Kena Gangguan Mental akibat Gawai, Pasien Anak di RS Jiwa Jabar Naik
Ayu Maharani, 16 Okt 2019
Ditinjau oleh Tim Medis Klikdokter
Siapa sangka, kini RS jiwa dipenuhi oleh pasien anak? Dan yang memprihatinkan, penyebab gangguan mental yang mereka alami adalah gawai.
Dilansir dari Detik Health, Sub-Spesialis Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat, dr. Lina Budiyanti mengatakan jumlah pasien anak dengan gangguan mental meningkat. Dan yang lebih memprihatinkan, gangguan tersebut diakibatkan penggunaan gawai yang berlebihan.
Jumlah pasien anak di RS Jiwa Jawa Barat
Dokter Lina mengatakan, jumlah anak yang mengalami kecanduan gawai bertambah setiap tahunnya. Ia menduga, hal itu disebabkan oleh makin mudahnya anak mengakses teknologi dan internet.
Sayangnya, dia tidak memberitahukan detail soal jumlah peningkatan tiap tahun. Namun, Direktur RSJ Provinsi Jawa Barat, dr. Elly Marliyani melaporkan bahwa sejak tahun 2016, pemakaian tempat tidur untuk pasien anak yang kecanduan gawai sudah lebih dari 60 persen.
Perlu diketahui juga, tiap bulannya, pihak rumah sakit jiwa di sana menangani 11-12 pasien anak dengan rentang usia 7 hingga 15 tahun. Mereka tidak hanya spesifik kecanduan game, tapi ada juga yang terkena gangguan mental akibat non-stop menonton Youtube.
Kecanduan gawai sama seperti kecanduan narkoba dan pornografi
Hal itu pun mendapat tanggapan dr. Karin Wiradarma dari KlikDokter. Menurutnya, kecanduan gawai sekarang bukanlah masalah baru. Kecanduan gawai sudah sama fatalnya seperti kecanduan narkoba dan pornografi, sehingga tidak boleh dianggap sepele dan harus mendapat terapi yang tepat.
Dia menambahkan, gangguan mental pada anak yang sampai membuat RSJ penuh itu tentu bukan bersifat genetik, melainkan pengaruh dari luar.
“Seorang anak yang sampai menghabiskan waktunya di depan gawai, ada kemungkinan sedang mencari pelarian dari sesuatu yang tidak menyenangkan di sekitarnya. Karena itu, peran orang tua sangat diperlukan di sini,” kata dr. Karin lagi.
Di sisi lain, yang sering menggagalkan usaha untuk menghentikan anak dari kecanduan gawai adalah keluarga tidak satu suara.
“Misalnya, ibunya melarang si Kecil untuk tidak bermain gawai terlalu lama, tapi ayahnya justru memberikannya secara diam-diam. Atau kalau orang tuanya sudah satu suara, nenek kakeknya yang memberi kelonggaran. Mana bisa efektif?”
Kecanduan gawai sebagai bentuk pelarian dari dunia nyata
Orang tua juga mesti mengetahui bahwa anak itu tidak serta merta kecanduan gawai. Biasanya, ada ketidaknyamanan yang dia rasakan sehingga anak memilih untuk terus berada di dunia maya.
“Tahu sendiri, kan, sekarang sekolah semakin kompetitif. Atau jangan-jangan, Anda membebaninya dengan les yang banyak atau tidak memberikan kesempatan untuknya menuangkan minat bakatnya. Alhasil, dia menjadi mencari pelarian ke situ,” dr. Karin menjelaskan.
Di sisi lain, faktor pertemanan juga bisa mendukung terjadinya kecanduan gawai. Bisa saja dulu, si anak tidak terlalu terpaku pada game, Youtube, dan media sosial. Namun, karena teman sepermainannya kecanduan gawai, anak ikut terjerumus. Kalau tidak ikut, biasanya anak kecil kan di-bully oleh teman-temannya sendiri.
Oleh karena itu, menurut dr. Karin, perlu dicari akar masalah kecanduan gadget pada si anak. Apakah karena kurangnya perhatian, keluarga yang tidak satu suara, atau si anak berada pada lingkungan yang salah. Dengan diketahui penyebabnya, masalah kecanduan gadget bisa dihindari dan dikurangi.
Meningkatnya jumlah pasien anak di RS Jiwa Jawa Barat akibat gangguan mental yang disebabkan oleh kecanduan gawai semoga bisa membuka mata masyarakat. Bahwa sebenarnya, krisis tersebut sudah di depan mata dan tak boleh disepelekan. Sama seperti kesehatan fisik, masalah kesehatan mental juga harus diperhatikan demi masa depan anak bangsa yang lebih baik.
[HNS/ RH]
Konsultasi Dokter Terkait
Artikel Terkait