda datanya dengan 2017. Angkanya bahkan cenderung turun. Selama 2018, hanya 23 hari dengan kualitas udara baik di Jakarta Pusat. Sedangkan hanya sekitar 11 hari kualitas udara baik di Jakarta.

Ini menunjukkan tren penurunan jumlah hari dengan kualitas udara baik, jika berkaca pada data di atas. Pada 2018 Jakarta merupakan kota dengan kualitas udara buruk di Asia Tenggara dan masuk 10 besar di dunia.

Bagaimana dengan 2019? Sampai medio 2019 atau sekitar 22 Juni, tercatat hanya ada 10 hari dengan kualitas udara baik di Jakarta Pusat. Kondisi di Jakarta Selatan bahkan lebih buruk, hanya terdapat 9 hari dengan kualitas udara dalam taraf baik.

Kualitas udara Jakarta sudah pasti harus diperbaiki. Sebenarnya, setiap negara pada 2030 melalui Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas udara mereka –termasuk Indonesia dan Jakarta di dalamnya. 

Kalau sudah begini, masihkah ada harapan untuk kualitas udara Jakarta yang lebih baik? Tentunya dibutuhkan kerja keras dan kesadaran dari semua pihak. Dengan demikian, hak setiap orang untuk mendapatkan udara yang baik bisa terwujud. Bahkan lebih dari itu, udara yang baik akan membantu mencegah masyarakat terkena masalah kesehatan serius.

(RH)

penyakit pernapasanPolusi UdaraISPA

Konsultasi Dokter Terkait