Reproduksi

Benarkah Stres Picu Infertilitas?

Krisna Octavianus Dwiputra, 19 Jun 2019

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Stres yang berlebihan baik fisik maupun psikis dinilai bisa picu infertilitas bagi pasangan suami istri. Bagaimana faktanya?

Benarkah Stres Picu Infertilitas?

Pasangan yang sudah menikah umumnya mendambakan hadirnya buah hati. Hanya saja, proses kehamilan bagi sebagian pasangan bisa berliku. Bisa saja salah satu atau keduanya dari pasangan tersebut mengalami masalah ketidaksuburan alias infertilitas. Stres yang berlebihan dinilai sebagai salah satu penyebab kondisi tersebut.

Studi mengenai stres dan infertilitas itu penting sekaligus kontroversial. Setiap kali ada studi baru tentang stres dan gangguan kesuburan yang dipublikasikan, hasilnya tidak mengindikasikan bahwa stres benar-benar menyebabkan infertilitas.

Kriteria ketidaksuburan

Banyak pasangan yang mengalami hambatan dalam hal kesuburan khawatir akan terjadinya stres. Ketidaksuburan itu sendiri bisa mengakibatkan kesulitan dan kekacauan secara emosional. Lalu bisakah stres terhadap ketidaksuburan membuat kondisi sulit hamil makin buruk?

Menurut para ahli, jawabannya rumit karena pengaruh stres terhadap kesuburan masih belum benar-benar dipahami. Relaksasi untuk mengobati stres saja tak akan cukup untuk mengatasi masalah ketidaksuburan, tetapi bukan berarti stres itu sendiri tidak berbahaya.

Pertama-tama, Anda perlu mengetahui kapan seseorang dianggap mengalami gangguan ketidaksuburan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sepasang suami istri dikatakan mengalami infertilitas bila kehamilan tidak terjadi setelah satu tahun menjalani hubungan seksual secara rutin dan tidak menggunakan metode kontrasepsi apa pun.

Bisakah stres picu infertilitas?

Dari KlikDokter, dr. Fiona Amelia, MPH, mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, stres dapat memengaruhi program kehamilan pasangan.

“Pada wanita, stres bisa membuat haid menjadi tidak teratur, sehingga menyulitkan penghitungan masa subur. Sedangkan pada pria, stres akan menurunkan kualitas sperma,” jelas dr. Fiona.

Meski demikian, penjelasan mengenai hubungan antara stres dan kesuburan lebih rumit dari penjelasan di atas. Dilansir dari VeryWell Family, pertama-tama tipe stres harus diidentifikasi terlebih dulu.

Apakah itu stres yang terjadi pada masa kanak-kanak (childhood stress), stres jangka pendek sehari-hari (short-term everyday stress), stres jangka panjang atau stres yang berulang (long-term stress atau a series of stressful events), stres yang dianggap baik akibat gaya hidup, dan lain-lain.

Kapan stres harus diwaspadai?

Studi mengenai kaitan stres dan kesuburan yang memadai adalah, misalnya pada wanita harus meneliti stres sebelum siklus haid, saat haid, atau sebelum masa ovulasi. Hal tersebut dapat memeriksa stres selama periode 2 minggu (antara ovulasi dan haid).

Selain itu, studi juga sebaiknya meneliti tingkat rata-rata stres secara periodik, misalnya mingguan, bulanan, atau tahunan. Semua variabel tersebut sangat menentukan hasil studi yang baik.

Sulitnya mempelajari stres dan efeknya terhadap tubuh juga rumit, karena sulit untuk mengetahui masalah dari stres dan masalah penanganannya. Bisanya, orang-orang yang mengalami stres sering kali beralih ke kebiasaan yang tidak sehat untuk membantu mengatasinya. Misalnya dengan makan lebih banyak junk food, kurang tidur atau kebanyakan tidur, tidak berolahraga, merokok, mabuk-mabukan, atau menggunakan narkotika.

Anda tentu tahu bahwa merokok, kurangnya asupan nutrisi, serta minum minuman beralkohol secara berlebih bisa mengancam kesuburan seseorang. Jika seseorang yang sedang stres tinggi, sebaiknya tidak ditangani dengan cara-cara yang merugikan kesehatan.

Koneksi biologis antara stres dan infertilitas

Terdapat penjelasan biologis mengalami stres emosional bisa berujung pada terjadinya gangguan kesuburan. Semuanya bermuara pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Ketika tubuh mengalami stres, hipotalamus di dalam otak akan mengirim sinyal ke kelenjar hipofisis, memberi tahu bahwa Anda sedang berada dalam kondisi stres atau tertekan.

Selanjutnya, sinyal tersebut akan dibawa ke kelenjar adrenalin, memintanya untuk mengeluarkan hormon stres kortisol. Dalam kondisi normal, kortisol tidak menimbulkan masalah, karena ikut membantu regulasi gula darah, sehingga Anda punya energi untuk beraktivitas. Namun, kadar kortisol tinggilah yang jadi masalah.

Hipotalamus dan hipofisis tak cuma bertanggung jawab meregulasi hormon stres, tetapi juga hormon reproduksi. Hipotalamus melepaskan hormon gonadotropin (GnRH), yang merangsang pelepasan hormon stimulasi follicle (FSH) dan hormon luteinizing (LH). Hormon FSH dan LH bertugas merangsang pelepasan sel telur dan membentuk sperma.

Nah, jika HPA axis sibuk mengurus stres, maka tak ada waktu untuk melepaskan hormon reproduksi yang cukup, sehingga inilah yang membuat wanita sulit hamil dan kualitas sperma yang tak baik pada pria.

Studi yang menemukan koneksi antara stres dan infertilitas

Beberapa studi berhasil menemukan kemungkinan kaitan antara stres dan kesuburan. Ada studi di Inggris yang meneliti 250 wanita yang sedang progam hamil secara alami dalam periode 6 siklus haid). Pada hari ke-6 tiap siklus, sampel saliva partisipan diambil untuk mengecek kadar kortisol dan alpha-amylase, dua hormon yang berhubungan dengan stres.

Selama periode 6 bulan, penelitian juga menggunakan monitor ovulasi untuk memandu para wanita mengenai waktu terbaik dengan tingkat kehamilan tertinggi, serta memonitor waktu hubungan seks pada masa subur.

Studi tersebut menunjukkan bahwa wanita dengan konsentrasi alpha-amylase tertinggi butuh waktu lebih lama untuk hamil dibandingkan dengan partisipan lain yang kadarnya lebih rendah. Meski begitu, penting diketahui bahwa studi ini juga menemukan bahwa wanita dengan tingkat kortisol yang lebih tinggi cenderung bisa hamil lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang kadar kortisolnya rendah. Dengan kata lain, koneksinya belum jelas.

Ada pula studi di Michigan dan Texas, Amerika Serikat, yang ingin meneliti apakah hormon alpha-amylase dan kortisol dalam saliva mungkin berhubungan dengan peluang kehamilan. Partisipan studi ini adalah 400 wanita yang sedang dalam program hamil.

Peneliti menemukan, wanita dengan level alpha-amylase tertinggi tercatat memiliki penurunan kesuburan secara keseluruhan sebanyak 29 persen, membutuhkan waktu lebih lama untuk hamil dibandingkan dengan wanita dengan kadar alpha-amylase lebih rendah. Studi ini tidak menemukan hubungan antara kortisol dan waktu kehamilan.

Selain itu stres yang berhubungan dengan sosioekonomi yang mungkin berdampak buruk pada kesuburan. Satu studi menemukan bahwa wanita yang mengalami stres yang dipicu masalah sosioekonomi, memiliki kondisi ovarium yang lebih buruk. Ada pula studi lain yang menemukan bahwa wanita dengan ACE score lebih tinggi (karena hal-hal traumatis saat masa kanak-kanak) cenderung lebih mungkin mengalami gangguan kesuburan dan periode haid yang abnormal.

Namun kembali lagi, belum ada studi yang benar-benar membuktikan bahwa stres bisa secara langsung memicu infertilitas. Meski demikian, stres tak boleh dibiarkan begitu saja. Disarankan oleh dr. Fiona, berusahalah untuk relaks, selalu berpikir positif, dan berdoa. Libatkan dokter spesialis kandungan dalam program hamil Anda dan turuti semua anjurannya, serta selalu kompak dan terbuka dengan pasangan.

(RN/ RVS)

Hormon StresInfertilitaskualitas spermaStresKehamilanSiklus HaidSulit HamilKetidaksuburangangguan kesuburanProgram HamilHamil

Konsultasi Dokter Terkait