Kanker

Perdamaian Sutopo dengan Kanker Paru

Rudolf Valentino Santana, 17 Okt 2018

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Selain menyampaikan informasi tentang bencana, Sutopo juga menginspirasi masyarakat bagaimana berdamai dengan kanker paru seperti yang dideritanya.

Perdamaian Sutopo dengan Kanker Paru

Sutopo Purwo Nugroho bagaikan sepotong gula bagi semut-semut. Kamis (11/10) siang itu di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo dikerubuti ratusan jurnalis dari berbagai media nasional dan asing. Kepala Badan Informasi dan Humas BNPB itu memang hampir setiap hari dijadwalkan memberikan informasi terbaru seputar bencana alam yang tengah melanda di sebagian wilayah Indonesia. Di sisi lain, Sutopo juga tengah berjuang menghadapi masalahnya sendiri: kanker paru stadium 4B.

Konferensi media yang sedianya hanya berlangsung satu jam hari itu akhirnya selesai molor dari jadwal. Para wartawan bertubi-tubi mengajukan pertanyaan kepada Sutopo tentang kondisi terkini  pascagempa di wilayah Sulawesi Tengah, gempa Situbondo, bahkan isu tentang meletusnya Gunung Salak. 

Sutopo tampak lelah. Beberapa kali ia meringis seperti menahan nyeri. Bibirnya tampak pucat. Tapi ia masih dengan sabar melayani permintaan beberapa media elektronik untuk wawancara live.

“Saya juga perlu istirahat. Besok saya seharusnya kemo, tapi HB saya drop dari 10 ke 8. Jadi belum boleh kemo. Mungkin saya baru akan kemo Senin. Padahal kalau habis kemo, badan rasanya sakit, bisa sampai tiga hari,” kata Sutopo, tidak bermaksud mengeluh.

Kepada KlikDokter –saat ditemui di waktu jeda menunggu persiapan wawancara dengan sebuah stasiun televisi– Sutopo menuturkan perjuangannya melawan kanker paru yang diidapnya.

Vonis kanker yang meruntuhkan mental

“Pertengahan Januari, saya divonis kanker stadium 4B,” tutur Sutopo, tentang vonis yang “diketukkan” oleh dokter pada pertengahan Januari 2018 lalu. 

“Saya syok,” katanya.

Sutopo pantas kaget. Tidak ada sejarah kanker dalam keluarga pria kelahiran Boyolali ini. Ia juga rutin berenang dan joging. Sutopo bahkan tidak merokok. Jika terkadang ia batuk-batuk, Sutopo merasa itu hanya batuk biasa yang bisa diusirnya dengan obat batuk yang bisa dibelinya di warung-warung.

Namun suatu ketika, batuknya tak kunjung sembuh dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Sutopo lantas memeriksakan kesehatannya ke dokter spesialis penyakit jantung.

Kala itu akhir 2017. Sutopo dinyatakan sehat. Namun karena asam lambungnya tinggi, dokter pun memberinya obat untuk asam lambungnya. Batuk Sutopo juga mulai mereda.

Lalu pada Januari 2018, Sutopo memutuskan untuk memeriksakan kondisi kesehatannya ke dokter spesialis paru-paru. Pada saat itulah ia didiagnosis mengidap kanker paru.

Sutopo yang tidak yakin dengan diagnosis dokter tidak langsung menceritakan kondisinya kepada keluarganya. Ia lantas mencari second opinion dengan memeriksakan kesehatannya di sebuah rumah sakit di Malaysia. Dan hasil pemeriksaan dokter di sana pun sama: Sutopo mengidap kanker paru-paru stadium 4B.

“Saya tanyakan ke dokternya, apa bisa disembuhkan. Dokternya bilang, nggak bisa. Nggak ada obat untuk kanker. Paling usia kamu nambah 1-3 tahun,” tutur Sutopo.  “Saya jadi makin syok. Saya jadi ingat istri dan anak-anak.”

Sutopo sadar tidak ada yang bisa diperbuatnya selain menerima kondisinya tersebut. Namun untuk sampai pada fase menerima dengan ikhlas pun tidak mudah bagi Sutopo. “Saya kadang-kadang nangis,” tuturnya.

Dukungan menjadi penyemangat Sutopo

Usai vonis kanker stadium 4B tersebut, Sutopo pernah berpikir untuk melepas jabatan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB. Pemikiran itu muncul karena ia sering kali merasa kelelahan karena harus bekerja sekaligus bertarung menghadapi penyakitnya.

Keluarga dan dokter bahkan pernah memintanya untuk berhenti beraktivitas. Namun, Sutopo sadar bahwa masyarakat sangat membutuhkan dirinya. Sutopo pun tegas menolak saran-saran tersebut. Ia berusaha tabah dan pasrah menerima kondisinya.

“Saya akhirnya sadar, bahwa ini semua adalah takdir. Kehidupan saya memang harus melalui proses sakit kanker ini. Jadi saya harus menerimanya dengan ikhlas,” kata pria yang baru berulang tahun keempatpuluhsembilan, 7 Oktober lalu.

Sejak itu, ia merasa hatinya menjadi lebih tenang. Ia yakin Tuhan menyayanginya dan masih memberinya kesempatan untuk beribadah dan berbuat baik bagi sesama.

“Ini semacam peringatan untuk saya. Saya jadi ada kesempatan untuk bertobat. Bayangkan kalau saya langsung meninggal begitu saja,” kata Sutopo.

Di tengah situasi itu, Sutopo tidak berjuang sendirian. Istri dan kedua anaknya, tidak putus-putus mendoakan kesehatannya. Tidak hanya itu, doa dan dukungan juga terus mengalir dari masyarakat yang mengetahui kondisi Sutopo. Banyaknya dukungan yang diterima menjadi penyemangat baginya untuk terus beraktivitas menjalankan tugas-tugas.

“Begitu saya sakit, banyak sekali yang mendoakan. Berarti mereka sayang sama saya. Ya sudah, ini saya jalani ini sebagai amal ibadah saya,” kata Sutopo.

Bersahabat dengan pengobatan yang menyakitkan

Kini, selain masih menjalankan tugasnya sebagai Kepala Badan Informasi dan Humas BNPB, kegiatan Sutopo bertambah. Setelah divonis kanker, ia harus rutin berobat. Ia menjadi pasien di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta. Sutopo harus rutin menjalani kemoterapi tiga minggu sekali. Beberapa treatment pun sudah dilakukan untuk penanganan penyakitnya. Setiap hari, ia juga harus minum bermacam-macam obat.

Sutopo mengakui bahwa saat mulai radiasi, ia merasakan mual dan muntah. Ia juga sering merasa kesakitan, bahkan untuk sekadar bernapas.

“Badan saya nyeri semua. Saya harus pakai koyo fentanyl untuk mengurangi rasa nyeri itu,” kata Sutopo.

Sutopo menyadari ada banyak perubahan pada fisiknya. Sejak Januari lalu, berat badannya sudah turun hingga 21 kilogram. Rambutnya pun mulai sering rontok. Ia juga jadi makin mudah lelah.

Kini, saat berjalan pun Sutopo sudah tak bisa lagi tegak, karena kankernya sudah bermetastasis ke tulang belakangnya. Akibatnya postur pria ini sedikit bengkok.

“Lihat, tubuh saya agak condong ke kiri. Tangan kiri saya juga sudah nyeri dan agak sulit digerakkan.” kata Sutopo.

Sutopo mengaku ia sudah tidak selancar dulu dalam mengetik email dan membalas pesan singkat yang masuk ke dalam telepon genggamnya. Jangankan untuk berolahraga, naik-turun tangga di rumahnya pun ia sudah harus sangat hati-hati. Dokter bahkan sudah mewanti-wantinya untuk tidak lagi naik-turun tangga di rumahnya.

“Tulang belakang saya sekarang rapuh, kalau saya jatuh dan patah tulang belakang, saya bisa lumpuh,” kata Sutopo.

Manusiawi rasanya ketika akhirnya Sutopo juga sering merasa jenuh dengan sejumlah perawatan yang harus dijalaninya. Tapi ia masih menyimpan harapan yang membuatnya terus bersemangat.

“Saya ingin bisa sembuh dari sakit dan bisa kembali melayani masyarakat dengan lebih baik,” tutur pria yang pernah menulis belasan buku dan puluhan artikel ilmiah itu.

“Bagi saya, hidup tidak ditentukan oleh panjang atau pendeknya usia, tapi seberapa banyak kita bisa membantu sesama,” pungkasnya.

Bagi Sutopo Purwo Nugroho, dokter boleh memvonis usianya hanya tinggal satu hingga tiga tahun lagi karena kanker paru stadium 4B itu. Tapi tidak ada yang bisa menghalanginya untuk tetap berkontribusi bagi bangsa ini. Lagi pula, Sutopo tahu betul kapan ia perlu rehat sejenak dari tugasnya memberikan jumpa pers tentang bencana. Meski demikian, ‘kicauan’nya lewat akun twitter @Sutopo_PN akan tetap terdengar, bahkan dari ruang kemo sekalipun. Semangat yang Sutopo miliki patut menjadi inspirasi bagi siapa saja.

[RH]

tulang belakangtulangBNPBSutopo Purwo NugrohoParuMetastasisProfil SehatSutopoKankerFentanylkanker paru

Konsultasi Dokter Terkait