Menu
KlikDokter
Icon Search
Icon LocationTambah Lokasi KamuIcon Arrow
HomeIbu Dan anakKesehatan AnakKenali Gejala Trauma pada Anak Korban Gempa
Kesehatan Anak

Kenali Gejala Trauma pada Anak Korban Gempa

Ayu Maharani, 03 Okt 2018

Ditinjau oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Trauma yang mendalam semasa kecil bisa memengaruhi hidup anak kelak. Untuk itu, kenali gejala trauma pasca gempa pada anak berikut ini.

Kenali Gejala Trauma pada Anak Korban Gempa

Syok, rasa sakit, dan kehilangan mendalam pasca gempa bisa dialami siapa saja, tak terkecuali anak. Ya, bisa dibilang anak-anak termasuk insan yang paling mudah terkena trauma karena belum memiliki banyak pengalaman hidup. Sekalinya seorang anak mengalami kejadian yang membuat jiwanya terguncang, seperti trauma akibat gempa dan tsunami Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu, biasanya peristiwa tersebut akan menghantuinya hingga dewasa.

Meski demikian, tak semua anak akan mengalami trauma hingga dewasa, ada juga yang berlalu begitu saja. Namun, ada baiknya Anda mengenali gejala-gejala trauma pada anak supaya jika itu terjadi, bisa diatasi secara dini dan tak terlalu berdampak pada masa depannya kelak. Berikut ulasannya mengenai gejala trauma post-traumatic stress disorder (PTSD).

Awalnya anak terkesan tenang

Dilansir dari laman organisasi ChildMind, setiap anak memiliki waktu yang berbeda-beda dalam mengatasi duka. Ada yang langsung menangis histeris dan ketakutan setelah mengalami hal buruk, tapi ada juga yang tidak langsung memberikan respons apa pun. Umumnya, anak yang langsung bereaksi tidak akan mengalami trauma di masa mendatang, sedangkan anak yang tidak langsung memberikan respons (terlihat seolah-olah tenang) berisiko tinggi mengalami trauma di kemudian hari.

Mungkin sebagian besar orang yang melihat anak yang terlihat tenang saat menghadapi hal buruk menganggap bahwa ia bisa menerima kenyataan dengan baik. Sebaliknya, mereka malah jauh lebih berisiko menderita trauma. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa respons kesedihan baru terjadi saat 3-6 bulan kemudian.

Mulai berpikir tentang kematian dan keselamatan

Selain berusaha terlihat normal dan tenang padahal sebenarnya merasakan kesedihan, mereka yang berpotensi trauma cenderung memikirkan dua hal secara berlebihan, yaitu kematian dan keselamatan.

Seorang psikolog dari Child Mind Institute, Dr. Jerry Bubrick, mengungkapkan bahwa anak yang trauma menjadi sering memikirkan dan mengingat kembali hal-hal buruk yang menimpanya dulu. Bahkan, bisa saja mereka membuatnya seakan-akan jadi lebih buruk. Di sisi lain, tak sedikit anak-anak yang menjadi lebih fokus mengenai keselamatan dirinya. Mereka siap siaga menyiapkan segala perkakas keselamatan di dekatnya, atau bahkan mengisolasi diri di tempat yang menurut mereka sangat aman demi terhindar dari bencana yang dulu pernah menimpanya.

Mengalami masalah tidur, makan, juga sulit mengontrol emosi dan punya perhatian berlebihan

Ini adalah gejala yang sangat mirip dengan depresi. Mereka yang berisiko trauma cenderung sulit tidur, kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan, mudah marah secara mendadak tanpa sebab yang jelas, dan kehilangan fokus saat berkomunikasi dengan orang lain. Selain itu, ada pula yang menunjukkan gejala seperti gangguan kecemasan, menjadi obsesif, dan sulit berpisah dengan orang-orang di sekitarnya karena takut kehilangan lagi.

Menolak pergi ke sekolah

Bila anak tak mau berpisah dengan orang-orang di sekitarnya, misalnya orang tua, hal ini berpengaruh terhadap semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Akan lebih parah jika kejadian buruk yang menimpanya juga terjadi pada teman-temannya di sekolah (ada teman yang meninggal dunia), ia pun makin tak ingin menginjakkan kaki ke sekolah. Mereka pun tidak mampu menghadiri acara peringatan kematian orang-orang terdekat yang dilaksanakan di sekolah karena terlampau sedih. Hal ini akan memperburuk gangguan-gangguan psikis yang sebelumnya sudah melanda, seperti insomnia dan kehilangan kemampuan untuk mengontrol emosi.

Tidak bisa melupakan

Mungkin dengan berjalannya waktu, rasa trauma bisa menghilang dengan perlahan. Namun, tidak dengan ingatan. Kejadian buruk yang mengguncang jiwa anak akan selalu diingatnya sampai kapan pun, apalagi bila ia masih rutin mengikuti acara peringatan bencana tersebut.

Cara mengatasi trauma pada anak

Menilai bahwa trauma adalah suatu respons yang berlebihan tidaklah bijak. Sebab, setiap orang memiliki kondisi atau batasan masing-masing dalam menerima dan mengelola kejadian tak menyenangkan yang telah menimpa dirinya. Hindari memarahi anak atau menghakimi anak yang sedang mengalami trauma. Temani anak yang trauma pasca gempa dengan sabar, dengarkan cerita, ajak ia berbicara dari hati ke hati, dan sebisa mungkin lakukan aktivitas seperti biasa. Jika anak sudah terlibat lebih “biasa”, barulah Anda mulai membicarakan fakta sebenarnya tentang bencana yang ia alami. Anda juga bisa mengajarinya cara berlindung yang tepat jika sewaktu-waktu bencana itu datang lagi.

Selain fisik dan materi, bencana seperti gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu bisa mengakibatkan luka psikis seperti trauma atau PTSD. Demi kehidupannya di masa mendatang, Anda sebagai orang tua harus sigap mengenali gejala trauma pada anak pasca gempa, sehingga kondisi tersebut bisa segera diatasi. Beranikan diri untuk mengajaknya ke psikolog jika Anda mengalami kesulitan dalam memulihkan traumanya. Mengobati trauma anak secara dini bisa memberikan masa depan yang lebih menenangkan dan indah untuk mereka.

[RN/ RVS]

traumasulawesi tengahTsunamiGempaAnakpsikologi.Trauma pada AnakPTSD

Konsultasi Dokter Terkait

Tanya Dokter