HomePsikologiKesehatan MentalPatah Hati Meningkatkan Risiko Kematian, Mitos atau Fakta?
Kesehatan Mental

Patah Hati Meningkatkan Risiko Kematian, Mitos atau Fakta?

dr. Alvin Nursalim, SpPD, 13 Feb 2019

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Anda sedang stres karena patah hati? Jangan terlalu larut di dalamnya, sebab ada anggapan kondisi tersebut rentan mengganggu kesehatan.

Patah Hati Meningkatkan Risiko Kematian, Mitos atau Fakta?

Orang yang patah hati cenderung larut dalam kesedihan. Apalagi, bila terjadi menjelang Hari Valentine, kesedihan yang dirasakan tentunya menjadi lebih dalam. Karena di hari kasih sayang tersebut orang lain akan merayakannya bersama pasangan. Sedangkan, orang yang patah hati harus melewatkannya seorang diri.

Anda pernah mengalaminya? Hati-hati, stres berat yang terjadi akibat kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan risiko gangguan jantung. Anggapan di atas yang mengaitkan patah hati dan risiko kematian ternyata memang bukan sekadar mitos.

Patah hati dan gangguan jantung

Kondisi patah hati dapat disebabkan oleh berbagai pencetus yang berbeda, salah satunya karena kehilangan pasangan yang dicintai. Tekanan mental yang berat pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan risiko depresi, sehingga terdapat hubungan kuat  antara depresi, kesehatan mental dan penyakit jantung.

Salah satu penyakit jantung yang dapat terjadi akibat patah hati adalah broken heart syndrome atau sindrom patah hati. Broken heart syndrome adalah sejenis gangguan otot jantung (kardiomiopati) yang disebabkan oleh stres, atau dalam dunia medis dikenal dengan kardiomiopati Takotsubo. Penyakit ini lebih sering dialami oleh wanita.

Penyebab yang mendasari gangguan ini adalah adanya lonjakan hormon stres yang biasanya muncul saat seseorang merasakan kesedihan yang mendalam atau depresi, seperti saat Anda patah hati.

Pada saat mengalami broken heart syndrome, jantung Anda sementara akan mengalami pembesaran dan tidak dapat memompa dengan baik. Yang perlu dikhawatirkan, kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan otot jantung jangka pendek namun dengan intensitas yang parah.

Namun, untungnya penyakit ini dapat diobati dan bahkan dapat mengalami pemulihan penuh dalam beberapa minggu. Meski demikian, hal yang membahayakan bisa terjadi bila terjadi komplikasi pada saat Anda terkena broken heart syndrome.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengalami syok kardiogenik sebagai komplikasi dari sindrom ini memiliki risiko kematian yang meningkat, baik dalam jangka pendek maupun dalam tahun-tahun berikutnya.

Oleh sebab itu, waspadalah saat mengalami patah hati, dan jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan bila tak ingin mengalami gangguan kesehatan yang serius.

Hubungan antara depresi dan penyakit kardiovaskular bukanlah hal baru. Bahkan, para peneliti telah mengidentifikasi jalur biokimia yang menyebabkannya. Hasil penelitian menemukan bahwa stres psikologis memainkan peran kunci sebagai salah satu penyebab gangguan jantung.

Selain peningkatan risiko penyakit jantung, sebuah studi berskala besar yang dilakukan tahun 2018 menyatakan bahwa tekanan psikologis yang disebabkan oleh kecemasan atau depresi juga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena stroke.

Berbeda dengan serangan jantung

Broken heart syndrome ini dapat salah didiagnosis sebagai serangan jantung karena gejala dan hasil tesnya bisa sangat mirip dengan gejala serangan jantung akibat sumbatan pembuluh darah jantung koroner. Bedanya, pada kondisi ini tidak terjadi penyumbatan arteri jantung.

Beberapa tanda dan gejala sindrom ini juga berbeda dengan gejala serangan jantung. Pada broken heart syndrome, gejala bisa muncul tiba-tiba setelah tekanan emosional yang ekstrem. Sedangkan pada serangan jantung, nyeri dada biasanya dirasakan di sebelah kiri dengan kesan dada yang tertekan.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membedakan keduanya. Biasanya dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan rekam jantung dan pemeriksaan darah untuk melihat tanda kerusakan jantung.

Dokter Anda juga dapat menyarankan dilakukannya kateterisasi pembuluh darah jantung untuk memastikan keadaan pembuluh darah jantung Anda.

Tak hanya itu, waktu pemulihan untuk sindrom patah hati juga relatif cepat, biasanya dalam beberapa hari atau minggu, dibandingkan dengan waktu pemulihan serangan jantung yang bisa memakan waktu sebulan lebih.

Jadi, ternyata patah hati juga berisiko menyebabkan berbagai penyakit, termasuk broken heart syndrome yang sering disalahartikan sebagai penyakit jantung. Jika Anda mengalami berbagai gejala di atas, jangan ragu untuk mengunjungi dokter terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan yang lengkap.

[NP/ RVS]

StresPatah HatiJantungValentineSindrom patah hatimitos atau faktaDepresikesehatan mentalPenyakit JantungSerangan Jantung

Konsultasi Dokter Terkait