HomeInfo SehatPernapasanSinyal Darurat Tuberkulosis di Indonesia
Pernapasan

Sinyal Darurat Tuberkulosis di Indonesia

Tim Redaksi KlikDokter, 24 Mar 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Icon ShareBagikan
Icon Like

Situasi tuberkulosis atau TBC di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pandemi COVID-19 membuat penanganan TB semakin berat.

Sinyal Darurat Tuberkulosis di Indonesia

Alarm tanda bahaya situasi TBC di  Indonesia tercermin jelas dalam laporan Global Tuberculosis Report 2020 yang dirilis Badan Kesehatan Dunia WHO akhir tahun lalu. Organisasi itu menempatkan Indonesia di posisi kedua negara dengan kasus TBC terbesar di dunia, berada di bawah India.

Sepanjang 2019, Indonesia berkontribusi 8,5 persen dari total kasus dunia. Padahal, beberapa dekade lalu kita masih berada di peringkat lima besar dunia. Penambahan kasus tahunan TB di Indonesia mencapai 69 persen dalam empat tahun.

Pada 2015, WHO mencatat 331.703 kasus baru dan melonjak menjadi 562.049 kasus baru di 2019. WHO memperkirakan terdapat 845 ribu kasus tuberkulosis baru di Indonesia pada 2019. Namun, Indonesia baru mampu mengidentifikasi 600 ribuan kasus per tahun.

"Jadi, kalau kita lihat kita baru 60 persennya (yang bisa diidentifikasi)," kata Nadia Siti Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, 

Pandemi COVID-19 menambah berat pekerjaan rumah Indonesia dalam menangani TBC. WHO mencatat, terdapat penurunan 20-30 persen laporan kasus yang teridentifikasi sepanjang Maret-hingga Juni 2020 di Indonesia.

Temuan itu selaras dengan data Kementerian Kesehatan. Tren penemuan kasus TBC, menurut Nadia, masih normal pada triwulan pertama 2020.

Situasinya berubah total begitu pandemi COVID-19 menghantam. Di Indonesia, kasus COVID-19 pertama kali terendus pada 2 Maret 2020.

Memasuki triwulan kedua 2020, lanjut Nadia, terjadi penurunan temuan kasus baru TBC. Pangkal masalahnya terletak pada alih fungsi alat tes cepat molekuler (TCM).

Pemerintah yang pada waktu itu kekurangan alat untuk mengidentifikasi kasus COVID-19 dipaksa putar otak. Walhasil, TCM yang semula digunakan untuk mengidentifikasi kasus TBC--karena situasi darurat--diubah menjadi pendeteksi COVID-19. 

"Penggunaan alat yang digunakan secara bersama ini menyebabkan tertundanya sebagian daripada pemeriksaan tuberkulosis," papar Nadia.

Kondisi demikian berdampak pada temuan kasus TBC baru secara keseluruhan. Nadia mengatakan, kasus TBC yang teridentifikasi pada 2019 menurun dibanding 2020. Tahun lalu, Indonesia hanya menemukan kasus sebanyak 327 ribu kasus.

Artikel Lainnya: Ini yang Harus Anda Lakukan Saat Kena TBC

Padahal tahun sebelumnya terdapat 563 ribu kasus yang teridentifikasi. Penurunan juga terjadi di sisi keberhasilan pengobatan dari 83 persen di tahun 2019 menjadi 82 persen pada tahun 2020.

Selisih antara estimasi kasus dan kasus yang teridentifikasi menjadi problem penanganan TBC di Indonesia. Menurut Mariani Reksoprodjo, Sekretaris Umum Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), kasus yang tidak teridentifikasi bisa menjadi celah penularan di masyarakat.

Dalam situasi normal sebelum pandemi, hanya 60 persen dari total estimasi kasus TBC yang ditemukan per tahun. Artinya, kata dia, setiap tahun ada utang 40 persen kasus yang belum teridentifikasi.

Kondisi tersebut menjadi tantangan dalam memutus mata rantai penularan tuberkulosis. Sebab, teorinya satu orang terjangkit TBC bisa menularkan kepada 10-15 orang di sekitarnya.

"Itu harus ketemu, kalau tidak ketemu berarti tingkat penularan di masyarakat masih tinggi," ujar Mariani.

Artikel lainnya: Mengenal Penyakit TBC Usus dan Gejalanya

Sederhananya, setiap tahun jumlah kasus yang tidak terpantau radar terakumulasi dan semakin banyak. PPTI, sebagai organisasi swadaya masyarakat mitra pemerintah dalam penanganan TBC, punya program membantu melakukan investigasi kontak.

Kegiatan itu mereka lakukan di samping peran edukasi publik seputar bahaya TBC. Yang perlu diingat, infeksi TBC sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat.

Selain paru-paru, penyakit ini juga bisa menyerang kulit, otak, hati, tulang dan lain-lain. "Tetapi yang paling gampang ditularkan adalah TB paru karena melalui batuk," Mariani menegaskan.

Bagi Dr Erlina Burhan, Dokter Spesialis Paru yang lama berkecimpung dalam penanganan TBC, penanganan tuberkulosis punya dimensi kompleks. Ia mengatakan masalahnya tidak semata persoalan medis tapi juga meliputi sisi nonmedis, yakni kesehatan masyarakat.

Isu sosial sosial-ekonomi terkait erat dengan TBC. Erlina mencontohkan, orang yang tinggal di permukiman padat dengan ventilasi minim punya tingkat kerentanan lebih tinggi.

Penularan TBC juga berkorelasi dengan tingkat penghasilan yang berhubungan dengan asupan gizi dan menentukan kekuatan sistem imun.

Aspek sosial-ekonomi ini juga menjadi bagian yang disoroti WHO dalam laporan tahunan TBC 2020. WHO khawatir efek ekonomi pandemi membuat kasus TBC akan memburuk.

Pandemi setidaknya akan berdampak pada dua faktor kunci yang menentukan pertambahan kasus TBC: Gross Domestic Product per kapita dan rendahnya asupan nutrisi.

Artikel lainnya: TBC juga Bisa Menyerang Kulit, Kenali Gejalanya!

Di sisi lain, beragam penyakit komorbid dan kebiasaan buruk sebagian masyarakat memberi ruang pertumbuhan kasus TBC di Indonesia. Erlina mencontohkan makin maraknya orang dengan penyakit komorbid diabetes, kebiasan merokok, dan minum minuman keras.

Sementara itu, faktor sosial berupa stigma masyarakat terhadap TBC memengaruhi kecepatan penanganan. "Orang biasanya tidak terlalu terbuka untuk mengakui dia TB karena takut dikucilkan," ungkap dokter Rumah Sakit Persahabatan itu.

Akhirnya, orang yang sudah merasakan tanda TBC enggan memeriksakan diri lantaran takut pada stigma masyarakat. Di hilir pengobatan gratis yang disediakan pemerintah pun tak lepas dari anggapan keliru masyarakat.

Ada pandangan obat gratis yang diberikan pemerintah berkualitas rendah. Alhasil, obat itu dianggap tidak mampu mengatasi mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab TBC.

"Sebetulnya, obat itu tidak gratis. Pemerintah tetap mengeluarkan biaya untuk itu. Tapi, diberikan gratis kepada masyarakat," Erlina meluruskan.

Situasi itu cukup mengkhawatirkan. Terlebih, lanjut Erlina, angka kematian akibat TBC di Indonesia mencapai 98.000 jiwa.

Ia memperkirakan lebih dari 11 orang meninggal karena tuberkulosis setiap jam. Sayangnya, hal itu belum cukup untuk membangunkan kesadaran masyarakat akan bahaya TBC.

"Karena kejadian meninggalnya tidak seperti COVID yang sakit seminggu dua minggu, lalu meninggal," analisis Erlina.

Indonesia juga perlu mewaspadai pasien dengan komplikasi tuberkulosis, yakni infeksi ganda TBC dengan HIV, dan pasien TBC yang mengalami resistensi obat--disebab putus pengobatan di tengah jalan sehingga bakteri menjadi kebal terhadap obat yang diberikan.

Jumlah kasus infeksi TBC dengan HIV diperkirakan berjumlah 19 ribu. Sementara kasus TBC dengan resistensi obat 24 ribu. 

Artikel lainnya: Bantu Masa Pemulihan, Ini Pilihan Olahraga untuk Penderita TBC

Apalagi, pandemi COVID juga bisa membuat pengobatan TBC semakin mengalami kendala. Banyak pasien, khawatir tertular COVID ketika berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Ujungnya, pasien-pasien menjalani pengobatan yang tidak teratur. Ditambah lagi fokus tenaga kesehatan yang saat ini fokus dalam penanganan COVID.

Situasi yang pelik itu memunculkan keraguan Indonesia dapat mencapai target eliminasi TB pada 2030. Mariani Reksoprodjo misalnya, tidak terlalu optimistis sasaran itu bisa terjangkau.

"Kita harus lebih berpikir out of the box, secara ekstra bagaimana caranya mencegah penyebaran TB ini," katanya.

Sementara itu, bagi Erlina Burhan, gencarnya penanganan COVID bisa menjadi model bagi penanganan TBC. Ia yakin, bila semua sektor terlibat, sembilan tahun ke depan waktu yang cukup untuk mengeliminasi TBC.

Pemerintah kini tengah menginventarisasi langkah yang sempat tertunda akibat pandemi. Siti Nadia Tarmizi berharap bantuan semua pihak untuk mengakselerasi program eliminasi TBC.

"Supaya kita kembali lagi kepada trek yang sudah kita rencanakan untuk mencapai eliminasi tuberkulosis pada tahun 2030," katanya.

Yang jelas, Indonesia harus segera bergegas. Kita harus benar-benar insyaf ancaman yang TB di depan mata.

Bisa jadi, cobaan penanganan TB yang sesungguhnya baru akan terasa beberapa tahun mendatang. Jangan lupakan juga peringatan Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Umum WHO, yang mengindikasikan ancamannya bisa datang lebih cepat. 

Problem identifikasi kasus pada 2020, katanya, diprediksi berkontribusi pada 400 ribu kasus kematian tambahan akibat TBC dunia di tahun yang sama.

Cari tahu informasi lain tuberkulosis dan seputar kesehatan paru dengan membaca artikel di Klikdokter.

[JKT/ARM]

Hari tuberkulosis seduniaTuberkulosis

Konsultasi Dokter Terkait