Kesehatan Mental

Edukasi tentang Depresi di Lundbeck Regional Symposium

Krishna Mahendra Sudarmo, 25 Jun 2019

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Demi menghapus stigma, serta memberikan edukasi yang tepat tentang masalah depresi, Lundbeck menggelar Lundbeck Regional Symposium.

Edukasi tentang Depresi di Lundbeck Regional Symposium

Pada 2017 lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa gangguan mental depresi telah menduduki peringkat keempat penyakit di dunia. Fakta tersebut cukup mencengangkan karena ternyata ada sekitar 300 juta dari total populasi dunia menderita depresi.

Sayangnya, tingginya angka prevalensi gangguan depresi tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai gangguan mental jenis ini. Ditambah dengan banyaknya stigma yang beredar dan berkembang mengenai depresi, membuat penderita sulit mendapatkan dukungan untuk bisa kembali hidup secara normal.

Dalam upaya menghapus stigma, serta memberikan edukasi yang tepat tentang depresi dan penanganannya, Lundbeck, perusahaan farmasi multinasional asal Denmark, menggelar Lundbeck Regional Symposium pada 22-23 Juni 2019 lalu, di Shangri-La Hotel, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh 450 dokter dari Asia Selatan dan Asia Timur.

Lebih jauh lagi, acara ini digelar untuk membahas manajemen kesehatan jiwa dan konsekuensinya jika penderita tidak menerima pengobatan yang tepat, serta perkembangan dan inovasi pengobatan untuk gangguan depresi.

Apa itu depresi?

Menurut dr. Sepriani Timurtini Limbong dari KlikDokter, depresi terjadi karena proses yang kompleks dan melibatkan banyak faktor. "Berbagai kejadian juga turut memengaruhi kondisi kejiwaan seseorang dan bagaimana ia menghadapi masalah dalam hidupnya," jelasnya.

Secara medis, kondisi depresi dapat dikategorikan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:

  • Gejala terkait suasana hati, seperti suasana hati yang buruk, minat yang rendah, kecemasan, dan motivasi rendah.
  • Gejala kognitif, seperti gangguan konsentrasi, kesulitan dalam membuat rencana, mudah lupa, serta lambat dalam menanggapi dan bereaksi terhadap sesuatu.
  • Gejala fisik, seperti gangguan tidur, nyeri, dan gangguan nafsu makan.

Di beberapa kejadian terburuk, depresi dapat memunculkan pikiran, bahkan hingga tindakan bunuh diri pada penderitanya. Pada 2017 lalu, WHO memperkirakan terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia dalam setiap 40 detik.

Oleh sebab itu, deteksi dini dan perawatan yang tepat menjadi sangat penting. Hal tersebut dapat meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, serta mengurangi beban emosi dan keuangan yang timbul akibat gangguan depresi.

Masih ada stigma negatif terhadap depresi

Adanya stigma negatif tentang depresi juga turut dibenarkan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, SpKJ. Menurutnya, stigma negatif yang beredar terhadap depresi telah menghalangi para penderitanya untuk bisa mendapat dukungan yang mereka butuhkan agar dapat kembali menjalani hidup secara normal.

"Depresi lebih sering dilihat sebagai aib daripada penyakit karena berkenaan dengan kesehatan mental, bukan fisik," jelas dr. Eka.

Bersama rekan-rekannya, dr. Eka sedang berusaha meningkatkan kesadaran bahwa depresi adalah penyakit seperti penyakit lainnya. Seharusnya, orang dengan gangguan depresi bisa tanpa ragu-ragu dalam mencari dukungan dan pengobatan. Sebab, depresi pun dapat pulih dengan sepenuhnya.

Ketua Divisi Mood Disorder PDSKJI, dr. Margarita Maramis, SpKJ turut menambahkan bahwa stigma tersebut telah menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap para penderita depresi. Beberapa di antaranya adalah asumsi bahwa penderita depresi tidak mau bersosialisasi, tidak bisa dipercaya, hingga membuat canggung keadaan.

Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian para penderita depresi justru menjauhkan diri dan menghindari hubungan yang terlalu pribadi dengan orang lain. Pada beberapa kasus, bahkan ada yang sampai berhenti bekerja atau berhenti sekolah.

Tujuan penanganan depresi

Selama satu dekade terakhir, definisi dari kesuksesan penanganan gangguan depresi telah berubah menjadi pemulihan fungsi sepenuhnya. Maksudnya, pasien tidak hanya merasa jauh lebih baik, tetapi mampu memulihkan sepenuhnya fungsi mereka di rumah, di tempat kerja, dan bisa berintegrasi kembali dengan masyarakat.

Masih ada juga beberapa pihak yang salah paham dengan beranggapan bahwa obat antidepresan tidak membawa manfaat bagi pasien dan memiliki banyak efek samping. Padahal, menurut Prof. Vladimir Maletic, MD, seorang profesor klinis neuropsikiatri di Fakultas Kedokteran University of South Carolina, Amerika Serikt, faktanya tidak begitu.

"Antidepresan telah mengalami evolusi selama bertahun-tahun dan saat ini sudah dikembangkan antidepresan baru seperti Vortioxetine yang tidak hanya memperbaiki gejala-gejala terkait suasana hati, tapi juga mengatasi gejala-gejala kognitif, sehingga akan membantu pasien mencapai pemulihan fungsional. Lebih penting lagi, obat ini juga dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minimal," kata Prof. Maletic.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menghilangkan stigma negatif terhadap depresi agar bisa terdeteksi dini dan penderitanya mendapat penanganan yang tepat. Lewat digelarnya Lundbeck Regional Symposium, diharapkan hal tersebut dapat lebih cepat terwujud.

[RVS]

liputanPenanganan DepresiDepresiPengobatan Depresigejala fisikStigma DepresiGejala Kognitif

Konsultasi Dokter Terkait