Kesehatan Umum

Berjuang Bersama Mengatasi Penyakit Lupus

dr. Alvin Nursalim, SpPD, 11 Mei 2019

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Pelajaran hidup bisa datang dari mana saja. Saya pernah mendapatkannya dari seorang pasien yang berjuang melawan penyakit lupus.

Berjuang Bersama Mengatasi Penyakit Lupus

Banyak hal yang saya dapatkan selama menjalani proses pendidikan menjadi seorang dokter. Namun, hal yang paling menancap di pikiran adalah bagaimana menjadi lebih peka terhadap permasalahan sosial. Ilmu tersebut justru saya dapatkan lewat salah satu pasien wanita berusia 24 tahun, penyandang penyakit lupus. Sebut saja namanya Tanti.

Merawat penyandang lupus seperti keluarga sendiri

Selalu tertanam dalam benak saya untuk menangani pasien layaknya keluarga sendiri. Setidaknya, itu yang saya rasakan ketika merawat Tanti yang tergeletak tak berdaya di rumah sakit akibat penyakit lupus. Pada saat itu, saya tengah menjalani program spesialis penyakit dalam.

Lupus sendiri adalah salah satu penyakit autoimun, di mana sistem pertahanan tubuh menyerang organ tubuh penderita. Akibatnya, akan ada banyak organ yang mengalami kerusakan, seperti otak, kulit, jantung, dan persendian. Gejala yang muncul pun bisa ringan, sedang, sampai berat.

Sayangnya untuk kasus Tanti, penyakit lupus yang dideritanya cukup berat. Saat bertemu dengannya, ia sudah menjalani perawatan selama lima hari di rumah sakit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Ketika dilakukan pemeriksaan, ia mengaku merasakan sakit kepala hebat dan badan yang terasa lemas.Ternyata, penyakit lupus sudah dideritanya sejak lima tahun silam. Kondisi tubuhnya pun sudah semakin parah. Bahkan, saat masuk rumah sakit, nilai hemoglobin (Hb) Tanti merosot ke nilai 8 mg/dl, dari nilai normal di atas 12 mg/dl.

Meski demikian, Tanti tak pernah membiarkan penyakit lupus menghentikan usahanya dalam mengejar impian, bekerja sebagai diplomat. Hari-hari perawatan senantiasa diisinya dengan membaca. Walaupun tubuhnya terlihat sangat lemah, ia masih menorehkan senyuman setiap saya datang memeriksa di pagi hari.

Pagi itu, Tanti masih mengeluh sesak napas, lemah dan badannya terasa sakit. Ia hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Malam sebelumnya, tubuhnya mengalami kejang-kejang hingga lima menit. Kejadian tersebut mengharuskan kami bekerja sama dengan dokter saraf untuk mencari tahu penyebab kejang Tanti.

Kondisi ini juga yang sering saya alami ketika merawat pasien lupus, sebab kondisi tubuh penderita dapat naik dan turun karena rentan terhadap infeksi. Kami juga diharuskan bekerja sama dengan dokter dari disiplin ilmu lain, karena penyakit ini dapat menyerang berbagai organ.

Perjuangan yang tak mudah

Saya menyadari bahwa penyakit lupus Tanti sudah banyak menguras energi, psikis, dan materi dari keluarganya. Sebab, pasien lupus membutuhkan kontrol secara berkala ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan menyeluruh dan pengobatan rutin. Belum lagi jika ada serangan yang membuat kondisinya semakin buruk.

Berbagai hal inilah yang kerap menyebabkan pasien lupus rentan mengalami gangguan psikis seperti depresi. Belum lagi, bila pasien harus menjalani rawat inap. Tentunya kesulitan ekonomi yang dialaminya lebih berat.

Sebagian pasien saya berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah. Bila salah satu anggota keluarga sakit, maka anggota lainnya tidak dapat bekerja seperti hari biasa karena harus mendampingi selama perawatan. Apalagi jika yang sakit adalah tulang punggung keluarga, pastinya akan menjadi beban tersendiri bagi mereka.

Seperti penyakit dalam lainnya, penyakit lupus juga membutuhkan perhatian khusus. Setiap harinya Tanti ditemani oleh ibundanya.

Bila malam tiba, ayahnya datang untuk “jaga malam”. Secara bergantian, adiknya terkadang pun menggantikan ibunya untuk menemani Tanti di rumah sakit.

Pentingnya komunikasi dalam perawatan pasien

Memasuki minggu kedua, kondisi Tanti tidak kunjung membaik, bahkan bisa dibilang cenderung memburuk. Kejang berulang yang dialaminya dan infeksi yang sudah menggerogoti parunya menyebabkan kondisi Tanti cukup kritis.

Kondisi medis Tanti pada waktu itu sebenarnya membutuhkan perawatan di unit rawat intensif. Namun, keluarga menolak dan memilih pemasangan alat bantu napas. Kemungkinan alasan mereka adalah karena persoalan biaya. Momen inilah yang kemudian membuat saya semakin dekat dengan keluarganya.

Setiap pagi, saya memeriksanya dan mengobrol dengan kedua orang tuanya. Yang kami obrolkan bisa berbagai hal, dari mulai kondisi kedekatan Tanti dengan adiknya sampai keaktifannya di organisasi.

Tapi satu yang membuat saya semakin menaruh hormat. Mereka tetap dengan sabar merawat buah hatinya yang berbaring lemas, tanpa tahu sampai berapa lama lagi harus melakukannya.

Kalau itu, saya menyadari bahwa kemampuan medis seorang dokter terbatas. Namun bukan berarti tidak ada yang dapat dilakukan untuk meringankan beban pasien dan keluarganya.

Untuk itu, saya selalu menyempatkan diri berbicara dan menjelaskan keadaan Tanti kepada kedua orang tuanya. Apa yang saya lakukan sebenarnya untuk menyiapkan diri mereka atas kondisi apa pun yang terjadi pada anak kesayangannya.

Menerima kehilangan

Dua minggu lebih telah kami lewati bersama, menciptakan hubungan yang unik antara saya dengan orang tua Tanti. Kami bagaikan satu tim yang bekerja sama untuk kesembuhan Tanti. Namun sayang, malamnya saya mendapat kabar bahwa Tanti mengalami kejang-kejang kembali.

Kali ini kejang yang dialaminya lebih parah. Sekujur tubuh Tanti bergetar tak terkontrol, matanya melotot ke atas. Sang ibu lantas panik dan berurai air mata. Sesampainya di rumah sakit, saya melihat Tanti sudah tak sadarkan diri.

Tanti pun dinyatakan tutup usia. Sang ibu yang hampir tak pernah absen menemani pun mendekatinya sembari membisikkan sesuatu. Terlihat tenang, sedikit terisak ia menangisi kepergian si Anak Sulung.

Perlahan, saya dekati ibunda Tanti, dan menenangkannya, bahwa usaha maksimal sudah dilakukan, namun segalanya sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa.

Bagaimanapun, dokter bukanlah Tuhan, sehingga tak bisa menjamin pasien yang dirawatnya terbebas dari maut, meski segala saya upaya telah dikerahkan. Namun, saya percaya, dokter sudah semestinya dapat memberikan kenyamanan, baik pada pada pasien maupun keluarganya.

To cure sometimes, to relieve often, to comfort always. Sebuah pepatah medis yang senantiasa mengingatkan bahwa tugas utama seorang dokter adalah memberikan kenyamanan pada pasien dan keluarganya, walaupun mungkin kondisi medis pasien sudah tidak tertolong.

Berkomunikasi secara empati, dan berusaha dengan tulus adalah cara terbaik untuk membantu pasien. Bagi saya, Tanti adalah pasien yang saya anggap seperti keluarga, sekaligus guru terbaik dalam proses pendidikan saya.

Berbekal kisah saya dan keluarga Tanti yang berjuang bersama melawan penyakit lupus, harapannya semoga para dokter di Indonesia bisa senantiasa menjadi “comforter”, yang memberikan kenyamanan untuk setiap pasien yang ditanganinya.

[NP/ RVS]

sesak napasHari Lupus SeduniaPenyakit Lupuskejang berulangmengatasi penyakit lupusmerawat pasien lupus

Konsultasi Dokter Terkait