Kesehatan Mental

Kenali Penyebab Histeria yang Dialami Roro Fitria

Ayu Maharani, 16 Okt 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Masih mendekam di Rutan Pondok Bambu, Roro Fitria dilaporkan mengalami histeria atas kepergian sang ibunda. Berikut ini penyebab histeria.

Kenali Penyebab Histeria yang Dialami Roro Fitria

Selebritas Roro Fitria kembali dirundung duka. Sehari sebelum menjalani sidang lanjutan atas kasus narkoba, sang ibunda, Retno Winiangsih Yulianti, meninggal dunia pada hari Senin (15/10) di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan. Kabar ini duka ini pun sampai ke telinga Roro Fitria yang masih menjadi tahanan di Rutan Pondok Bambu terkait kasus narkoba. Mengetahui ibundanya meninggal, Roro pun dilaporkan mengalami histeria.

Apa itu histeria dan apa penyebabnya?

Apa yang dialami Roro Fitria saat ini bisa jadi adalah penyebab histeria yang ia alami. Roro tidak mampu mengusai emosinya karena saat ini ia masih harus mendekam dalam tahanan. Di saat yang sama kemungkinan ia tengah stres akan persidangan kasusnya. Ditambah lagi, ia tidak bisa mendampingi ibunya saat sakit hingga akhirnya  meninggal dunia.

Dikatakan oleh dr. Adithia Kwee kapada KlikDokter, histeria, atau istilah ilmu psikiatrinya adalah histeria konversi, adalah kondisi dimana penderitanya tak mampu menahan beban mental atau beban pikirannya, sehingga terjadi konversi menjadi gejala fisik. Kondisi ini bisa menyebabkan gangguan neurologis seperti rasa kebal, kebutaan, atau paralisis tanpa sebab.

Keluhan-keluhan yang muncul dimulai dengan adanya stresor atau trauma yang dapat bermanifestasi terhadap kelainan fisik. Beberapa keluhan yang dapat muncul antara lain:

  • Kebutaan
  • Paralisis
  • Sulit menelan
  • Kejang
  • Kesulitan dalam berjalan
  • Sulit menahan buang air kecil dan buang air besar
  • Pingsan

Keluhan-keluhan ini biasanya tidak ada hubungannya dengan organ tubuh dan semuanya merupakan kelainan psikis.

Histeria bisa dialami wanita dan pria

Dilansir dari Very Well Mind, histeria memang sering kali dikaitkan dengan orang-orang yang terlalu emosional. Dalam istilah awam, histeria sering digunakan untuk menggambarkan perilaku yang tampak berlebihan dan tidak terkendali. Jadi, saat seseorang menanggapi situasi dengan cara yang tampaknya tidak proporsional (dalam ukuran emosi), hal ini bisa dikategorikan sebagai histeria.

Mengutip dari laman Lifeatlh, baik pria maupun wanita bisa mengalami histeria. Kendati demikian, wanita berusia 14-25 tahun diketahui lebih rentan mengalami respons emosi yang berlebihan, yang umumnya ini dianggap normal. Namun, jika histeria ini dialami oleh orang yang berusia lebih tua, yaitu di atas 45 tahun, barulah histeria ini dianggap tidak normal.

Pada awalnya, histeria disebabkan oleh adanya rasa kesepian, kemalasan, dan depresi. Namun, kini histeria bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti asupan obat-obatan tertentu, gangguan bipolar, hingga gangguan neurologis. Perubahan emosional tersebut rupanya bisa memperparah kondisi penyakit yang sebelumnya sudah diderita oleh seseorang.

Adapun gejala dari histeria meliputi:

  • Frustasi
  • Kecemasan esktrem
  • Menangis
  • Tantrum
  • Adanya pembengkakan pada leher
  • Tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas
  • Lemas hingga pingsan
  • Kepala terasa berat
  • Dan adanya pengatupan gigi

Mengatasi histeria

Menilik dari sejarahnya, istilah histeria berasal dari Yunani kuno yang berarti “rahim”. Histeria sering digunakan untuk merujuk pada sejumlah gangguan psikologis yang biasanya terjadi pada wanita di era Victoria (1800-an). Ahli saraf Prancis, Jean-Martin Charcot, lalu memanfaatkan hipnosis untuk mengobati wanita yang terkena histeria. Gejala yang ditimbulkan umumnya berupa:

  • Kelumpuhan parsial
  • Halusinasi
  • Kegelisahan yang berlebihan

Uniknya lagi, dulu dokter Yunani Kuno Hippocrates mengatakan bahwa adanya pergerakan rahim seorang wanita yang dapat “bepergian dengan bebas” ke berbagai area tubuh menjadi pemicu dari gejala tersebut.

Di sisi lain, histeria memainkan peran utama dalam pengembangan awal psikoanalisis. Seorang psikoanalis asal Austria, Sigmund Freud, membantu seorang wanita muda bernama Anna yang mengalami gejala histeria dengan terapi psikoanalitik. Hasilnya, Anna menyadari bahwa hanya dengan membicarakan masalahnya kepada terapis, ternyata berdampak besar terhadap kesehatannya. Hingga kini, terapi tersebut dijuluki “terapi bicara”.

Selain berbicara dengan terapis ataupun dengan orang lain yang mau mendengar dan bisa mengerti kondisi Anda, biasanya histeria disembuhkan dengan beberapa jenis obat dan meditasi. Ya, meditasi dilakukan untuk mengendalikan emosi para penderita histeria. Selain itu, olahraga yoga, makan makanan sehat, serta melibatkan diri ke berbagai kegiatan positif (menyalurkan hobi atau ikut kegiatan sosial) juga disinyalir bisa mengalihkan pikiran dan menyembuhkan gejala histeria.

Kondisi histeria itulah yang dialami oleh Roro Fitria. Jika seseorang bereaksi secara berlebihan saat menghadapi sesuatu, sebaiknya jangan langsung menghakiminya atau menjauhinya. Ajaklah ia bicara, dengarkan keluh kesahnya, jika perlu ajak ia untuk menemui terapis untuk membantu menangani kondisinya.

[RN/ RVS]

Konsultasi Dokter Terkait