Berita Kesehatan

Memiliki kecerdasan intelektual saja tidaklah cukup, harus pula dilengkapi oleh kecerdasan emosional dan spiritual

Klikdokter, 10 Nov 2016

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

v

Memiliki kecerdasan intelektual saja tidaklah cukup, harus pula dilengkapi oleh kecerdasan emosional dan spiritual

Tidak sulit untuk memulai pembicaraan dengan Prof. Suhardjono siang itu. Meski telah resmi dikukuhkan menjadi profesor pada tanggal 25 April lalu, beliau tetap terlihat sangat sederhana. Sosoknya yang ramah dan bersahaja membuat perbincangan terasa amat menyenangkan.

Prof. Dr. dr. Suhardjono, Sp.PD, KGH, KGer, salah seorang guru besar dari departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Beliau lulus sebagai dokter umum dari FKUI pada tahun 1974. Merasa ingin mendapatkan pengalaman yang berbeda, beliau sempat menjalani pendidikan di Sekolah Perwira Wajib Militer ABRI di Solo. Di sana beliau mempelajari banyak hal mengenai kedisiplinan dan kecepatan dalam pengambilan keputusan, sesuatu yang tidak beliau dapat selama duduk menjalani pendidikan di bangku universitas.

Selepas wajib militer, beliau kembali mengambil pendidikan sebagai dokter spesialis Ilmu Penyakit Dalam di FKUI hingga tahun 1984, segera ditunjuk menjadi staf di divisi ginjal dan hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, dan menjadi konsultan di divisi geriatri.

Sebagai klinisi, beliau mengaku tidak ingin ngoyo. Beliau merasa cukup puas hanya dengan memiliki hidup yang sederhana dan berkecukupan. Semua dikembalikan kepada tujuan awal beliau bekerja, yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Sekarang anak saya sudah besar dan memiliki penghasilan sendiri. Jadi tidak perlu memaksakan diri mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Cukup jalani hidup apa adanya”, ujar Prof. Suhardjono dengan rendah hati.

Dengan jabatannya sebagai ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), sekarang Prof. lebih senang memokuskan diri untuk kepentingan pengembangan organisasi. Meski demikian, di sela kesibukannya beliau selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

Menurut beliau, profesi dokter adalah profesi pengabdian kemanusiaan, yang didasari oleh altruisme dan etika yang tinggi. Seorang dokter yang baik harus rela mengorbankan kesenangannya untuk mendahulukan kepentingan orang lain, dengan tetap berpegang pada etika kedokteran. Profesionalisme dokter yang baik merupakan ekspresi dari kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi.

Di satu sisi, menjadi dokter bisa jadi suatu pekerjaan yang membosankan. Dengan mengabdi kepada kesejahteraan masyarakat, seorang dokter setiap hari harus mendengarkan keluhan demi keluhan yang diutarakan oleh pasien.

Bahkan dalam keadaan gawat darurat seorang dokter dituntut untuk dapat berpikir dan berkomunikasi dengan baik. Akan tetapi, seorang dokter juga merupakan makhluk individu yang juga memiliki kehidupan sendiri.

Dalam keadaan ini, seorang dokter yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi akan senantiasa berusaha memberikan yang terbaik untuk pasien dan orang-orang di sekitarnya, dan (tetap) masih dapat menjalani kehidupan pribadinya.

“Sebenarnya banyak yang dapat disyukuri dalam hidup ini: bersyukur telah mendapatkan kecerdasan dan kesempatan menjadi dokter, bersyukur memiliki pasien, bersyukur dapat membantu sesama, dan masih banyak lagi. Jadi cobalah menganggap pekerjaan kita adalah ibadah kita, agar kita senantiasa ikhlas sebagai ungkapan rasa syukur kita atas segala karunia Allah”, saran Prof. yang senang membaca buku spiritual ini.

Kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual merupakan kunci menuju keberhasilan. Dan dokter yang memiliki ketiganya tentunya akan memiliki kehidupan pribadi dan sosial yang baik pula. Hendaknya hal ini dapat diimplementasikan oleh banyak orang dari bidang-bidang lain, apapun pekerjaannya.

Dan sesuai motto Prof.Suhardjono, yaitu “setiap orang harus memiliki visi yang nyata dan kuat serta kegigihan”, ketika kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang dapat menjauhkan kita dari pencapaian tujuan kita, ingatlah kembali visi tersebut dan dedikasi kita sebagai semangat untuk terus maju pantang mundur.[]SO

 

Menulis 3 karya ilmiah
bukan hasil penelitian
sebagai penulis pembantu

Menjadi peserta
pada pertemuan ilmiah
baik di dalam maupun
di luar negeri

Menjadi pembicara
dan moderator pada
banyak pertemuan ilmiah

Prof. Dr. dr. Suhardjono, SpPD, KGH, KGer

Prof. Dr. dr. Suhardjono, SpPD, KGH, KGer
Tanggal Lahir:
Bandung, 17 April 1950
Istri:
Setiowati Suhardjono
Anak:
1. Irma Kartika
2. Winda Ramadina

RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan Dokter:
1974
Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia.

Sekolah Perwira Wajib Militer ABRI:
1975
Lanuma Panasan, Solo

Pendidikan Spesialis Penyakit Dalam:
1984
Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia

Konsultan Ginjal & Hipertensi:
1991
Kolegium PAPDI.

Konsultan Geriatri:
1995
Kolegium PAPDI

Doktor Ilmu Kedokteran:
2004
Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia

RIWAYAT PEKERJAAN

Dokter Bagian Penyakit Dalam
Rumah Sakit Angkatan Udara,
Bandung,
1975-1978

Staf Divisi Ginjal-Hipertensi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSCM-FKUI,
1984-sekarang

Kepala Bidang
Pelayanan Medik RSCM,
1995-1998

Dokter Kepresidenan RI,
1999-2001

Panitia penerimaan barang
subproyek QUE FKUI, Jakarta,
2000

Panitia lelang subproyek
QUE FKUI, Jakarta,
2000

Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
FKUI,
2002-2007

Anggota tim PPDS FKUI,
2004-2006

Anggota tim Visitasi MKKI
ke Universitas Negeri Surakarta,
2007

Ketua tim Visitasi MKKI
ke Universitas Padjadjaran,
2007

Anggota tim Asisten Manajer
PPDS FKUI,
2007-sekarang

LAIN-LAIN

Menulis 6 karya ilmiah
sebagai penulis utama

Menulis 6 karya ilmiah
sebagai penulis pembantu

Menulis 29 karya ilmiah
bukan hasil penelitian
sebagai penulis utama

SpPDProf. Dr. Dr. SuhardjonoKGHKGer

Konsultasi Dokter Terkait